Beberapa bulan yang lalu, saat keluarga kecil kami sedang menikmati salah satu akhir pekan panjang di rumah, suami saya tiba-tiba mendapatkan ide. Kita ajak Aluf menonton lumba-lumba di Ancol yuk! Ide ini tentu saja saya sambut dengan gembira. Selain senang membayangkan akan berjalan-jalan di sekitar pantai, saya juga yakin Aluf pasti akan menikmati tontonan penuh binatang-binatang lucu dengan aksi mereka yang kocak.
Tapi ketika kami menyampaikan ide tersebut dengan wajah sumringah dan senyum lebar, apa reaksi putri kecil saya tersebut? “Nggak mau ah. Aluf takut!” Kontan senyum di wajah saya dan suami menghilang. Loh kok sama lumba-lumba saja takut? Seketika, ucapan ibu saya terngiang di telinga “Aluf tuh persis kayak kamu dulu, penakut!” Dan tiba-tiba saya terdorong untuk membuktikan bahwa anggapan tersebut tidak benar!
Dengan penuh antusias saya menjelaskan kepada Aluf bagaimana lucunya lumba-lumba dan bahwa mereka adalah binatang yang baik hati dan merupakan sahabat manusia. Saya juga menjelaskan bahwa di pertunjukan tersebut tidak hanya akan ada lumba-lumba, tetapi dia juga akan melihat linsang, anjing laut, singa laut dan bahkan ikan paus! Bukannya tertarik, keterangan tambahan ini malah membuat Aluf semakin takut. “Aku nggak mau ketemu pauuus!” serunya dengan wajah memelas. Ayahnya, yang saat itu sedang berada di depan laptop, langsung mencari video rekaman pertunjukan serupa di situs YouTube, untuk memperlihatkan kepada Aluf bahwa sama sekali tidak ada yang perlu ditakuti. Tampaknya berhasil! Karena Aluf mulai kelihatan tertarik bahkan sedikit excited menyaksikan lompatan-lompatan si lumba-lumba melalui ring yang diiringi tepuk tangan heboh para penonton. “Nggak seram kan luf? Jadi kita nonton ini ya” ajak saya gembira. Aluf kembali menggelengkan kepalanya. Sayapun mengeluarkan janji kuncian “Setelah itu, kita main pasir di pantai. Mau?” Berhubung sedang tergila-gila dengan pasir, saya tahu bahwa dia akan segera mengiyakan. Kami pun bersiap-siap untuk pergi.
Karena ingin menyaksikan kegirangan di wajah cucu kesayangannya saat pertama kali melihat lumba-lumba, mertua saya, neneknya Aluf, juga minta diajak. Maka berangkatlah kami berempat ke Ancol.
Sepanjang jalan saya dan suami berulang-ulang menceritakan pengalaman kami sendiri menonton pertunjukan lumba-lumba saat masih kecil. Walaupun tidak sesemangat kami, Aluf menanggapi cerita-cerita tersebut dengan senyuman sambil terus mencengkeram ember dan sekop pasirnya. Menangkap gejala ini, saya mengungkapkan kepada suami bahwa mungkin mengajaknya melihat pertunjukan ini bukan ide yang bagus. Tapi suami menenangkan dan meyakinkan saya bahwa saat sudah sampai di tempatnya, di mana ada banyak hal yang bisa ia lihat, pasti anak perempuan saya ini akan lebih bersemangat dan gembira.
Begitu mobil kami melalui gerbang depan Ancol, Aluf langsung menagih janji saya untuk bermain pasir. Tetapi kami mengatakan kepadanya bahwa kita harus masuk ke Gelanggang Samudra dulu, untuk memastikan bahwa kita tidak akan kelewatan pertunjukannya. “Di dalam ada pasir?” tanya Aluf. Saya dan suami mulai berpandang-pandangan, dan saya mengatakan bahwa di dalam ada berbagai macam hal lain yang lebih menarik dari pasir. Ada aquarium berisi ikan warna warni, ada kuda nil merah jambu yang bertubuh besar, dan tentu saja, ada lumba-lumba. Ketika giliran kami membayar tiket masuk, saya sempat kaget juga melihat angka yang harus kami bayar. Berhubung saya sudah lama sekali tidak ke arena itu, saya tidak ingat berapa harga tiket masuknya. Hampir 300 ribu rupiah untuk kami berempat! Dan itu belum termasuk tiket masuk ke Ancol sendiri. Tapi saya mengingatkan diri saya, bahwa ini kan akhir pekan dan sudah sepantasnya kami mengeluarkan uang lebih untuk bersenang-senang dengan Aluf.
Sesampainya di dalam, mood Aluf yang sebelumnya gelisah tampak membaik. Melihat begitu banyak anak-anak di dalam yang berlari-larian, ia pun tampak riang. Kami semua bernapas lega dan bertambah yakin bahwa kami telah mengambil keputusan yang tepat mengajaknya ke sana. Kami memutuskan untuk menonton pertunjukan aneka hewan karena jadwalnya mulai lebih dulu. Tapi apa yang terjadi? Begitu masuk ke tempat pertunjukan, Aluf menangis. Saat hampir semua penonton terpekik girang dan tertawa melihat si linsang terjatuh ke kolam dengan gerobak bakso mungilnya, putri saya menjerit ketakutan dan minta dibawa ke luar. Kasihan dan takut ia trauma, kamipun keluar di tengah-tengah pertunjukan dengan wajah penuh keringat. Ibu mertua saya mulai berkomentar agak pedas. “Kok cucu saya penakut nih?” Tekad di dalam diri saya berkobar kembali. Tidak, anak saya tidak penakut! “Nanti kalau saatnya menonton lumba-lumba dia pasti senang kok,” kata saya sambil tersenyum. Kami pun mengajak Aluf berkeliling lagi sambil menenangkannya. Ketika ia berhenti menangis, pertanyaan yang sama kembali keluar dari bibir mungilnya. Kapan kita main pasir?
Saya mulai terpikir untuk menyerah dan keluar saja dari Gelanggang Samudra. Tapi karena sudah kepalang tanggung dan pertunjukkan lumba-lumba sudah akan dimulai, kami memutuskan untuk tetap mengajaknya ke dalam. Suami saya sempat mengajak Aluf ke kolam besar tempat lumba-lumba itu berenang untuk memberikan Aluf gambaran betapa lucunya mahluk yang akan ia tonton tersebut. Sedikit demi sedikit penonton membanjiri tempat duduk arena. Kami mengambil tempat duduk di pinggir atas dan menarik napas penuh antisipasi. Musik dimulai, sang MC keluar disambut tepuk tangan anak-anak gembira. Dan Aluf pun memulai teriakan histerisnya.
Kali ini, tanpa menunggu lagi kami membawanya keluar. Sempat terlintas di pikiran saya, kalau anak-anak lain di dalam sana tidak takut, kenapa anak saya kok takut sekali? Karena tidak ada lagi yang bisa kami lakukan di Gelanggang Samudera, kami pun keluar dan membawa mobil menuju pantai. Sesampainya di pantai, Aluf berlari kencang ke arah salah satu sudut, duduk dengan santainya dan mulai mengaduk-aduk pasir dengan sekop kecilnya. Pipi halusnya kemerahan terkena sinar matahari, matanya bersinar-sinar, rambut keritingnya tertiup angin pantai dan mulutnya tak henti tersenyum dan tertawa. Di samping saya, neneknya mengatakan hal yang dari tadi ada di pikiran saya tapi tak sanggup saya ucapkan “Sebenarnya anak ini memang hanya ingin main pasir, dan kita tidak perlu sampai mengeluarkan 300 ribu kalau dari awal kita mengabulkannya.”
Menjadi orang tua selama 2,5 tahun terakhir ini mengajarkan saya banyak sekali hal. Dan hari itu, kembali saya mendapatkan pelajaran berharga. Hanya karena kami orang tuanya, tidak berarti kamilah yang paling berhak menentukan cara kami bersenang-senang. Anak saya sudah cukup besar dan pintar untuk bisa menentukan pilihannya sendiri. Kami memberikan ia pilihan yang begitu semarak dan “mahal”, namun ia berulang kali mengatkan bahwa ia hanya ingin main pasir. Mengapa saya tidak mendengarkan dan mengabulkan keinginannya dari awal?
Saya juga belajar bahwa ketakutan anak saya, walaupun terdengar sangat tidak rasional bagi kita orang dewasa, adalah sesuatu yang tidak bisa ditepis begitu saja, karena ketakutan tersebut nyata baginya. Seharusnya kami tidak memaksanya. Setiap anak punya cara yang unik untuk mengatasi ketakutannya dan kami sebagai orang tua harus menghormati hal itu. Tugas kami adalah mendengarkan dan menunjukan bahwa kami mengerti perasannya serta menuntunnya saat ia siap melakukan hal-hal yang dulu ia takuti, di waktu yang ia tentukan sendiri.
Sore itu kami pulang tanpa banyak berkata-kata. Dompet kami kosong, tetapi hati kami penuh dengan cinta dan pemahaman baru terhadap karakter anak kami satu-satunya ini, serta bagaimana cara kami membesarkannya. Betapa bodoh dan ‘sombongnya’ kami sebagai orang tua, merasa paling tahu apa yang membuat permata hati kami senang. Mata saya melirik Aluf kecil yang sedang melihat ke luar jendela dengan pasir masih menempel di kaki dan sendalnya. Wajahnya lelah, namun masih tampak kebahagiaan di matanya karena telah menghabiskan sore hari itu di pasir yang hangat ditemani orang-orang yang ia cintai. Dalam hati saya bertekad untuk selalu mengingat momen ini sebagai janji kepada diri saya sendiri. Saya akan mendahulukan perasaan dan keinginannya dibandingkan ego saya.
Luf, maafkan mama ya. Akhir pekan depan, kita main pasir di halaman depan saja ya?
Tulisan ini saya post dalam rangka ulang tahun Aluf yang ke-3 hari ini :) Happy birthday my little girl. There are not enough words to describe how much I love you :)
Cerita ini juga pernah dimuat di kolom Refleksi di majalah Parenting Indonesia