Back To School; Nuniek Tirta Ardianto – “Sekolah untuk Personal Growth Saya”

Parenting & Kids

?author?・23 Mar 2015

detail-thumb

"Jadi ibu dan istri itu tidak ada sekolahnya, tapi ada bidang kuliah yang bisa membantu kita menjadi pribadi lebih baik dan akhirnya menjadi ibu dan istri yang baik. Nuniek sudah membuktikannya."

IMG_9390

Kesan pertama yang saya dapat saat berjumpa dengan perempuan berambut panjang ini adalah energik! Senyumnya mengembang saat kami berjabat tangan, dan sangat ramah meladeni rentetan pertanyaan dari Mommies Daily. Adalah Nuniek Tirta Ardianto, dikenal di dunia online sebagai blogger sejak 2002 dan masih aktif hingga sekarang. Selain itu namanya juga dikenal sebagai sebagai inisiator komunitas #startuplokal. Padahal latar belakang pendidikannya adalah D3 Sekretaris Tarakanita, S1 Public Relations Mercubuana dan sekarang memutuskan kembali sekolah mengambil gelar S2 Psikologi Konseling di STT Jaffray.

Bukan tanpa sebab Nuniek, sapaan akrabnya memutuskan back to school dan memberanikan diri mengambil gelar S2 Psikologi Konseling, you better read this article till the end, because so many insight yang akan Anda dapatkan dari ibu dua putri Michelle C (8) dan Videlynn C (6).

Kenapa kok memutuskan untuk sekolah lagi ambil Master Psikologi? Dan bisa dibilang enggak nyambung dengan latar belakang pendidikan Mbak yang terdahulu.

Master saya ini lebih kepada STT Jaffray (Sekolah Tinggi Teologi) psikologi konselingnya lebih ke teologikal. Saya sekaligus belajar agama dan psikologi juga. Kalau ada yang menyebut “Teologi” kebanyakan orang beranggapan sekolah untuk jadi pendeta. Saya masuk situ karena memang kebutuhan, terutama untuk my personal self growth, beda dengan teman-teman sekelas saya yang kebanyakan adalah counsellor di gerejanya atau counsellor professional.

Alasan kenapa saya sekolah lagi adalah saya pernah ada di satu titik dimana saya mengalami psikosomatis (suatu kedaan dimana seseorang mengalami gangguan psikis yang menyebabkan gangguan fisik), bolak balik dirawat di rumah sakit dengan keluhan ini dan itu. Sampai saya harus CT scan karena mengalami sakit kepala setiap minggu dan hasilnya ternyata enggak ada apa-apa. Terakhir saya masuk rumah sakit di Siloam karena GERD (semacam gangguan pencernaan karena rasa cemas yang berlebihan) yang memang berkaitan dengan psikosomatis ini dan sampai diendoskopi. Saya dirawat hanya dua malam tapi menghabiskan 14 juta. Nah momen itu adalah turning poin saya, “waah gue enggak boleh seperti ini lagi” gumam saya dalam hati. Saya harus cari tahu sampai akarnya, karena secara penanganan medis sudah saya jalani semuanya, kok masih sakit aja. Saya harus bisa investasi sesuatu untuk diri saya, daripada keluar uang percuma seperti waktu saya dirawat inap dua hari itu. Lebih baik saya cari tau apa yang sebetulnya sedang terjadi dengan diri saya.

Awalnya mau belajar kedokteran enggak mungkin dong ya? Nah yang bisa saya adalah dari sisi psikologi-nya. Karena waktu itu pertama kali yang ditanyakan oleh dokter saya adalah “Kamu stress ya?” penyakit psikosomatis itu tidak boleh stress dan depressed. Nah, di bulan berikutnya setelah November 2013 saya dirawat itu, Desember awal saya langsung daftar kuliah. Saya email dulu ke mereka kapan pendaftaran selanjutnya. Terus mereka panggil saya untuk tes masuk di bulan yang sama.

Sebulan kemudian hasilnya keluar dan ternyata saya tidak diterima, kanget banget dong saya. Dari hasil test itu saya dinyatakan dalam kondisi stress. Memang sih jeda dari saya setelah dirawat itu dengan mendaftar tidak begitu lama, dan di masa-masa itu saya tu berada di masa “In a period where I was in a journey to find a peace of mind”, saya sedang mencari kedamaian pikiran, yang pada saat itu sulit sekali untuk saya. Saat ulang tahun 6 September 2013 lalu suami saya sempat bertanya, ‘Mom are you happy?”, saya belum bisa memberi jawaban pada saat itu. Definisi kebahagiaan untuk saya saat itu masih mengawang-ngawang. Karena peace of mind saja belum dapat. Sekarang pertanyaan suami saya itu sudah bisa saya jawab karena saya sudah mendapatkan peace of mind saya.

Apa yang Mbak lakukan untuk mendapatkan peace of mind itu?

Untuk mencapai peace of mind ini, hal pertama yang harus diperhatikan adalah gratitude yaitu bersyukur, tapi gratitude ini pun harus bisa dilewati setelah kita merasa bisa berdamai dengan diri sendiri. Artinya stop self punishment, jadi ketika kita merasa bersalah dan menghukum diri sendiri, akan berakibat tidak bisa mencapai peace of mind itu tadi. Yang kedua kita juga harus bisa mengenal self awareness, misalnya tentang kekurangan-kekurangan yang ada pada diri kita.

Lalu apa definisi kebahagiaan menurut Mbak Nuniek?

Di bahasa Indonesia, kita mengenal kata bahagia, senang, dan gembira. Senang sendiri sifatnya sementara (dapat hadiah atau award). Kalau bahagia sifatnya menyeluruh, contohnya saya bahagia dengan hidup saya, meskipun saya sedang ditimpa kesulitan karena masih bisa melihat anak-anak ceria dan sehat. Merasa bahagia konsepnya adalah menyukuri hal-hal kecil yang ada di sekitar kita.

Lalu bagaimana dengan nasib hasil test Mbak tadi yang tidak diterima itu?

Dari hasil test yang saya sempat tidak diterima itu, sebetulnya saya lebih kaget kepada hasil test yang sangat detail. Dinyatakan saya sedang konflik dengan seseorang, sampai psikosomatis yang tadi saya sempat sebutkan pun tertera dalam hasil test itu. Akhirnya saya minta ketemu dengan pendiri sekolah STT ini. Dan menjelaskan keinginan saya yang besar untuk sekolah di sana untuk proses healing saya. Dan pertemuan itu membuahkan hasil, beliau bilang saya diterima tapi masuk program D3 dulu. Karena materi D3 dan S2 di semester pertama itu sama. Dipantau dulu satu semester, setelah semester pertama lewat dinilai apakah bisa saya masuk ke program S2 itu. Nah tapi ada syaratnya lagi – saya harus konseling karena mengingat hasil test tadi saya di awal (ego strength saya masih lemah), saya pun mengiyakan tidak masalah. Saya disarankan ketemu dengan psikiater yang bisa membaca lebih lanjut mengenai psikosomatis yang saya alami dan untuk menjalankan test projection di Bandung.

Halaman selanjutnya: banyak manfaat yang Nuniek rasakan setelah ia sekolah lagi!

Back To School; Nuniek Tirta Ardianto – “Sekolah untuk Personal Growth Saya”

 Gambar dari sini

Sekarang kan berarti sudah resmi mengikuti perkuliahan S2, manfaat apa yang bisa Mbak petik?

After all, ilmu yang saya dapat di perkuliahan bermanfaat banget dan mengena banget. Saya belajar tentang psikologi dasar, psikologi perkembangan, psikologi anak, psikologi keluarga, psikologi pasangan, psikologi pra nikah, dan psikologi terminal illness. Semua itu saya pikir sangat berguna untuk investasi diri. Bahkan belum selesai satu semester saya sudah merasakan manfaat ilmu yang saya dapat. Contohnya dalam suatu kesempatan yang membuat saya terharu adalah waktu anak saya yang pertama Michelle memeluk saya dari belakang, dan berbisik “I love you Mommy” dan saya membalasnya dengan “I love you too Michelle”. Lalu dia berkomentar “I’m so happy Mommy because now don't get angry easily.” Dulu saya orangnya mudah tersinggung dan mudah panik, bisa dibilang secara emosional masih turun naik. Kalau sekarang saya bisa bilang emosi saya sudah stabil.

Waktu mau sekolah lagi ambil S2, diskusi dulu kah dengan suami? Lalu tanggapannya gimana?

Pasti ya berdiskusi dulu, dan tanggapan dia mendukung banget. Menurut saya poin penting untuk menjaga pernikahan adalah keep up with your spouse, bisa istri atau suaminya atau bahkan keduanya. Kejadian tahun 2010 itu suami saja sudah ada di level atas dari segi karier dan pendidikan dan saya masih tertinggal jauh. Saya enggak mau jaraknya kejauhan, berarti harus melakukan sesuatu untuk aktualisasi diri. Sekarang kita berada di level yang sama. Jadi sekarang orang-orang memandang saya sebagai istri Natali yang juga aktif di Startup Lokal.

Dengan kembalinya Mbak sekolah, ada efeknya gak terhadap pasangan dan anak-anak?

Perbedaan paling mendasar soal konflik adalah suami saya adalah tipe yang paling enggak suka konfrontasi, dia lebih ke memendam. Tapi itu bahaya, karena menurut buku Gary Chapman yang berjudul “Anger”, amarah itu sebetulnya sesuatu yang netral artinya tidak baik dan tidak buruk juga. Sama dengan perasaan sedih atau senang, itu sebetulnya itu netral. Hanya saja yang bias jadi buruk amarah itu ketika amarah itu disampaikan dengan cara yang tidak baik. Tapi kalau kita bisa menyampaikan amarah itu dengan cara yang baik, maka amarah itu bisa menjadi baik. Contohnya, kita tidak setuju dengan apa yang sedang dilakukan oleh anak kita, kalau kita marah dengan cara melempar barang, itu jadi amarah yang buruk. Tapi kalau kita ngasi taunya dengan baik-baik, itu kan bisa bermanfaat untuk mereka. Anak-anak harus tau bahwa amarah juga penting, sebagai tanda bahwa ada sesuatu kesalahan yang dilakukan. Selain itu suami saya dulu sangat impulsif amarahnya (dipendam), tapi begitu keluar itu seperti bom waktu! Sementara saya orangnya eksplosif nah itu juga tidak baik sebetulnya. Karena kan orang bisa saja sakit hati atau semacamnya. Cara marah yang benar adalah marah yang asertif (perilaku seseorang dalam hubungan antar pribadi yang menyangkut ekspresi emosi yang tepat, jujur, relatif terus terang, dan tanpa perasaan cemas terhadap orang lain). Ilmu itu salah satu yang saya dapat dari kembalinya saya sekolah.

Dari obrolan tadi, saya mendapatkan gambaran nyata bahwa perempuan yang sudah berkeluarga dan sedang merintis kariernya – di bidang apapun itu, masih bisa mengaktualisasikan dirinya dengan cara kembali sekolah. Hmmm, saya jadi terpikir untuk menghidupkan kembali mimpi lama saya, melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 – who’s with me? :)

To be continued: Kisah Nuniek tentang Keluarga dan Startup Lokal yang ia rintis.