ibu bekerja
Mungkin buat anak remaja, di-ghosting gebetan atau pacar sakitnya luar biasa. Kalau untuk kami para ibu, ada 6 pelaku Ghosting yang sakitnya juga menusuk kalbu (duileh). Siapa saja?
Seberapa besar efek pandemi terhadap ibu bekerja? Ternyata ibu yang resign karena tekanan antara pekerjaan dan mengurus anak cukup besar jumlahnya. Simak di sini.
Ini refleksi mereka tentang menjadi ibu bekerja, menghadapi pandemi, dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Meetingnya di rumah. Nggak perlu ke kantor melewati macet berjam-jam. Nggak juga duduk atau berdiri sepanjang hari di ruang meeting. Tapi kok lelah! Hello, Zoom fatigue! Padahal nggak ada, tuh, pakai high…
Kerja di rumah 6 bulan meski rasanya tenang karena tak perlu keluar dan bertemu virus, lama-lama mau meledak juga. Maklum, dulu kerja kan bukan sekadar kerja ya. Ada proses dandan, pilih baju…
Kira-kira begini jumpalitannya saya setiap hari. Sebelum pandemi sebenarnya saya sudah WFH. Meski kenyataannya lebih sering ngabur ke coffee shop terdekat biar bisa kerja dengan damai, efektif dan efisien. Jadwal harian rutin…
Siapa yang awal-awal WFH bersorak gembira karena bisa kerja dari rumah sambil nemenin anak? Setelah sebulan berjalan lalu mumet. Lah, ini kenapa jadi nggak jelas ya batasan kerja di rumah? Kalau begini, enakan kerja di kantor!
Sepanjang yang saya ingat, kalau bicara ibu-ibu dan produktivitas, hampir selalu ada kalimat “ibu-ibu itu harus bisa multitasking”. Padahal kenyataannya, apa iya multitasking itu efektif? Sebagai ibu kita rasanya sibukkk sekali ya.…
Mommies yang bekerja sambil menemani anak (terutama yang masih kecil) school from home, sudah di mana posisi batas kesabarannya? Ahahaha. Pernah terpikir nggak sih kalau gurunya anak-anak pun mungkin adalah ibu bekerja?
Siapa yang masih mengalami hal ini? Atau jangan-jangan ada mommies yang nggak sadar, kalau selama ini sudah didiskriminasi? Coba cek bentuk-bentuk diskriminasinya berikut ini.