Belajar Memaafkan

Self

nenglita・29 Aug 2011

detail-thumb

Beberapa waktu lalu saya melihat adegan seorang ibu yang tampak kesal sama anaknya dan dengan enteng, menyentil si anak. Berulang kali. Sedih sekali saya menyaksikannya, rasanya mau marah! Diam-diam, dalam hati saya berpikir, kalau saya yang diperlakukan demikian, pasti sakit hati dan marah banget.

Tapi, adegan berikutnya sungguh di luar dugaan. Ibu itu terlihat merasa bersalah, tanpa kata maaf, ia memeluk si anak dan anak pun kembali memeluk serta bermanja-manja pada ibunya. Hilang sudah rasa marah si ibu dan juga si anak.

Mommies pernah menyimpan rasa amarah yang sebegitunya pada seseorang?

Saya pernah dan rasanya mengganggu sekali. Tidak bisa ngapa-ngapain, melihat wajah orang itu juga malas. Saya malah jadi membatasi diri sendiri untuk melakukan sesuatu. Mau ketemu dengan teman-teman, “Ah, nanti si A datang juga, lagi”. Mau beli tas baru, “Ih, si A kan pakai tas itu juga, males banget samaan”, dan sebagainya.

Berkaca pada anak-anak, saya pun menyadari. Hidup sepertinya akan lebih mudah jika kita melapangkan hati untuk menerima maaf dari orang lain. Hidup rasanya akan lebih ringan jika kita mengurangi rasa amarah, berpikiran positif, serta memberi maaf.

Kenapa anak-anak? Selain cerita di atas, coba, deh, diingat, pernah  tidak mommies marah dengan si kecil, tapi 5 menit kemudian mommies sudah berpelukan kembali dengannya? Atau justru anak yang marah pada kita, mungkin karena tidak dibelikan barang yang diinginkan, tapi 5 menit kemudian  si kecil kembali bermanja-manja sama kita seakan-akan lupa dengan rasa marahnya.

Makanya saya setuju banget dengan pepatah, “Not only children who grow, parents do too”. Banyak hal di mana secara tidak sadar kita belajar dari anak-anak. Contoh paling menampar saya, ya, belajar memaafkan itu. Contoh lainnya? Belajar bersabar. Sabar menunggu anak yang ingin menghabiskan makan sendiri, sabar menunggu anak memakai baju sendiri, dan banyak lagi.

Selain itu, banyak riset yang bilang bahwa memaafkan berpengaruh besar pada kesehatan tubuh. Para ilmuwan Amerika membuktikan, mereka yang mampu memaafkan lebih sehat baik jiwa maupun raga. Orang-orang yang diteliti menyatakan bahwa penderitaan mereka berkurang setelah memaafkan orang yang menyakiti mereka. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang yang belajar memaafkan merasa lebih baik, tidak hanya secara batiniah namun juga jasmaniah. Sebagai contoh, telah dibuktikan bahwa berdasarkan penelitian, gejala-gejala pada kejiwaan dan tubuh seperti sakit punggung akibat stres (tekanan jiwa), susah tidur, dan sakit perut sangatlah berkurang pada kelompok tersebut.

Sebuah tulisan berjudul Forgiveness (Memaafkan), yang diterbitkan Healing Current Magazine (Majalah Penyembuhan Masa Kini) edisi September-Oktober 1996, menyebutkan bahwa kemarahan terhadap seseorang atau suatu peristiwa menimbulkan emosi negatif dalam diri orang, dan merusak keseimbangan emosional bahkan kesehatan jasmani mereka. Artikel tersebut juga menyebutkan bahwa orang menyadari setelah beberapa saat bahwa kemarahan itu mengganggu mereka, dan kemudian berkeinginan memperbaiki kerusakan hubungan. Jadi, mereka mengambil langkah-langkah untuk memaafkan. Disebutkan pula bahwa, meskipun mereka tahan dengan segala hal itu, orang tidak ingin menghabiskan waktu-waktu berharga dari hidup mereka dalam kemarahan dan kegelisahan, dan lebih suka memaafkan diri mereka sendiri dan orang lain.

Jadi moms ... yuk, kita saling memaafkan.

“There is no love without forgiveness, and there is no forgiveness without love.”

*sumber riset dari sini