Sorry, we couldn't find any article matching ''
Ironi Sinetron Indonesia
Sejak terungkapnya kasus pelecehan seksual terhadap murid di sebuah TK Internasional yang kemudian merembet menjadi munculnya banyak sekali berita kekerasan pada anak. Hampir setiap hari, beberapa grup chatting yang berbeda berbagi setidaknya satu berita soal kekerasan pada anak. Dan ketika membaca daftar pelanggaran yang didapat oleh KPI dalam 10 sinetron yang dirilis tanggal 14 Mei yang lalu, saya seperti ingin berteriak "Akhirnya!" karena saya percaya apa yang anak-anak tonton, tanpa sadar akan diikuti dan dianggap biasa, toh di tv juga adanya seperti itu. Percayalah efek sinetron ini memang menyebalkan dan berbahaya.
Teringat 16 Oktober 2011, saya kirim SMS ke Ibu yang isinya "Bu, kontraksi gimana sih rasanya? Kayak sinetron gitu? Harus teriak-teriak baru jadi tanda mau melahirkan atau gimana?" Iya, pertanyaan itu muncul saat rahim saya mulai kontraksi mau melahirkan Menik. Lebay? Enggak, lah, ya. Kan, setiap sinetron selalu menyodorkan adegan teriak-teriak sebelum melahirkan, kok.
Gambar dari sini
Menurut KPI, pelanggaran yang ada di adegan sinetron adalah:
Selanjutnya: 6 adegan yang melanggar KPI dalam sinetron >>
Salah satu adegan di sinetron. Gambar dari sini.
Karena saya tidak pernah nonton sinetron, saya jadi merasa geli sekaligus takut sendiri membaca daftar ini dan merasa lega karena akhirnya ada juga lembaga yang berani mengatakan hal-hal tersebut. Dua belas adegan atau cerita yang ditemukan di sinetron ini memang sepertinya menjadi hal yang biasa di sinetron Indonesia. Sehingga akhirnya kasus kekerasan atau pelecehan seksual pada usia anak-anak juga jadi 'biasa' saja. Saat saya membaca tulisan Lita yang ini, saya jadi sadar apa yang anak tonton atau lihat memang dengan cepat diserap dan ditiru. Okelah kalau orangtua di rumah bisa mendampingi dan menyaring apa yang anak tonton. Bagaimana jika asisten rumah tangga sedang menonton dan tanpa sengaja anak ikut melihat? Atau pahitnya, anak diasuh oleh asisten di rumah sambil nonton sinetron tersebut? Kasus lebih pahit lagi, ketika orangtua juga kurang peka tentang efek sinetron ini, rendahnya tingkat pendidikan, sehingga mereka tidak sadar apa yang sedang mereka tonton.
Selanjutnya: Sejumlah anak mengikuti adegan sinetron! >>
Sejumlah anak Suku Bajo di Torosiaje Laut, Gorontalo, bermain sandiwara dengan meniru adegan kekerasan dari cerita sinetron yang biasa mereka tonton di televisi. Menonton televisi pada malam hari menjadi hiburan yang paling jamak dilakukan oleh warga Suku Bajo yang tinggal di kampung rumah panggung di atas laut yang berjarak sekitar 1 kilometer dari daratan. (Hafidz Novalsyah/NGT)
Gimana menurut, Mommies? Ironis kan!
Nah, yang lebih mengejutkan lagi adalah tanggapan pemain sinetron dan sutradara yang kemarin ada diwawancara soal keputusan KPI tersebut. Dari 10 orang yang ada, 9 tidak suka dikritik. Suara mereka hampir sama, intinya mereka mengatakan kalau KPI subjektif, hanya menonton sebagian adegan, dan terlalu berlebihan karena kapasitas sinetron ini HANYA hiburan semata. Selanjutnya bisa ditebak, pertahanan diri dari mereka adalah badan sensor yang sudah meloloskan sinetron tersebut dan juga kenapa juga ada anak-anak yang nonton? Ke mana orangtua-nya? Dik, andai hubungan antara tayangan televisi dan penontonnya sesimpel itu, tentu kasus penindasan di sekolah, kekerasan, dan pelecehan seksual di kalangan anak-anak dan remaja tidak akan pernah muncul.
Selanjutnya: Apa tindakan KPI? >>
Salah satu sinetron yang masuk di daftar KPI.
Perangkat sinetron ini sudah kebakaran jenggot, padahal saya sebagai orangtua merasa tindakan KPI masih kurang tegas dengan mengeluarkan anjuran yang 'lembut' seperti ini:
Enam anjuran ini kurang memberikan efek jera, bahkan bisa saja diacuhkan oleh pihak sinetron. Kenapa tidak dicabut saja ijin tayangnya? Apakah KPI tidak punya kewenangan untuk memberikan sanksi yang tegas kepada stasiun televisi yang bandel dan terus-terusan menayangkan tayangan yang tidak bermutu?
Kemarin saya juga mendapat cerita soal mbak baru di rumah teman. Ibu pergi sebentar ke supermarket, anaknya yang berumur 4 tahun ditinggal di rumah sama si mbak. Keesokan harinya, si anak menyanyikan lagu India, dan ibunya bingung. Iya, bisa ditebak, si mbak bilang 'cuma' nonton film India di kamar belakang sambil menyuapi anaknya. Anak bisa menyerap dengan cepat dan menirukannya.
Jadi tolonglah pihak rumah produksi sinetron dan tayangan lainnya di Indonesia, mawas diri dan buatlah hiburan yang tidak membahayakan hidup manusia, jika tidak (belum) bisa membuat tayangan yang mendidik. Jangan terus berlindung dibalik kalimat "Ini hanya hiburan, banyak hal baik juga yang bisa diambil dari tayangan ini". Hmm, mungkin bisa dimulai dengan memakai seragam sekolah yang realistis, bukan rok setengah paha dan wajah full make-up padahal perginya ke sekolah. Mau belajar, bukan mau kipasan dan bully anak orang lain yang dianggap miskin, tidak mampu, dan lainnya.
What do you think about it? Sementara jika tv kabel bisa diproteksi dengan password jadi anak (dan pengasuh) tidak bisa sembarangan nonton, bagaimana dengan tv dengan antena lokal yang tidak bisa dikunci?
Mari selamatkan anak-anak!
PAGES:
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS