Ketika mendengar kata disiplin, biasanya yang tergambar adalah suasana yang kaku, serba teratur, dan hukuman. Betul kan, moms?
Sesi terakhir dari rangkaian Seminar Pengasuhan Anak bersama Supermom membahas tentang Disiplin dengan Kasih Sayang. Materinya baguuuuuuuuuuuuuuusss banget! Eh beneran nih, karena di sesi ini pemikiran kita sebagai orangtua (yang dulunya anak-anak) mengenai makna disiplin terbuka lebar. Saya share poin-poinnya ya ....
Disiplin merupakan masalah paling rumit di dunia. Kenapa? Karena antara ibu dan bapak saja sering ada perbedaan pendapat mengenai masalah kedisiplinan. Ibu ingin anaknya bangun pagi, sementara sang bapak selalu bangun siang. Bapak ingin anak sekolah dan belajar matematika, sementara ibu ingin anak lebih terampil menari, dan lain sebagainya. Selain itu, orangtua juga kadang merasa bingung sejauh mana kewenangan mereka terhadap anak. Perlu diingat, anak adalah titipan Tuhan, jadi harus dijaga sebaik-baiknya.
Ada orangtua yang menerapkan sistem hukuman dan hadiah (reward and punishment). Diungkapkan oleh Ibu Elly Risman, cara ini ternyata hanya efektif untuk anak-anak di bawah usia 7 tahun. Tapi, cara ini tidak mampu membuat anak disiplin, karena datangnya dari luar dan tidak memberikan anak kesempatan untuk membuat pilihan serta belajar tangung jawab.
Hukuman memberikan garansi bahwa hubungan anak dan orangtua adalah berdasarkan rasa TAKUT semata, bingung, benci dan marah. Hukuman sekecil apa pun dapat merusak harga diri anak karena biasanya menyakiti secara fisik (cubit, sentil, pukul) atau jiwa anak (perkataan, caci maki, bentak). Ingat sekali lagi ya moms, anak itu hanya titipan. Masa dia datang ke kita dengan begitu indahnya, dikembalikan dengan kondisi rusak?
Di atas usia 7 tahun, hubungan anak dan orangtua seharusnya menjadi teman. Tapi bagaimana mungkin jadi teman, kalau saat di bawah usia 7 tahun anak kerap mendapat hukuman?
Sebagai orangtua, pasti kita ingin anak patuh terhadap peraturan yang kita buat atau hal-hal yang kita inginkan. Tapi, memaksa anak untuk patuh sama kita juga efeknya akan membuat anak tidak belajar berpikir apa yang baik untuk dirinya sendiri, tidak bisa membuat keputusan serta di masa depan anak hanya akan jadi pengikut, bukan pemimpin.
Bedakan disiplin dengan hukuman ya, mom and dad. Disiplin adalah membantu anak membangun kontrol dalam dirinya, memberikan anak kesempatan utnuk memperbaiki diri serta yang paling penting, membuat anak bertanggungjawab terhadap perbuatannya.
Sementara hukuman hanya akan menunjukkan pada anak bahwa ia nakal. Hukuman juga seringkali tidak masuk akal bagi anak dan tidak berhubungan dengan kelakuan anak. Misalnya anak memecahkan kaca, dihukum tidak boleh main sepak bola, di mana sepak bola adalah hobi si anak. Hal ini tidak menjelaskan pada anak, apa yang seharusnya dilakukan.
Kalau sistem pemberian hadiah jika anak berkelakuan manis hanya akan membuat anak mengharapkan ‘pembayaran’ atas kerjasamanya. Hadiah mengajarkan anak agar bertingkahlaku tertentu untuk mendapatkan sesuatu, bukan untuk kerjasamanya. Kalaupun orangtua ingin memberikan hadiah, berikan setelah anak melakukan sesuatu. Karena jika dijanjikan di awal, maka anak akan melakukannya karena hadiah tersebut. Misalnya, menjanjikan anak games terbaru jika ia mau mengerjakan PR, ini hanya akan membuat anak merasa bahwa mengerjakan PR bukanlah tanggungjawabnya.
Kenapa sih anak suka ‘nakal’ atau tidak berkelakuan seperti yang kita harapkan? Jangan sedih dulu mom, kenali MENGAPA mereka melakukan itu. Ada kalanya mereka memang belum mampu, capek, mengantuk, ingin unjuk diri, aturan yang tidak jelas buat mereka, meniru orangtua *ahem*, merasa dirinyatidak berharga, atau bahkan melindungi dirinya sendiri. Jadi, kenali dulu alasan mereka melakukan sesuatu ya, ingat caranya? Buka contekan di artikel sesi 1 tentang Teknik Komunikasi dengan Anak ....
Pada manusia, alur tingkah laku itu emosi --> pikir --> aksi. Tapi pada anak-anak (terutama di bawah 5 tahun) sambungan otak mereka belum sempurna. Sebagian tingkah laku mereka didorong oleh perasaan atau emosi. Jadi, sebelum menghukum anak, pikirkan perasaan mereka, kenali latar belakang mengapa mereka melakukan sebuah aksi tertentu.
Ada 2 aspek perasaan anak yang harus diperhatikan. Pertama, perasaan apa yang mendorong perbuatan anak. Misalnya, rasa ingin tahu, capek, dan lain sebagainya. Kedua adalah bagaimana perasaan anak setelah proses pendisiplinan terjadi. Proses pendisiplinan tidak akan berguna jika selama proses anak merasa terhina, bodoh atau takut. Hargai perasaan anak, jangan mentang-mentang dia anak kecil (jadi sering dianggap tidak tahu apa-apa), lalu kita tidak memikirkan perasaannya.
Kenapa sih dari tadi bicara soal perasaan terus? Perasaan adalah indikator yang sangat penting tentang apa yang terjadi. Jika orangtua bisa memperlihatkan perasaan, maka anak akan terbantu untuk memerhatikan perasaan mereka sendiri sehingga anak menyadari perbedaan antara pikiran dan perasaan.
Jika anak sejak kecil mampu mengenali perasaannya, ia akan tumbuh menjadi manusia yang peduli dengan perasaan orang lain dan penuh empati.
Cara membantu anak untuk disiplin antara lain, kita sebagai orangtua harus terus menerus menjelaskan apa yang mereka lakukan, mengajarkan anak merespon perintah lisan, sering mengajukan pertanyaan yang membantu mereka untuk berpikir serta menamakan perasaan.
Jadi saat anak melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan, misalnya anak terus menerus berlari di dalam rumah (biasanya kita takut anak jatuh atau menabrak meja dst) adalah; hentikan kegiatan anak, lalu tanyakan anak sedang apa sehingga ia berpikir dan menjawab, setelah itu identifikasi kenapa anak melakukan itu (misal: ternyata dia sedang gembira atau baru menguasai berlari), terakhir baru ibu atau bapak bertindak: harus dihentikan atau bagaimana? Jangan impulsive ya, mom.
Lalu, apakah anak harus dibiarkan tanpa aturan? Tentu saja tidak! Tapi ada caranya, yaitu aturan harus dibuat berdasarkan kepedulian dan rasa cinta, batasan dalam membuat aturan harus jelas dan masuk akal, libatkan anak dalam membuat peraturan serta konsisten.
Dalam menerapkan aturan, selain harus konsisten, kita harus memberikan penjelasan pada anak dan yakin bahwa anak mengerti apa yang kita maksud, hargai perasaan anak dan ceritakan mengenai konsekuensi. Oh ya, balita juga butuh tahu konsekuensi lho! Konsekuensi ada dua, yaitu logis dan alamiah. Contoh konsekuensi alamiah adalah “Nanti kalau tidak makan kamu akan lapar”, sementara contoh konsekuensi logis adalah “ Kalau tidak makan bersamaa nanti tempe favorit kamu habis”.
Seminar sesi terakhir ini memang materinya panjang banget tapi menurut saya pribadi, sangat bermanfaat untuk saya terapkan ke Langit. Terima kasih Ibu Elly Risman dan Supermoms yang telah mengadakan rangkaian seminar pengasuhan anak, ditunggu seminar-seminar berikutnya ya!