Seiring dengan lahirnya Undang-Undang kesehatan nomor 36 Tahun 2009, di mana pada pasal 128 Ayat 1 melindungi hak bayi mendapatkan ASI eksklusif, semakin banyak rumah sakit yang memproklamirkan diri sebagai RS pro asi. Sayangnya, label yang mereka pasang tidak selalu sejalan dengan kenyataannya. Hal tersebut saya saksikan saat ipar saya melahirkan di sebuah rumah sakit di kawasan Tangerang. Sebelum memilih RS tersebut, adik saya mensurvey RS dengan mempertanyakan komitmen mereka pada pemberian ASI eksklusif. Dengan yakin, pihak RS menyebut dirinya RS pro ASI, bahkan memiliki ASIP donor katanya.
Keanehan pertama seputar ASI terjadi saat ipar saya mengikuti senam hamil terakhir sebelum bersalin (ipar saya dinyatakan harus cesar oleh DSOGnya karena matanya minus tujuh, tapi dia masih berharap bisa melahirkan spontan, makanya masih senam hamil). Seorang petugas medis sempat bertanya pada ipar saya, nanti kan habis operasi tidak bisa menyusui, apa mau pakai susu formula (sufor) dulu? Sungguh pertanyaan yang aneh dari sebuah rumah sakit pro asi. Kenapa setelah operasi tidak bisa menyusui? Kecuali ibunya mengalami sakit berat, pasca cesar tidak ada halangan untuk menyusui. Susah sudah pasti, butuh ‘tangan lain’ untuk memposisikan bayi sementara sang ibu geraknya masih terbatas. Dan jangan lupa, dalam 72 jam pertama, bayi mampu bertahan tanpa mengkonsumsi apapun. Jadi, untuk apa sufor?
Namun sebagai ibu baru, tidak urung ipar saya pun gelisah. Di hari kelahiran keponakan saya, sekitar jam satu siang, saya bawakan empat kantong Air Susu Ibu Perahan (ASIP) saya sebagai back-up (saya masih menyusui putri saya yang berusia lima bulan). Saat menerimanya seorang perawat menanyakan “Cuma segini bu? Kalau tidak cukup bagaimana?”. Saya jawab “masak tidak cukup suster, kan bayi baru lahir, seburuk-buruknya dia cuma butuh asip untuk 24 jam pertama, masak habis itu ibunya masih tidak bisa menyusui”. Suster diam saja. Tidak lama, setelah saya meninggalkan RS, adik saya telepon, susternya bilang satu kantong ASIP tidak layak pakai. Sisa tiga kantong dihitung hanya 30 ml, yang kemudian dinyatakan hanya akan cukup hingga jam sembilan malam. Dan kembali, adik saya ditawarkan opsi susu formula. Lagi-lagi sebuah keanehan. Pertama, seharusnya petugas medis tahu, bayi kecil yang belum berusia sehari tersebut memiliki lambung hanya sebesar kelereng. Dan sekali lagi, ia mampu bertahan tanpa asupan apapun selama 72 jam. Terakhir, tidakkah setelah jam 9 malam nanti ipar saya akan lebih siap untuk menyusui bayinya?
Saat itu adik saya mengajukan permintaan ASIP donor yang tersedia di RS. Sangat mengejutkan, pihak RS menjawab mereka tidak punya ASIP donor, pasien harus menyediakan donornya sendiri. Kalau begitu, rasanya mereka tidak perlu melabeli dirinya pro ASI. RS yang tidak pro ASI pun dapat memberikan ASIP kalau pasien sendiri yang harus menyiapkannya.
Ketika akhirnya bayi diserahkan pada ipar dan adik saya, sekitar tujuh jam pasca dilahirkan, bayi tersebut hanya diserahterimakan begitu saja. Adik saya sebagai pasangan orangtua baru jelas bingung bagaimana cara menyusui anaknya sementara gerak badannya masih sangat terbatas. Suster bahkan menyatakan, jika bayi rooming-in dengan ibunya, maka sang ibu yang bertanggungjawab untuk menggantikan popok jika bayi buang air. Dapat dengan mudah diduga, pasangan orangtua baru tersebut panik dan mengembalikan bayinya kembali ke ruang bayi.
Malamnya adik saya kembali diinformasikan bahwa ASIP habis dan opsi sufor ditawarkan kembali. Adik saya tetap menolak. Subuh kami membawakan ASIP kembali dalam jumlah yang banyak untuk seorang bayi kecil, kira-kira ada 10 kantong. Bersamaan dengan itu, adik saya dipanggil dan bayinya dinyatakan lemas, kadar gulanya rendah, kembali ditawarkan sufor dan dinyatakan perlu diinfus. Yang sangat sulit kami pahami adalah vonis ‘lemas’. Karena saat dibilang lemas, keponakan saya sedang ngulet-ngulet khas bayi, tidak lama kemudian adik saya juga melihat dia menangis. Sayang suaranya tidak terdengar, karena entah dengan alasan apa, keponakan saya tidak juga keluar dari inkubator sejak pertama ia lahir. Selain lemas, salah satu indikator kurang gula yang disebutkan pihak RS adalah kakinya biru. Padahal, kaki biru sama sekali bukan gejala klinis Hipoglikemi, dan tentu saja bukan indikasi untuk menyerah pada sufor.
Setelah akhirnya keponakan saya diinfus dan diberi minum ASIP kadar gula bayi naik kembali, tapi kemudian dinyatakan infeksi. Saya desak adik saya menanyakan diagnosa dalam bahasa medis, infeksi apa? Jawabannya hanya infeksi bayi baru lahir. Dan diharuskan terapi antibiotik selama lima hari.
Selama itu, adik saya sama sekali tidak pernah diperlihatkan hasil lab yang menjadi dasar vonis infeksi. Ketika akhirnya mendesak seorang perawat untuk menyerahkan hasil lab dengan alasan diminta HRD kantor adik saya (karena kalau tidak ada indikasi masuk NICU tidak akan diganti biayanya) seorang perawat hanya menyalinkan hasil lab yang point-pointnya dianggap di atas normal. Segera saya komunikasikan point-point tersebut pada dokter keluarga kami, yang kemudian malah bingung “point-point ini tidak menunjukkan adanya infeksi”. (Kelak, setelah keluar RS, saat konsultasi pertama ke dokter spesialis anak (di RS yang berbeda), dokternya juga tidak melihat indikasi infeksi sama sekali dari hasil lab nya. Dua dokter tersebut juga sama-sama menanyakan keadaan klinis keponakan saya saat itu. Yang tentunya dilihat dengan mata kepala ipar dan adik saya sendiri bagaimana keponakan saya bisa menangis keras, bergerak aktif ketika bangun, bangun setiap 3 jam untuk minum susu, dan mampu minum melalui mulut).
Sementara itu ASIP yang kami kembali bawakan dikomplain, katanya cepat berbau. Kami tidak pasti bau apa yang dimaksud, karna setahu saya, ASIP memang memiliki bau khas. Ketika akhirnya adik saya menyerah pada sufor, sebuah merk pun disebutkan pihak RS dan adik saya dipersilahkan membelinya di apotik RS. Sebuah merk yang sama dengan merk yang tertera pada banner klub gizi yang terletak di depan lift-lift RS tersebut. Sungguh mudah diduga.
Sementara keponakan saya dirawat di ruang NICU ipar saya mulai memerah ASInya demi segera menghentikan pemberian susu formula. ASI perah yang tadinya diberikan dengan jalan disuapkan, lama-lama diubah dengan memakai botol, dengan alasan susah karena bayinya di inkubator. Padahal, tidak perlu kecerdasan tinggi untuk menemukan informasi bahwa penggunaan botol pada bayi baru lahir dapat meningkatkan kegagalan proses menyusui karena berpotensi bayi bingung puting.
Setelah lima hari terapi antibiotik, adik saya meminta anaknya dipulangkan, karena perawat pun menginformasikan pemberian antibiotik sudah dihentikan. Tapi anehnya, keponakan kami tetap ditahan dengan alasan harus menunggu hasil kultur darah keluar. Hasil tersebut belum keluar karena butuh waktu lima hari, sementara kemarin terpotong hari libur dua hari. Jadi, keponakan saya disuruh menunggu di dalam ruang NICU bersama bayi-bayi sakit lainnya, karena sebuah kantor libur. Sangat tidak masuk akal. Kalau memang masih perlu di RS tentu antibiotik masih diberikan, kalau sudah dihentikan berarti untuk apa bayi kecil itu mempertaruhkan kesehatannya berada di RS yang penuh dengan kuman? Bahkan perawat menawarkan “saya lepas infusnya deh bu” sungguh sebuah dealing yang sangat aneh. Kalau memang infus sudah tidak perlu kenapa dipasang? Toh bayi mampu minum dari mulutnya dan antibiotik katanya sudah tidak diberikan. Kalau begitu untuk apa bayi tersebut menunggu di RS?
Menjelang sore seorang dokter jaga (oh ya, dokter spesialis anak yang selama ini memberikan berbagai vonis pada keponakan saya sedang cuti) bersiap memberikan antibiotik lagi kepada keponakan saya dengan cara disuntik. Ipar saya memohon untuk dihentikan saja antibiotiknya, karena hasil lab terbaru sudah menunjukkan perbaikan. Dokter tersebut heran, kemudian melihat hasil lab, dan suddenly, tidak lagi berkeras memberikan antibiotik dan meluluskan permintaan ipar saya. Aneh, apakah dia tidak tahu bahwa rencana treatment antibiotiknya hanya 5hari, dan apakah dia tidak merasa perlu mengecek hasil lab sebelum menambahkan antibiotik?
Sayangnya, ipar dan adik saya tidak punya mental untuk memaksa memulangkan anaknya. Saya juga tidak dapat menyalahkan mengingat mereka orangtua baru dan pihak rumah sakit memberikan banyak alasan sehingga mereka ketakutan akan keselamatan anaknya jika dibawa pulang.
Keesokan harinya, ketika hasil kultur telah keluar dan hasilnya adalah steril, keponakan saya dinyatakan harus fototerapi mengingat bilirubinnya mencapai 13. Padahal dalam guideline jaundice, bayi di atas 72jam hanya perlu foto jika bilinya mencapai 18. Taruhlah dia benar-benar sakit, sehingga point bilirubin untuk indikasi foto terapi harus turun, itu pun hanya mencapai 16 bukan 13. Lagi-lagi keponakan saya menginap, foto terapi direncanakan berlangsung hingga besok sore. Keesokan harinya bili keponakan turun jadi 7,4 dan pihak RS tetap tidak berani memulangkan. Untunglah, pada titik tersebut ipar dan adik saya sudah tak mampu lagi bersabar. Akhirnya setelah sedikit ngotot-ngototan dengan pihak RS, keponakan saya berhasil pulang jam 9 malam, setelah melunasi billing yang mencapai delapan juta rupiah untuk lima hari empat malam.
Tidak, tentu saya tidak akan menyebutkan nama RS nya. Karena saya ibu dua anak, dan seperti juga saya yakin Prita Mulyasari sebenarnya, saya tidak punya waktu luang untuk diperkarakan di muka hukum apalagi menginap di hotel prodeo. Tapi dari sini saya berharap ada banyak orangtua yang bisa belajar. Bahwa keharusan menjadi konsumen medis yang pintar adalah ‘rezeki’ orang Indonesia. Bahwa apapun label yang dibubuhkan sebuah RS tidak dapat dijadikan jaminan apa-apa. Dan bahwa kita memegang kuasa dalam pengambilan keputusan apakah sebuah tindakan medis boleh atau tidak dilakukan pada diri kita sendiri atau bayi kita.
Sama dengan RS internasional, RS pro ASI pun menjadi tidak jelas kriterianya. Padahal, harusnya RS tersebut mampu menyediakan informasi yang benar seputar ASI, memberi dukungan fisik maupun psikologis dalam upaya ibu memberikan ASI, serta didukung oleh petugas medis yang ‘melek-ASI’. Sebenarnya, sangat memalukan jika petugas medis kurang memiliki ilmu ASI, mengingat ibu rumah tangga pun dapat mengakses informasi seputar ASI, setidaknya melalui situs-situs resmi kesehatan.
Selanjutnya, mungkin kita bisa lebih berdaya lagi, bersama-sama mengawasi sistem promosi dan pemasaran susu formula yang luar biasa gencar. Seharusnya mereka dilarang keras melakukan kerjasama dengan pihak Rumah sakit. Tidak dalam bentuk pemberian souvenir berlogo merk sufor, tidak dalam bentuk pemberian sufor gratis, tidak dalam bentuk klub gizi atau klub apapun, tidak juga dalam bentuk pemberian informasi pribadi pasien kepada sales sufor (pasti bukan saya saja ibu yang ditelepon sales sufor sesaat setelah pulang ke rumah pasca melahirkan), apalagi dalam bentuk pemberian komisi atas penjualan sufor di RSnya. Saya tidak hendak menggugat Ibu yang memilih memberikan sufor pada anaknya. Tetapi ada banyak ibu yang ingin memberikan ASI nya namun tidak paham tata caranya, atau ibu yang belum memilih karena kurangnya informasi. Apa jadinya jika ibu-ibu tersebut terus menerus digiring ke arah susu formula? Berapa banyak lagi bayi-bayi yang harus berjuang keras demi merasakan nikmat air susu ibunya? Bahkan mamalia yang lebih rendah pun mampu dengan mudah melakukan IMD dan menyelesaikan masa menyusuinya dengan baik.
Mengapa kita tidak?
*dikirim oleh Dini Wiradinata, ibu dua putri Zeeva Athena Cakranegara (Isya) 4 tahun & Cairo Aramintha Cakranegara (Kei) 5 bulan, pada saat kelahiran keponakan pertamanya. Semoga dengan share ini para mommies, terutama new moms, jadi lebih teliti dan kritis dalam memilih RS tempat bersalin ya Din.