Sorry, we couldn't find any article matching ''
She is Not Me
Sebab mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya,
Tapi tidak untuk jiwanya- Anakmu Bukan Anakmu
Penggalan puisi milik Kahlil Gibran itu sangat menohok saya di saat-saat tertentu. Terutama saat saya mengkhawatirkan Langit, “kok nggak seperti saya waktu usia sekolah?”.
Langit memang sering dibilang mirip dengan saya kecil. Centil, nggak pemalu, dan lain-lain. Tapi rupanya, di sekolahnya banyak yang lebih centil, lebih pemberani, dan lebih-lebih lainnya.
Di usia sekolah, sejak TK, saya termasuk murid yang terpilih dalam hal apapun.
Lomba senam? Saya pasti berada di depan, jadi contoh teman-teman sekelompok.
Dokter kecil? Saya ketua di angkatan.
Pramuka? Saya pemimpin kelompok.
Basket? Saya pernah menyelamatkan tim sekolah di detik-detik terakhir dengan three point shoot.
Karya tulis? Saya pasti jadi yang dikirim untuk ikut workshop mewakili sekolah.
Tari? Setiap pentas akhir tahun, minimal saya akan tampil 2x di panggung.
Upacara? Hampir semua posisi pernah saya rasakan. Mulai dari pengibar bendera sampai pemimpin upacara.
Sementara suami saya pun mirip. Ia menjabat berbagai posisi mulai dari Ketua BEM, Pencinta Alam sampai sepakbola mahasiswa.
Melihat ‘bakat’ kami berdua, wajar dong, kalau terselip perasaan anak saya pasti bisa seperti kami. Apalagi kalau lihat pada dasarnya Langit bukan anak yang pemalu.
Tapi, dalam kehidupan, banyak hal-hal yang memang nggak sesuai dengan keinginan kita. Seperti misalnya, saya ingin Langit masuk tim tari sekolahnya ketika ada lomba kemarin, ternyata ia terpilih masuk tim menyanyi. Kenapa? Mungkin karena saya dulu lebih aktif di tari ketimbang nyanyi. Ada sih, sedikit kecewa, “Kok anak gue nggak kepilih di nari sih?”. Tapi begitu mendengar omongan Langit yang mengatakan, “Yang kepilih nyanyi itu yang suaranya bagus, bu”, dengan mata bersinar, kekecewaan saya pun luntur berganti rasa bangga
O, ya, saya dan suami juga cukup 'populer' di pergaulan. Kami berdua bisa dibilang cukup punya pengaruh di setiap komunitas kecil di mana kami berada.
Langit juga populer, tapi justru di kalangan yang berbeda. Kalau saya sedang jalan dengan Langit, ada saja yang menyapanya. Mulai dari tukang becak, tukang sayur, para tetangga yang seusia mama dan papa saya, tukang ojek, sampai kakek pemilik gerai fotokopi di sudut jalan.
Di sekolah, ia bukan anak perempuan yang gemar main bergerombol dengan gadis kecil lainnya sambil bergandengan tangan. Ada satu kenyataan yang cukup bikin saya pilu, Langit pernah jadi 'korban' bully. Ya, bully di kalangan anak TK. Baru sampai tahap, "Jangan temenin Langit yuk", kata seorang gadis kecil yang memang cukup dominan di kelasnya mengajak teman-teman lainnya. Baru tahap itu. Tapi rupanya sempat bikin Langit down dan malas ke sekolah, waktu ia di kelas TKA. Jujur, ini sempat bikin saya bingung, sedih nggak tau harus gimana. Lebay, ya? Enggak juga, apalagi karena saya sudah punya ekspektasi tertentu pada diri Langit.
Setelah saya cari tau penyebabnya, sepertinya lebih karena sifat Langit yang nggak tergantung dengan 1-2 teman. Maksudnya, kalau teman yang lain asyik main tali, sementara ia mau main balok, ya dia akan asyik saja main balok. Nggak jadi ikutan main tali. Sementara mungkin, bagi si gadis kecil itu, teman yang "asyik" adalah yang mau bergerombol dengannya.
Kadang saya suka 'mendorong'nya, "Ayo main dong, sama teman, kan asyik main sama-sama". Kemudian saya memberi contoh saya punya banyak teman, "Ada Bunda Lia, Aya, Tante Amal, Tante Vanya, Om Mido, banyak kan?". Respon dari Langit bikin saya #jleb dan terdiam dalam waktu yang cukup lama, ia menatap saya dan mengatakan, "Jadi harus kaya ibu, ya?".
Detik itu saya teringat kembali penggalan puisi Kahlil Gibran. Ya, Langit bukan saya. Bukan juga suami saya. Walaupun secara genetik ada yang ‘turun’ ke Langit, tapi pada akhirnya ia akan jadi manusia yang memiliki pribadi, sikap serta keinginannya sendiri. Mudah-mudahan saya bisa mencamkan ini untuk diri sendiri!
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS