Sorry, we couldn't find any article matching ''
Meninggalkan Status Ibu Bekerja & Menjemput Rezeki Lain
Saya dulunya adalah working mom, dengan jam kerja yang ringan, hanya dari 8.30 - 3.30, 5 hari kerja dalam seminggu. Dalam setahun bisa mendapat maksimal 15.5 kali gaji. Kami tidak punya pembantu, karena memang tidak pernah berjodoh dengan pembantu tetap, hanya pembantu part time yang datang 1-3 kali seminggu tergantung kebutuhan.
Anak saya lahir di Doha-Qatar, dan setelah berjuang mencari pembantu yang akhirnya tidak berhasil (tidak cocok terus) maka akhirnya saya lari ke penitipan anak (nursery) untuk menjaga dia selama saya kerja. Alhamdulillah nursery-nya walaupun international tetapi nanny-nya masih mengasuh dengan cara-cara Asia, karena juga nanny-nya berasal dari Filippin. Anak saya dirawat dengan kasih sayang, bahkan kalau sedang tidak enak badan nanny-nanny tersebut rela hati menggendongnya, yang bahkan ayah bundanya sendiri jarang melakukannya. Semua diaper, baju ganti, makanan dan susu saya siapkan tiap hari dari rumah untuk keperluan Latifah seharian di nursery.
Tetapi karena sejak umur 4 bulan terpapar dengan lingkungan luar, maka anak saya sering sekali sakit. Mulai dari batuk pilek biasa, infeksi telinga sampai diare parah yang disebabkan Virus Rota sampai diopname. Airmata ini sering kali tumpah saat melihat anak saya lemas, diam, sampai muntahnya berwarna hijau. Tapi tugas harus tetap dijalankan, saya harus tetap masuk ke kantor dan anak saya dititipkan ke nursery.
Nursery-nya sendiri juga mempunyai suster yang akan memberikan obat seperti yang telah kami instruksikan jadi ya memang hati saya agak tenang. Menelpon nursery untuk mengetahui perkembangan kesehatan anak tak lupa terus saya lakukan. Dan jika ada kejadian khusus, misalnya anak saya tiba-tiba demam di atas 37.8 pun saya ditelpon untuk memberi tahu atau sekedar meminta ijin untuk memberikan obat penurun panas.
Kami merasa nyaman dengan keadaan seperti ini, karena memang tidak ada pilihan lain. Merekrut ART juga bukan pilihan karena selain biaya perekrutan mahal, sekitar Rp 25 jt, kita juga harus "cocok" dengan pembantu yang kita pilih dengan hanya melihat foto di database penyalur. Selama 2 tahun kita harus hidup dengan ART tersebut, cocok ataupun tidak cocok. Kecuali kalau ART tersebut melakukan perbuatan melanggar hukum maka tidak diperkenankan untuk menukar. So, there's no such thing as "ketidakcocokan" excuse. Pengalaman masa lalu yang sudah mencoba berbagai macam ART adalah dengan ART yang sudah mempunyai visa tinggal di Qatar dengan sponsor orang lain, sehingga saya tidak terbebani biaya agen.
Sebenarnya kalo dihitung secara umum, perbulannya akan jatuh lebih murah kalau kita menggunakan ART daripada nursery. Tapi karena kita mempunyai masa lalu yang kelam dengan ART yang menyisakan trauma (haduh, bahasanya..) dan hilangnya privacy, maka kita memilih untuk tetap bertahan dengan nursery + part time maid.
Ketika isu flu babi merajalela, semua sekolah dan nursery di Qatar menerapkan kebijakan ketat untuk mencegah penyebarannya. Antara lain melarang anak yang sakit untuk sekolah, terutama batuk pilek dengan demam tinggi, sampai ada surat ijin dokter yang menyatakan fit. Bahkan bila ada 2 bersaudara yang sekolah di tempat yang sama, dan salah satunya sakit, maka saudaranya juga tidak boleh sekolah.
Di sinilah mulai timbulnya masalah bagi kami. Karena Latifah memang sering sakit dan kadang disertai demam tinggi maka mau tak mau saya harus cuti untuk menemani dia di rumah. Saya bukan ibu yang egois. Saya memang ingin bersama dengan anak saya kalo dia sedang sakit, tapi saya juga seorang pegawai yang tidak bisa seenaknya cuti.
Sebenarnya atasan saya memberikan kelonggaran untuk saya cuti kapanpun bila anak sakit, karena memang jatah cuti saya dalam setahun ada 31 hari kerja (lebih kurang 1.5 bulan), plus cuti bersama dari pemerintah (dalam setahun ada 2 kali cuti Idul Fitri dan Idul Adha yang lamanya masing-masing mencapai 10 hari kalender). Tetapi kalo misalnya di kantor ada hal yang urgent, maka saya juga tidak bisa cuti seenaknya.
Saat paling menyedihkan bagi saya adalah ketika saya harus tetap ke kantor, sementara Latifah sakit dan ditolak di nursery walaupun batuk pilek sudah agak reda dan tidak demam lagi. Surat dokter memang menyatakan dia harus istirahat 3 hari dan itu adalah hari ke-3. Akhirnya atasan saya menyuruh membawa Latifah ke kantor. Sementara saya mengerjakan tugas, Latifah tidur di musholla ditemani satpam kantor. Ketika dia bangun dan bosan di kantor akhirnya dia memilih untuk menunggu di mobil sambil menonton kartun kesukaannya, dengan AC menyala dan tetap ditemani satpam kantor.
Menangis hati saya waktu itu, sedih sekali rasanya melihat anak saya seperti itu. Teman-teman di Facebook ada yang menghujat saya, ada pula yang ikut sedih dan menyemangati saya. Setelah pekerjaan saya selesai, atasan saya pun turut mengantarkan ke mobil dan dia bilang sendiri ke anak saya, meminta maaf karena mengharuskan saya untuk bekerja di waktu dia sakit karena ada masalah penting. She was just 2 years old at that time :((
Setelah itu saya semakin berpikir keras untuk berhenti kerja, selain memang ada alasan lain. Suami dari dulu selalu mendukung saya untuk di rumah, walaupun tidak pernah melarang saya untuk kerja dan bangga juga istrinya kerja. Suami bilang, lebih baik bunda di rumah aja, kalo Latifah sakit dia ada yang menjaga, aku jadi tenang juga di kantor.
Akhirnya setelah melalui diskusi panjang, terutama tentang masalah keuangan saya memutuskan untuk berhenti kerja. Saya berpikir, tidak mengapa tidak bisa menabung banyak, nanti setelah anak-anak sudah mandiri saya bisa kerja lagi. Tidak mengapa tidak bisa tamasya asalkan setiap tahun bisa mudik ke Indonesia (karena memang ada jatah uang tiket setahun sekali dari perusahaan suami).
Karena kantor saya adalah kantor dengan jumlah personel sedikit, maka rasa kekeluargaan itupun sangat erat. Hanya ada 1 teman saya orang Filipin yang mendukung saya resign, karena dia juga merasakan susahnya membesarkan anak, terutama ketika anak sakit. Sementara semua teman lainnya menyayangkan keputusan saya dan mendorong saya untuk mencari ART saja. Well, I really think finding a maid is like mencari jodoh.. Some people memang tidak ditakdirkan untuk berjodoh dengan ART.
Atasan saya pun memohon saya tinggal lebih lama sampai dia menemukan pengganti saya. Walaupun sebenarnya dia hanya berhak menahan saya sesuai dengan kontrak, 1 month notice, tapi atasan saya meminta saya pergi setidaknya seminggu setelah saya selesai melatih pengganti saya.
Dan mulailah saya memasang iklan dimana-mana untuk mencari pengganti, dan secara mengejutkan kami menerima sekitar 700 lebih pelamar. Mulai dari bangsa Asia Tenggara, India, Arab, bahkan bule dari Eropa dan Amerika turut melamar. Ada yang bergelar Phd, Engineer dan Chartered Accountant. Hello? Ini hanya posisi Admin Assistance di sebuah Embassy negara kecil (yang memang maju sih). Ternyata Qatar adalah Land of Hope baru.
Terus terang saya minder melihat para pelamar dan semua teman kantor juga kaget melihat banyaknya pelamar karena mereka juga punya titipan dari teman/keluarganya yang kemudian hanya saya tumpuk di meja. Saya "hanya" lulusan S1 Akuntansi Unair (dengan tidak mengurangi hormat pada almamater saya) sementara mereka dari berbagai Universitas di seluruh dunia dengan berbagai jenjang pendidikan. Saya bertanya pada diri saya sendiri, apakah misalnya di masa depan sewaktu saya "ingin" mencari kerja lagi akan bisa mendapatkan dengan mudah? Wallahu A'lam. Teman-teman kantor saya yang putus asa melihat tumpukan pelamar di meja berkata, "Why don't you just stay? you're so lucky to be able to work here, look at those people struggling for a better job".
But the show must go on, dan akhirnya kami menemukan calon yang tepat. Dan lucunya, saya disuruh atasan untuk ikut mewawancara, serta memperkenalkan saya dan terus-terusan mengatakan pada 12 orang peserta wawancara kalo saya ini aset berharga di perusahaan yang pergi karena anaknya. Atasan saya juga sangat berharap pengganti saya agar selalu kerasan dan lama kerja di sini. FYI, saya kerja di kantor ini sudah 3 tahun, suatu rekor karena masa lalu saya yang kutu loncat tidak bisa bertahan lebih dari 1 tahun di kantor lama dengan berbagai alasan. Saya sediiiih sekali sewaktu mewawancara mereka dan memang berat bagi saya untuk meninggalkan kantor.
Dalam proses 1 month notice itu teman-teman saya semua juga menyayangkan kenapa saya berhenti kerja? (termasuk my dentist!) Sayang gajinya, kerjanyakan gak berat buktinya sering Facebook-kan (yeuuuuk!), dan Latifah kan bisa dicarikan ART dan masih banyak lagi komentar lainnya. Dan salah satu teman itu kebetulan juga tiba-tiba mengajak saya untuk join membuka restoran Indonesia di Qatar. Oh my God.. memang benar kalo rejeki itu tidak akan lari kemana.
Kini sudah 5 bulan saya berhenti kerja, dan keadaan restoran kami memang juga belum begitu stabil. Kadang keuntungan banyak (walaupun bagi hasil tidak mencapai separuh gaji saya dulu) dan kadang pula keuntungan sedikit sekali (yang hanya bisa buat bayar tagihan telpon). Tapi saya bahagia. Saya hanya bertugas mengerjakan laporan keuangan saja, selain sebagai pemegang saham minoritas.
Dan herannya walaupun saya tidak kerja, penghasilan restoran juga tidak bisa diandalkan (belum balik modal juga), masih jarang masak, sering jajan di luar, masih pake part time maid, dan masih mengirim setrikaan pakaian di laundry, kurs dolar yang terus melemah (maaf, sebagai expat memang kami agak sedih kalo Rupiah menguat) tetapi kami tetap bisa menabung. Subhanallah. Berkali-kali kami hitung secara matematika jadi bingung sendiri. How come? maaf sekali lagi, saya tidak bermaksud sombong/riya. Yang saya ingat, meskipun dulu saya berhasil menyimpan sekitar 80-90% gaji saya, tapi seringkali ada "kejadian yang tak mengenakkan" yang membuat saya merelakan sebagian atau seluruh tabungan saya. So, in the end sama saja.
Mungkin juga sewaktu bekerja saya "terlalu berlebihan" dalam berbelanja dengan alasan aktualisasi diri. Atau pura-pura jualan tas branded dari US, yang hasilnya juga buat beli tas buat diri sendiri. Sekarang saya melihat tumpukan tas (hahaha.. nggak sebanyak Mommies yang aktif di Fashionese Daily sih) jadi bingung sendiri buat apa juga? Mau saya jual kok banyak yang bernoda susu, jadi ketahuan joroknya.
Alhamdulillah setelah resign dan nyantai di rumah saya bisa hamil lagi. Dan akhirnya gara-gara gak kerja, hamil dan tubuh membesar semua baju kantor saya sumbangkan ke orang-orang terdekat. Mau disumbangkan langsung ke Qatar Charity sayang karena bajunya masih bagus.
Dan yang terpenting, selama 5 bulan ini Latifah hanya sekali ke dokter, itupun karena kita mau mudik ke Indonesia dan hanya untuk cek up. Kesehatan anak inilah yang paling membuat kami bahagia. Usai sudah masa-masa harus ke dokter sebulan 2 kali, harus menempuh 40km pp untuk ke dokter langganan. Second opinion, third opinion, kesusahan ngasih obat yang akhirnya Latifah kami biarkan saja tidak minum obat. Kadang sama dokter ga dikasi obat karena "alergi" atau malah harus minum obat secara terus-menerus selama sebulan, ternyata malah cocok dengan Laserin Anak. Kami berpikir betapa sedihnya orang tua yang anaknya sakit, dan harus bayar biaya dokter dan obat. Karena kami yang ditanggung asuransi kesehatan 100% saja sedihnya bukan main.
Dan tentunya selama 5 bulan ini Latifah saya "kurung" di rumah, sesuai saran big boss saya ketika farewell party di kantor (yang juga berubah menjadi promosi restoran saya karena atasan saya pesan tumpeng). Latifah pun tidak mau "sekolah" lagi, sampai pihak nursery-nya yang menelpon menanyakan status filenya. Sayang sebenarnya saya sudah bayar "retainer fee", tapi kalo ingat sakitnya dia di masa lalu membuat saya keder juga untuk mengembalikan dia ke sekolah.
So the point is, bagi ibu-ibu yang merasa berada dalam kebimbangan seperti saya dulu, jangan ragu untuk memutuskan jadi full time mom. Insya Allah rejeki sudah ada yang ngatur.. selain kita mendapatkan pahala juga mendapat ketenangan batin. Believe, Mommies!!
---
Wow, terima kasih ceritanya ya Shanti Ekavianti, inspiring sekali. Mudah-mudahan restorannya tambah laris :)
Share Article
COMMENTS