Ini yang Saya Lakukan Saat Anak Meminta Buat Akun Instagram

Behavior & Development

Mommies Daily・04 Jan 2017

detail-thumb

Ditulis oleh: Ficky Yusrini

Di usianya menginjak 9 tahun, ‘tekanan’ anak untuk masuk ke media sosial semakin kuat. Tekanan itu datang dari peer-nya.

“Bu, hampir semua temanku punya akun Instagram. Kenapa aku enggak punya?”

“Bu, aku disuruh temanku gabung ke grup Whatsapp.”

“Bu, temanku pada punya Snapchat.”

Begitu ceritanya. Sekeras apa pun berusaha, sulit untuk membuat anak ‘steril’ dari media sosial. Ini yang saya lakukan:

 Ini yang Saya Lakukan Saat Anak Meminta Buat Akun Instagram - Mommies Daily

Image dari: wpengine.netdna-cdn.com

1/ Mengajak anak belajar menaati aturan

Kami pun duduk bersama. Saya lalu mengajaknya membaca bareng klausul dari masing-masing media sosial. Mulai dari Instagram, Whatsapp, Snapchat, lalu Facebook. Rule number 1, basic term, berbunyi: You must be at least 13 years old to use the service. Nah, kan?

Pi lalu mengerti, kenapa saya tidak mengabulkan permintaannya. Belakangan, ternyata ia ‘keras’ ke teman-temannya dan memarahi mereka yang punya akun Instagram, ataupun media sosial lainnya. Waduh, saya jadi deg-degan. Bisa-bisa ‘Pi versus the world’ kalau didiamkan. Lalu, saya pun kembali menjelaskan, kalau ia tak perlu memusuhi semua temannya, hanya karena tidak mau punya media sosial. “Kita punya alasan sendiri, dan orang lain juga begitu. Jadi, hormati saja keputusan temanmu. Toh, mereka adalah tanggung jawab orangtuanya masing-masing,” begitu saya menenangkan.

2/ Menjelaskan efek negatif media sosial

Menurut data KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), sejak tahun 2011 hingga 2014, jumlah anak korban pornografi dan kejahatan online di Indonesia telah mencapai jumlah 1022 anak. Kemudahan yang ditawarkan internet, adalah surga bagi para predator seks untuk leluasa beraksi. Selain predator seks, ada pula kejahatan penculikan, pengintaian, dan pencurian identitas, adalah modus yang umum terjadi di online.

Kisah Alicia Koz, gadis 13 tahun dari Amerika Serikat, adalah sebuah contoh nyata, bagaimana modus predator seks beraksi, berkenalan dengan korban, mengajak chatting, dan menggunakan segala cara untuk mendapatkan kepercayaan dari korban. Setelah 8 bulan dikenal lewat chatting, Alicia setuju untuk menemui Tyree. Tyree ternyata menculik dan menyekap Alicia di basement rumah kediamannya. Selama disekap, Alicia diperkosa, disiksa, dan diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi. Predator seks tidak hanya mengancam anak perempuan, tetapi juga anak laki-laki.

Saya tentu tidak bisa menguraikan tentang kejahatan cyber di atas pada anak. Saya hanya bisa mengatakan, “Sama halnya dengan dunia game. Ada orang baik, ada orang jahat. Di dunia online, ada banyak orang jahat. Kita tidak tahu sampai batas mana mereka ‘menyerang’ kita. Karenanya, kita harus selalu waspada.”

3/ Menghindari bullying

Berapa kali kita dengar berita tentang artis A atau tokoh anu diserang hater. Tanpa sadar, mungkin kita juga pernah menuliskan komentar yang menyinggung perasaan teman atau siapapun dalam lingkar media sosial kita. Komentar yang menyinggung itu juga bisa berdampak sebagai bullying. Hal ini bukan tidak mungkin dialami oleh anak. Bukankah anak belajar dari apa yang dilihatnya?

Apa yang menurut kita sepele, belum tentu demikian bagi orang lain, terlebih anak-anak yang secara psikologis mentalnya belum matang. Bullying, selain berakibat pembunuhan karakter, juga bisa membuat seseorang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Menghadapi bully di dunia nyata saja berat banget, apalagi dengan membuka diri di dunia maya, yang berarti juga membuka kemungkinan pada bully.

4/ Belajar Menghargai Privasi

“Tidak ada yang salah dengan narsis dan posting foto-foto selfie atau wefie dengan keluarga, selama kita tahu di mana batasannya.” Seaktif apa pun saya di FB, saya berusaha mengajari anak tentang privasi. Misalnya, dengan tidak memposting foto anak tanpa seizin anak. Karena itu adalah hak dia, untuk bersedia atau tidak dirinya ditampilkan di online, yang artinya akan bisa dilihat oleh semua orang. Wilayah privasi juga termasuk identitas, seperti nama, usia, dan alamat rumah. Belum lagi, password. Saya mewanti-wanti dia, jangan, ya, sekali-kali, sampai share identitas pribadi kamu ke orang yang tidak dikenal.

Ini kejadian. Walaupun ia tidak punya media sosial, ternyata celah untuk berkomunikasi dengan orang asing itu selalu terbuka. Game yang sedang ia mainkan sekarang adalah Roblox. Dalam game itu, ada fitur chatting, bahkan voice call dengan orang lain. Ia bercerita, pernah ada orang yang ia kenal di game itu, bertanya-tanya tentang nama dan alamat rumahnya.

5/ Belajar tentang batasan waktu main gadget

“Bu, temanku si A, kalau malam tidurnya jam 01.00. Dia main Whatsapp, Snapchat, sama Instagram. Followersnya berapa, Likes picture-nya berapa.”

“Lho, memang boleh sama Mamanya?”

“Kalau Mamanya ngecek, dia pura-pura tidur. Habis itu, dia main gadget lagi.”

Selain main game, saya juga kewalahan membatasi waktu anak dengan gadget karena hobinya memantau Youtube. Terutama, Youtube gamer-gamer idolanya yang kasih tip dan trik untuk main game. Wah, bisa berjam-jam, kalau nggak ada polisi yang bolak-balik mengingatkan. Apalagi, kalau ia sudah kenal Whatsapp dan media sosial. Pembatasan sudah wajib hukumnya, karena ada gangguan emosi yang bisa terjadi jika anak berlebihan bermain gadget.

Setelah berdiskusi dengan anak, lalu supaya ia enggak kudet (kurang update) amat, saya pun akhirnya membolehkannya main Instagram, tapi dengan satu syarat, ia hanya boleh mem-posting foto-foto kucingnya.

Baca juga:

Aturan Terbaru Screentime Untuk Anak