Sorry, we couldn't find any article matching ''
Kasus Awkarin dan Pelajaran Bagi Kita Para Orang tua
Social media kembali menelan ‘korban’, seorang anak remaja yang memposting nyaris semua sisi dalam hidupnya tanpa memikirkan dampak ke depannya akan seperti apa. Kemudian saya bertanya, apa yang bisa kita pelajari sebagai orang tua dari kasus ini?
Sudah melihat vlog-nya seorang remaja yang isi social medianya mostly mengenai hubungannya dengan si pacar (eh mantan pacar), yang gaya pacarannya ngalah-ngalahin kemesraan saya dengan suami dan gaya bahasa yang digunakan hanya akan membuat vlog-nya disensor abis-abisan oleh Lembaga Sensor Film Indonesia :).
Saya baru menontonnya kemarin. Itu pun setelah dapat informasi dari ThaTha. Beberapa teman yang sudah lebih dulu menonton mengatakan kalau gaya pacarannya Karin dan Gaga vulgar banget. Setelah melihatnya? In my opinion? Ini bukan hal baru yang lantas membuat kita terkaget-kaget setengah mati.
Oke, biar saya jelaskan. Urusan gaya pacaran yang kebabalasan, urusan pemakaian bahasa yang kurang ajar dan kasar, urusan drama putus cinta sampai nangis-nangis hingga mau bunuh diri bukannya sudah ada dari dulu? Setidaknya di masa saya SMA (which is kisaran tahun 94 – 97) sudah banyaaaak anak-anak SMA yang melakukan apa yang juga dilakukan oleh Karin saat ini.
Bedanya? Zaman dulu belum ada social media. Jadi nggak ada wadah untuk kita memamerkan kebodohan kita sebagai anak muda. Siapa yang diam-diam bersyukur karena social media belum eksis pada masa kita dulu masih menjadi remaja angkuh minta ditoyor? Kebayang nggak, kalau duluuu sudah ada yang namanya Facebook, Instagram, Snapchat, Youtube, maka berapa banyak aib saya, Anda dan kita semua yang sudah kita posting dengan rasa bangga, tanpa memikirkan dampaknya untuk diri kita di masa depan atau pada keluarga kita? Yup, dosa kita dan ketololan kita aman-aman saja tersimpan.
Jangan salah, saya tetap mengelus dada dan berdoa agar tidak ada Karin-Karin baru yang terus bermunculan. Beberapa waktu lalu, Laila (ME youthmanual.com) sudah membahas mengenai apa yang dapat dipelajari oleh para dedek-dedek gemez dari kasus Awkarin. Namun, sebagai orang tua, ini juga menjadi pelajaran yang sangat bagus untuk saya.
*Image dari i.ytimg.com
Lantas apa pelajaran yang bisa kita ambil sebagai orang tua?
1. Hadirlah dalam setiap tahapan hidup anak kita
Pertanyaan pertama yang terlintas dalam benak saya setelah melihat vlog dan social media anak ini adalah “Di mana orang tuanya?” Jadi, mari ajukan pertanyaan ini ke diri kita masing-masing. Sudahkah kita benar-benar hadir dalam hidup anak kita? Tak hanya saat mereka kecil namun begitu juga ketika mereka beranjak remaja hingga dewasa.
2. Berhenti menjadi orang tua yang gagal move on dari masa lalu
Lupakan pemikiran bahwa pola asuh zaman dulu bisa kita terapkan 100% untuk mendidik anak-anak kita saat ini. Zaman sudah berubah, suka atau tidak, kita sebagai orang tua harus mampu mengimbangi perubahan yang terjadi. Ibarat kata virus atau bakteri yang terus bermutasi membutuhkan varian antibiotic baru, begitu juga dengan anak-anak zaman sekarang. Dibutuhkan hal baru, kecerdasan baru, ilmu baru dari para orang tua dalam mengasuh dan mendidik agar anak-anak kita tidak menjadi korban perubahan zaman.
3. Jadilah orang tua yang melek teknologi
Terdengar klise? Memang. Tapi buktinya? Masih banyak orang tua yang nggak paham dengan dampak teknologi yang super dahsyat pada anak-anak. Lalu bagaimana kita bisa menjaga anak-anak kalau level kecerdasan kita tentang teknologi dan gadget pun jauh di bawah anak-anak kita.
4. Cari tahu apa yang lagi happening di dunia anak-anak
Saat informasi hanya sebatas jentikan jari, maka sebagai orang tua sebenarnya kita sudah sangat dimudahkan lho untuk mencari informasi apapun. Cari tahu apa yang sedang ngetrend di kalangan anak-anak kita. Apa yang lagi happening. Ibaratnya kita sudah punya amunisi yang sama dengan anak-anak kita sehingga nggak mudah untuk dibohongi, hahaha.
5. Jangan biarkan anak menggali kuburnya sendiri di social media
Berikan bekal yang kuat untuk anak kita saat ia masuk ke hutan belantara bernama social media. Social media ibarat mall, di mana saat anak kita masuk ke sana ada banyak orang yang akan ia temui. Ada yang dia kenal, ada orang asing, ada orang baik dan ada orang jahat. Sebelum anak memiliki social media, yuk kita duduk bareng, bicara tentang aturan bersocial media. Untuk memudahkan, kita bisa menawarkan si anak membuat akun social media dengan menggunakan alamat email kita, sehingga kita bisa memantau aktivitasnya. Membebaskan anak bersocial media tanpa aturan sama saja dengan kita membiarkan anak menggali lubang kuburnya sendiri.
6. Berteman dengan anak di social media
Jadilah teman anak kita di social media mereka. Bicarakan hal ini dari awal dan buat perjanjian. Misalnya, “Mama jadi teman kamu tapi mama janji nggak akan komen apapun.” Atau bisa juga kita membuat akun baru yang disamarkan agar si anak tidak perlu merasa malu di hadapan teman-temannya jika berteman dengan kita.
7. Pahami urusan asmara anak kita
Menurut mbak Vera Itabiliana Psi, di bawah usia 20 tahun, bagian otak yang melatih kita untuk menggunakan akal sehat belum terbentuk dengan sempurna, jadi apa-apa masih emosi aja yang dipakai. Mungkin itu sebabnya Karin nangis bombay saat putus dengan pacarnya dan merasa dunia seolah runtuh. Jadi, belajarlah untuk memahami urusan asmara anak-anak kita. Dengan siapa dia pacaran, cari tahu latar belakangnya (ini tetap penting). Dan, luangkan waktu berdiskusi tentang topik yang satu ini. Bagaimana perasaan anak kita, apa yang akan terjadi jika mereka putus.
Harapannya sih, saat diskusi tentang topik ini, kita bisalah menyelipkan pesan-pesan sponsor bahwa laki-laki atau perempuan di dunia ini nggak hanya satu nak. Ada ribuaaaaan. Jangan sampai kamu memberikan julukan “sakit hati terbaikku” pada orang yang salah.
8. Jadilah orang tua yang berempati
Mungkin kita dalam hati juga bersyukur bahwa bukan anak kitalah yang menjadi bulan-bulanan di social media. Bukan darah daging kita yang merekam aibnya sendiri lalu menyebarkannya ke jagad raya. Tapi bisa jadi, suatu saat anak kita yang berada di posisi Karin. Maka, mari hentikan hinaan kita. Lebih baik fokus saja memastikan bahwa anak-anak kita tidak akan menggantikan posisi Karin dan Gaga kelak. Dan tidak akan ada lagi the next Karin dan Gaga.
*Terimakasih mbak Vera Itabiliana Hadiwidjojo, Psi untuk segala masukannya yang mencerahkan :).
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS