Uang (Bukan) Sumber Masalah

Financial Wellness

irasistible・27 Feb 2012

detail-thumb

Dalam sebuah artikel yang pernah saya baca, disebutkan bahwa penyebab nomor satu perceraian adalah financial matter alias duit. Seperti kata pepatah Barat, “Money is the root of evil”. Uang juga merupakan sumber perpecahan terbesar dalam sebuah pernikahan. Rata-rata karena disebabkan tidak adanya kejelasan dalam hal finansial keluarga.

Dari beberapa teman perempuan yang sering curhat ke saya, pada umumnya mereka komplain soal suami-suami mereka yang tidak memberikan nafkah yang cukup. Alasannya, para suami itu berpikir bahwa istri mereka bekerja dan memiliki sumber penghasilan. Sehingga mereka tidak perlu diberi anggaran banyak-banyak karena toh, mereka bisa meng-cover semua dengan penghasilannya sendiri. Padahal sebenarnya sang istri keberatan jika mereka ikut menanggung beban finansial keluarga. Apalagi jika beban yang mereka dapatkan lebih banyak dari yang didapat sang suami.

Dalam agama saya, nih, disebutkan bahwa suami itu wajib memberi nafkah istri dan anak-anaknya. Jika istri bekerja atau menghasilkan uang, ia tidak wajib memberikan uangnya untuk keluarga. Kalaupun ia berkontribusi pada keuangan keluarga, itu dilakukan atas kerelaannya. Karena itu, dalam berbagai artikel tanya jawab psikologi yang sering saya baca (saya gemar baca artikel begini, FYI hehehe..), para psikolog yang menerima curhatan kasus perceraian yang bermuara pada financial problems biasanya akan memberi satu saran: suami wajib memberi nafkah keluarga tanpa diminta.

Sementara sang istri, jika suami tidak memberi nafkah, harus berani meminta. Untuk keluarga saya sendiri, Alhamdulillah, suami saya bukan tergolong pria yang pelit dan harus ditagih dulu baru mau mengeluarkan uang. Kebalikannya, dia justru sering menawari saya tambahan uang karena saya ini gengsian. Benar, lho, saya ini dulunya malaaaaas sekali minta uang pada suami. Saya dulu menganggap, meski gaji saya tidak seberapa, saya punya uang sendiri sehingga saya punya power. Kalau saya minta uang pada suami, power saya berkurang.

Hahaha ... picik banget ya? Lama-kelamaan, pola pikir seperti itu bikin saya capek sendiri. Akhirnya saya setuju bekerja sama dan kompromi dengan suami untuk urusan finansial rumah tangga. Kami menganut pola partnership untuk berbagai urusan rumah tangga. Suami tidak menyerahkan 100 persen gajinya kepada saya untuk kemudian saya atur sedemikian rupa. Saya sadar diri, saya ini orang yang sangat payah dalam mengatur pengeluaran. Setelah berdiskusi, saya dan suami sepakat untuk menerapkan pola manajemen keuangan rumah tangga yang lebih moderat saja.

Jadi, suami memberi saya uang sejumlah sekian untuk berbagai kebutuhan rumah tangga dan gaji ART kami. Ia juga bertanggung jawab membayar listrik, air PAM, telepon, cicilan Kredit Bangun Rumah, dan segala tetek bengek urusan mobil. Sementara saya bertanggung jawab pada urusan pendidikan Nadira. Mulai dari tabungan pendidikan untuk biaya masuk TK, sampai reksadana setiap bulannya untuk biaya pendidikannya SD hingga kuliah nanti.

Sisanya, kami harus membayar cicilan kartu kredit, tagihan ponsel serta premi asuransi jiwa masing-masing. Selain itu, saya juga punya pengeluaran lain berupa cicilan rumah yang saya beli sejak masih lajang dulu.

Dengan pengaturan begini, saya dan suami sama-sama punya tanggung jawab atas keuangan keluarga. Selain itu, kami juga sama-sama punya kebebasan untuk membeli apapun yang ingin kami beli. Meski begitu, kami tetap berdiskusi atas beberapa pengeluaran, terutama jika yang ingin kami beli berharga cukup “wah”. Misalnya, suami ingin beli velg mobil baru, ia pasti akan berbicara terlebih dahulu pada saya. Begitu juga jika saya ingin beli tas atau panci yang harganya lumayan.

So far, saya sih cocok ya dengan metode seperti ini. Tapi saya yakin, setiap orang pasti punya metode yang cocok dengan kepribadian masing-masing. Apa pun itu, yang penting semua lancar, bukan?