Why They Failed?

Self

ketupatkartini・15 Aug 2013

detail-thumb

Happy Breastfeeding Month!

Saya yakin pembaca Mommies Daily dan ibu-ibu pengguna internet aktif saat ini pasti sudah mempunyai pemahaman dan pengetahuan yang cukup mengenai asi eksklusif dan tahapan asupan nutrisi bayi. Saya sendiri merasa over-informed dengan segala hal mengenai ASI. Jauuuuuuh sekali dengan kondisi saat saya menyusui pertama kalinya, tahun 2004 waktu informasi yang saya dapat hanya melalui orangtua dan buku panduan dari RS bersalin.

Keyakinan tersebut muncul dari berbagai interaksi dengan orang-orang sekitar di mana saya tiap harinya berinteraksi, seperti teman-teman di grup BBM, teman kerja, dan lingkungan di mana saya tinggal (di kota besar) saat ini. Meskipun tingkat pemahaman tidak secanggih seperti konselor laktasi, tapi minimal semua sepakat bahwa ASI eksklusif itu hukumnya wajib, dan harus semaksimal mungkin diusahakan, dan rata-rata mereka juga sudah memberikan ASI kepada bayinya.

Semua informasi tentang ASI sepertinya sudah 'khatam' untuk saya, mulai dari IMD, posisi menyusui, prinsip ketersediaan ASI, manfaat-manfaatnya, tata laksana asip, dan lain-lain.

Sampai saya mendapati kenyataan ini. Bahwa keluarga terdekat saya, adik perempuan dan adik ipar perempuan, dua saudara perempuan paling dekat dengan saya, tidak bisa memberikan ASI pada bayinya. Whaaat?

Perasaan semacam ini pun muncul, apa gunanya punya semua pengetahuan itu kalau tidak bisa membantu orang lain -orang terdekat- untuk sukses menyusui. Apa yang mau dibanggakan?

Untuk dua adik saya ini, kasusnya memang berbeda. Saya juga tidak intens bertemu mereka, tapi setidaknya dari awal saya sudah mewanti-wanti untuk jangan putus asa memberikan ASI pada bayinya. Sampai sedikit 'kuliah' tentang prinsip supply and demand, ASI pasti cukup, dan semacamnya.

Tetapi merekalah yang menjalani. Adik saya hanya memberikan ASI sampai 3 bulan, karena tidak tahan terhadap bayinya yang selalu menggigit puting. Adik saya yang satu lagi tidak memberikan ASI eksklusif karena harus bekerja dan merasa ASI-nya kurang.

Awalnya saya merasa harus menerima bahwa kondisi seorang ibu memang tidak ada yang sama. Semuanya beda. I'm not in their shoes, maybe I can't imagine what they've been thru. Mungkin kondisi saya memang baik-baik dan mulus saja tanpa halangan sehingga bisa sukses menyusui.

 

 

Tetapi setelah menelaah lebih lanjut, No. That's not the case. Default-nya adalah, kita bisa menyusui, bisa memberikan ASI eksklusif. Bahwa hal itu harus diusahakan, that's TRUE. Dalam hal ini, yang membedakan adalah usahanya. Pemahaman yang menyeluruh terwujud pada seberapa jauh seorang ibu mengusahakan untuk bisa memberikan ASI pada bayinya.

Saya pun tersadar pada hal ini. keyakinan saya bahwa ibu-ibu masa kini pasti sudah mempunyai pemahaman benar tentang menyusui, tidak sepenuhnya benar. Mungkin saya tidak bisa memberikan angka akurat, tetapi di Indonesia persentase ibu memberikan ASI eksklusif masih rendah.

Saya tidak menafikan bahwa memang ada kasus tertentu yang menyebabkan seorang ibu tidak bisa menyusui anaknya. Tetapi untuk yang saya alami, adik-adik saya seharusnya bisa memberikan ASI kepada bayinya. They just didn't fight hard enough, or didn't know where to go. And worse, I didn't push hard enough with them.

Afterall, pengalaman ini tidak untuk men-judge siapapun, hanya mengambil pelajaran dari kasus ini. I'm overly blind by only mingle with my inner circle, twitter, forum, bbm. Tapi ternyata di luar sana masih banyaaaak mereka yang belum teredukasi dengan baik soal menyusui. Dan bukan hanya soal mengetahui saja, karena pemahaman yang sebenarnya terwujud dalam seberapa besar usaha yang dilakukan (baik oleh si ibu sendiri maupun orang-orang terdekatnya) untuk mewujudkannya.

 

* gambar dari sini