Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara
Kenyataannya, menurut sebuah data yang saya peroleh, jumlah anak jalanan di Jakarta ada kurang lebih 230 ribu saja. Salah siapa?
Saya termasuk salah satu orang yang akrab dengan pemandangan anak jalanan. Dari jarak kurang dari 1 km rumah saya, sudah bisa ketemu sama anak jalanan. Mereka jadi pengemis atau pengamen. Saat pagi hari saya menuju kantor, pemandangan anak-anak yang seharusnya berada dalam lindungan orangtua mereka sedang tidur di trotoar sudah biasa memenuhi lingkup visual saya. Kadang-kadang saya melihat mereka sedang asyik main air di cokelatnya air sungai Kalimalang. Sebagian masih tertidur beralaskan kain-kain bekas spanduk atau malah di atas dinginnya aspal. Lain waktu, melihat mereka tergelak gembira bersama-sama.
Tidak tega? Iba? Apatis? Atau malah menyalahkan mereka sendiri? Banyak di antara kita yang sudah tahu bahwa anak-anak jalanan ini memiliki jaringan tertentu, di mana mereka harus menyetor sejumlah uang 'hasil kerja' mereka setiap hari ke seseorang. Sehingga kita enggan memberikannya uang. Benarkah tindakan tersebut? Tegakah kita saat melihat bening mata mereka?
Beberapa tahun yang lalu, saya sempat akrab dengan kehidupan anak-anak jalanan ini untuk kepentingan pekerjaan. Banyak sekali cerita yang saya dapatkan dari sisi mereka. Ada yang kabur dari rumah karena keretakan rumah tangga sehingga anak-anak ini tidak mendapatkan perhatian, ada yang karena pergaulan, atau simple saja, ada yang karena memang butuh uang untuk bertahan hidup. Cita-cita mereka sama, kok, dengan anak-anak kita, Moms. Ada yang ingin lanjut sekolah, ada yang ingin beli sepatu tertentu atau (yang ini bikin saya terharu sangat) ingin membelikan mukena (pakaian salat) untuk neneknya yang selama ini mengasuh (disampaikan oleh sepasang kakak adik yang orangtuanya entah kemana :( .
Sempat saya bertanya, pernah tidak dimasukkan ke panti sosial atau tertangkap petugas? Jawabnya: sering! Dan mereka selalu bisa kembali ke jalan. Berarti panti sosial yang disediakan pemerintah tidak efektif dong? Hmmm, entahlah. Ada beberapa jawaban yang saya sebaiknya tidak dituliskan di sini, saya tidak tega.
Beberapa tahun belakangan ini marak berdiri rumah singgah independen. Rumah singgah independen ini nampaknya lebih disukai oleh anak-anak jalanan karena mereka tak terikat dan (mungkin) pendekatan ‘kakak-kakak’nya juga lebih bersahabat.
Salah satu lembaga independen yang memiliki rumah singgah cukup banyak tersebar di Jakarta adalah Indonesian Street Children Organization (ISCO). Jumlah anak-anak yang tersebar di 19 titik rumah singgah milik ISCO ada sekitar 1200—an anak berusia 6-18 tahun.
ISCO memiliki beberapa program, yang utama tentunya di bidang pendidikan. Saat kami bertandang ke markas ISCO, teman-teman relawan ISCO sedang sibuk membereskan seragam sekolah dasar. Untuk pendidikan, ISCO memberikan dukungan biaya penuh untuk anak usia TK hingga SMA. Selain itu ada juga rumah singgah yang mereka sebut sebagai sanggar kegiatan anak. Di sanggar ini anak-anak diberikan pengetahuan, ketrampilan serta beragam aktivitas untuk mengalihkan perhatian atau mencegah keinginan mereka untuk kembali ke jalan.
ISCO juga menyediakan tambahan makanan sehat, memberikan pengetahuan mengenai hidup sehat dan bersih. Adanya hari minum susu yang berlangsung setiap seminggu dua kali, membuat kami merasa nyaman bekerjasama dengan ISCO sehubungan denganprogram #MOOveit.
Mungkin memang sekotak susu dirasakan tidak cukup, ya, untuk menata masa depan anak-anak atau mencegah mereka kembali ke jalanan. Tapi setidaknya yuk, kita lakukan sesuatu daripada berdiam diri dan sibuk mengutuk pemerintah :)
Care to share? Ingin berpartisipasi dalam gerakan #MOOveit ? Klik link ini untuk keterangan lebih lanjut: http://mommiesdaily.com/mooveit/