banner-detik
ETC

Dari Kantor ke Rumah: My #ExcitingChange

author

vanshe17 Mar 2014

Dari Kantor ke Rumah: My #ExcitingChange

Bulan lalu, #excitingchange menjadi tema yang diusung Female Daily Network. Ini dapat kita lihat lewat makeover tampilan website, dan fokus baru yang diusung Female Daily.

Secara tidak langsung, hal ini menginspirasi saya untuk mengevaluasi berubahnya peran saya dari ibu bekerja jadi Ibu Rumah Tangga (IRT). Has it also been an exciting change?

Seorang sahabat berkata pada saya, "I think it takes at least a year to adapt with a new place, or a new role."

My friend said that based on her personal experience. Dia meninggalkan tanah air untuk menuntut ilmu ke Inggris selama beberapa tahun.

The first year in UK was rough, she said. Meskipun Inggris adalah negara yang selalu dia (kami!) impi-impikan untuk tinggali suatu hari, dan seperti layaknya penduduk negara dunia ke tiga yang belum pernah tinggal di luar negeri, kami bayangkan segala sesuatu di sana pasti 100 kali lebih baik, lebih keren, lebih menawan... hehe. Tapi tetap saja, beradaptasi tidak pernah semudah memutuskan membeli barang saat Mothercare sedang sale (analoginya emak-emak banget!). Butuh sekitar satu tahun baginya untuk benar-benar 'menikmati' segala sesuatu tentang Inggris. Ya makanannya, ya cuacanya, ya budayanya.

And then, as predicted, saat kembali ke Indonesia, she started back at one in terms of adapting. Lucu, ya, padahal sebelumnya seumur hidup dia tinggal di Indonesia.

Kalimat soal beradaptasi itu muncul di kepala saya ketika mencoba mengulas perubahan yang telah dijalani selama, well, tepat setahun ini. Have I been adapting well? Is the change really THAT exciting?

Hmm, untuk menjawab itu, sebaiknya saya reka ulang apa saja yang ada di bayangan saya sebelum benar-benar banting setir.

Sebelumnya, saya bayangkan, jadi IRT itu...

Pasti punya banyak waktu luang! I would have time to attend yoga classes, untuk berkonsentrasi menulis, untuk mencoba banyak resep, melahap banyak buku. Saya juga bisa punya banyak quality time dengan anak.

Namun kenyataannya....

Mengatur waktu supaya semua keinginan sekaligus kewajiban terpenuhi itu butuh skill manajemen waktu yang mumpuni. Mau jadi ibu bekerja kek, mau jadi IRT kek.

The exciting change yang saya hadapi adalah menemukan bahwa dinamika seorang IRT itu sangat berbeda dengan saat masih bekerja. Ketika jadi IRT, we set our own timeline, and create our own schedule. Jam 'kerja' IRT nggak jelas dan terencana seperti waktu jadi karyawan. Dan, aktivitas apa yang kita pilih untuk mengisi jam 'kerja' tadi juga sepenuhnya tergantung pada kita.

Meskipun akhirnya membuat jadwal mingguan, kelemahan saya adalah masih gampang dikendalikan oleh mood. Kadang seharusnya saya mengajak anak bermain di luar, tapi, kok rasanya males banget. Kadang jadwalnya menulis, tapi, kok saya lebih mood bebenah.

Selanjutnya, perubahan dalam kehidupan sosial.

Sebelum jadi IRT, saya bayangkan, sepertinya bakalan nelongso, nih. Saya akan jarang ketemu teman-teman lama. Dunia juga akan 'menyempit' karena berotasi di sekitar rumah saja.

Kenyataannya, memang sih, saya jadi lebih banyak berada di rumah dibandingkan sebelumnya. Bertemu dengan teman-teman lama juga hanya sesekali. Tapi ternyata, circle of friends saya merambah ke lingkungan baru, misalnya ibu-ibu di sekolah anak saya. Berawal dari pertemuan saat mengantar dan menjemput anak, berlanjut ke Whatsapp group, hingga janjian untuk playdate. Di sini, saya menemukan teman-teman yang "setipe" dan nyambung dengan peran baru saya.

Berkat mereka, saya jadi tahu tempat-tempat yang child-friendly di kawasan tempat tinggal, 'tren' terbaru di dunia fashion (anak-anak), sampai berbagai rupa jajanan untuk dicicipi.

Sementara soal dunia yang 'menyempit' tadi, pada kenyataannya saya menemukan cara untuk membuatnya jadi lebih luas. Caranya dengan lebih intens mengurusi kerjaan sampingan, menemani anak saat les, serta mengikuti kelas-kelas olahraga.

Last but not least, soal pencitraan.

Waktu masih bekerja, saya berikrar pada diri sendiri. Kalau sudah jadi IRT, saya:

1. Nggak mau ngomongin urusan domestik dengan siapapun kecuali suami.

Kenapa tidak? Karena... frankly, to me, it's boring! I don't wanna hear the long and winding drama about someone's ART. Or how your floor hasn't been mopped, or how your kids are fighting all over the place.

2. Nggak mau 'tertangkap basah' bergosip. Karena saat masih bekerja, saya sering mendengar komentar, "Aduh, ngurusin orang lain aja, kayak emak-emak kurang kerjaan!"

Ew... gengsi 'kan, kalau saya nanti dicap kurang kerjaan a.k.a. hidupnya membosankan hanya karena membahas gosip artis (artis luar negri sekalipun! Hihi).

Ketika sudah menjalani peran sebagai IRT, dan tanpa bisa dihindari membahas urusan domestik dengan orang lain, juga tetap suka membahas gosip artis dan selebtwit, saya jadi sadar, bahwa:

1. Membahas urusan domestik bukan dosa besar, kok. Asalkan teman bicaranya tepat dan membahasnya pun tidak untuk berkeluh-kesah panjang-lebar. Saya malah bisa mendapat wawasan dan saran kalau sharing dengan orang yang tepat.

2. Nggak usah insecure sama pendapat orang kalau tertangkap basah bergosip, atau masak pakai bumbu instan, atau 'tanpa sengaja' memukul pantat anak saat dia tantrum sementara kepala sedang senut-senut karena PMS.

In fact, nggak usah insecure soal gimana citra diri ini di mata orang lain, apapun peran yang kita pegang, selama apa yang kita lakukan tidak merugikan orang lain dan sejalan dengan nilai-nilai yang kita anut.

Well, I don't say bergosip atau memukul anak itu perilaku yang membanggakan, sih.

Tapi, seperti saya ceritakan di sini, we can never be perfect, and we'll always have ups and downs in life.

Dengan demikian, one thing I learned is to not judge people based on what they show from the outside.

Karena, banyak kok, orang yang bermulut manis, tapi enggan menolong orang lain.

Atau yang hobi mengomentari IRT itu "kurang kerjaan" padahal sebenarnya kepengen jadi IRT.

Atau yang menampilkan kesan sebagai ibu nan paripurna, padahal sadis banget kalau marah-marah sama anak.

 

Akhirnya, kembali lagi ke pertanyaan di awal, has it been an exciting change?

Setelah mengulasnya panjang-lebar di sini, saya dapat menyimpulkan: The change feels scary sometimes, not comfortable occasionally, but mostly, it feels exciting. Perubahan ini membawa saya ke tempat-tempat baru, mengajak saya mencoba hal-hal baru. Meskipun pada awalnya serbuan perubahan itu membuat saya kewalahan. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, saya dapat menentukan apa yang menjadi fokus saya.

Nggak perlu ngotot memasak tiga macam hidangan berbeda kalau memang dari awal tidak suka berlama-lama di dapur.

Tidak usah terus-terusan ngedumel soal ART, karena memang butuh dan terbantu oleh tenaganya.

Berhenti mengkhawatirkan apakah kenalan akan ngomongin yang jelek-jelek soal saya di belakang, karena toh mereka cuma kenalan, bukan mereka yang penilaiannya penting buat saya.

Berkat punya fokus, saya jadi bisa mencurahkan pikiran dan tenaga ke hal-hal yang memang penting buat saya. Dan nyuekin hal-hal di luar itu.

So I think this change has definitely brought me to a new level.

Bagaimana dengan Mommies, apakah baru mengalami exciting change juga? And what did you learn from it? Silakan berbagi di sini. :)

*gambar dari sini dan sini

Share Article

author

vanshe

Ibu satu anak. Was an SAHM for 2,5 years but decided that working outside home is one of many factors that keeps her sane. Grew up deciding not to be like her mother, but actually feels relieved she turns out to be more and more like her each day. She's on Twitter & IG at @rsktania.


COMMENTS