Beberapa waktu lalu, sepupu saya menjadi korban bullying di sekolahnya. Jujur saya sangat kaget dan sakit hati mendengar apa yang pelaku lakukan terhadap sepupu saya sebagai korban. Biasanya saya hanya mendengar atau membaca berita tentang bullying ini di media, nggak nyangka akan terjadi terhadap orang dekat saya.
Hal ini pun mendorong saya untuk mengetahui sebab musabab fenomena bullying terutama untuk anak usia sekolah. Saya pun bertanya pada Lestari Sandjojo, Psi. - General Manager Academic Division Sekolah Cikal.
Penyebab terjadinya bullying bisa bermacam-macam, bisa karena kebutuhan personal dari pelaku maupun situasi lingkungan yang kebetulan "mendukung" terjadinya bullying tersebut. Secara umum semua anakpun mengalami masa dalam pertumbuhannya dimana ia perlu test the water untuk mengukur dan mengasah kemampuan leadership-nya. Ia perlu mengetahui apakah ia mampu mendominasi atau mempengaruhi teman-teman lain.
Jika kebutuhan di atas kemudian dikombinasi dengan faktor-faktor seperti masalah keluarga, prestasi akademik yang tidak memuaskan, serta kebijakan sekolah yang kurang mendukung, maka bullying di sekolah kemudian bisa semakin menjadi-jadi.
Anak bisa menjadi pelaku bullying karena beragam sebab: kemampuan adaptasi yang buruk, pemenuhan eksistensi diri yang kurang (biasanya pelaku bullying nilainya kurang baik), adanya pemenuhan kebutuhan yang tidak terpuaskan di aspek lain dalam kehidupannya, hubungan keluarga yang kurang harmonis, bahkan bisa jadi si pelaku ini juga merupakan korban bullying sebelumnya atau di tempat lain.
Secara umum, tingkah laku bullying ini berawal dari masalah yang dialami oleh pelaku. Kemampuan pemecahan masalah yang kurang bisa membuat anak mencari jalan keluar yang salah, termasuk dalam bentuk bullying ini. Contoh, anak yang sering "ditindas" kakaknya di rumah, kemudian mencari pelampiasan dengan "menindas" anak lain di sekolahnya.
Yang pasti pelaku harus diajak untuk menyelami apa yang kira-kira dirasakan oleh korbannya. Tentunya pembicaraan ini baru bisa dilakukan kalau pelaku juga sudah tenang dan tidak bersikap defensif. Selain diisi dengan pembicaraan mengenai apa yang ia lakukan terhadap korbannya, penting untuk menggali juga penyebab dari perilaku tersebut. Pelaku harus beranjak dari pandangan bahwa korban sudah "sepatutnya" di-bully, ia harus melihat dari sudut perilaku atau cara interaksi yang seharusnya dengan orang lain.
Jika pelaku bullying lebih dari satu orang, jadi pelaku berkelompok, mereka harus diajak bicara secara perorangan pada awalnya.
Mengenai sanksi, memang harus diberikan pada pelaku. Sanksinya harus berasal dari refleksi diri mereka sendiri mengenai perasaan korbannya dan bagaimana "membayarnya." Pada akhirnya jika pelaku sudah bisa memahami perasaan korbannya, ia harus berjanji untuk tidak mengulangnya. Misalnya jika korban diejek-ejek "gendut," maka pelaku harus bisa menyampaikan maaf dan menyampaikan sisi positif dari korban yang ia lihat. Jadi kata-kata ejekan pada korban sudah tidak boleh diucapkan lagi, diganti dengan ucapan yang baik.
----------------
Cukup bikin deg-degan ya moms, apalagi buat yang anaknya baru akan sekolah seperti saya. Rasanya mau home schooling saja deh! *lebay*
Tapi, saya juga nggak lupa bertanya pada Ibu Tari bagaimana cara mencegah agar anak tidak menjadi pelaku bullying atau menjadi korban (oh, NO!). Nantikan artikel berikutnya ya moms..
*gambar dari sini