Sorry, we couldn't find any article matching ''

Untuk Para Ibu yang Merasa Tidak Cukup Baik, Tulisan Ini untuk Kalian
Seorang ibu sering kali merasa dirinya tidak cukup baik dalam mengasihi dan mendidik anak. Untuk para ibu yang sering merasa gagal, baca tulisan ini.
Semalam saya terhenyak mendengar cerita seorang teman. Sopirnya meminta izin pulang karena anak lelakinya yang duduk di kelas 1 SMA, kabur dan dua hari tidak pulang. Itu terjadi setelah sang ibu memarahinya. Seketika ingatan saya melayang ke beberapa tahun lalu. Pada usia yang hampir sama, anak saya juga mengalami masa “mental” terberat dalam hidupnya. Masa ketika ia dihantui keinginan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Sebagai ibu, saya tak hanya menghadapi kondisi mental anak saya, tetapi juga stigma dari orang-orang yang merasa tahu segalanya:
“Memangnya kamu paksa dia homeschooling?”
“Kamu punya ambisi apa ke anakmu?”
“Kamu nggak peka ya, sampai dia suffering begitu?”
Setiap pertanyaan itu terasa seperti menampar, seolah-olah semua keputusan dan pola asuh saya salah.
Sakitnya… tuh di sini!
BACA JUGA: 7 Kesalahan Orang Tua pada Anak Pertama, Bikin Anak Tertekan!
Melihat Segala Sesuatu dari Jarak Dekat dan Jauh
Kembali ke cerita sopir teman saya. Dari luar, mudah bagi orang untuk menilai:
“Pasti ibunya galak.”
“Pasti emosional.”
“Pasti ada yang salah cara asuhnya.”
Saya tahu rasanya diprasangkai seperti itu.
Makanya saya memilih netral, mencoba melihat dari kedua sisi.
Seorang ibu bisa saja terlihat “salah”, padahal ia sedang menjalani pergumulannya sendiri.
Dan saya sendiri kerap dihantui pertanyaan yang selalu coba saya refleksikan:
“Apakah hari ini saya sudah jadi ibu yang lebih baik?”
Saya Belajar Melihat ke Dalam Diri Sendiri
Setiap anak tumbuh dengan problematikanya sendiri. Ketidaksesuaian mereka dengan ekspektasi kita sering kali memantulkan apa yang ada dalam diri kita sendiri: kelemahan, kemarahan, luka, ketakutan.
Saya menyadari… saya pun tumbuh dengan banyak luka batin. Ada peristiwa menyakitkan yang saya simpan rapat-rapat. Ada kemarahan yang tidak pernah terselesaikan. Ada emosi yang terus menerus saya tumpuk dan saya tekan, berpikir bahwa saya baik-baik saja.
Dan tanpa sadar, semua itu menetes ke anak saya. Bahkan sejak ia masih dalam kandungan. Trauma saya ikut membentuknya. Membuatnya rapuh, sensitif, mudah meledak, dan sering mengeluh. Melihat segala sesuatu tidak pernah pas buatnya. Saya memahami, ia juga sedang bergulat dengan dirinya.

Foto: GERMAN SUAREZ/Pexels
Saya Mulai Membereskan “Shadows” Saya
Sebanyak apa pun teori parenting yang saya pelajari, sekuat apa pun saya berusaha mengikuti pola asuh yang diajarkan di teori-teori bijak itu, ternyata tidak ada artinya jika emosi saya sendiri masih sering kacau.
Saya lupa satu hal penting:
Anak tidak hanya membaca kata-kata kita, sikap, dan perlakukan kita.
Anak bisa menangkap vibrasi kita.
Ia menangkap energi kita, luka kita, ketakutan kita, bahkan yang tak pernah kita ucapkan.
Dan di situlah saya sadar, saya harus bergegas, bukan untuk memaksa anak saya menjadi orang yang lebih baik, tapi pada diri saya. Saya yang harus menjadi pribadi yang lebih baik, dengan membereskan segala koleksi “shadows”.
Saya Belajar Mengenali Pola Lama
Dalam cara anak saya bereaksi, saya melihat bayangan diri saya sendiri. Saat dia marah, saya cek dulu ke diri saya sendiri, bagaimana cara saya merespons masalah. Pernahkah saya melakukan hal yang sama. Saat dia malas, saat dia rapuh, saat dia down, saya berkaca ke diri, apakah saya juga pernah melakukan hal yang sama, sebelum saya memberinya nasihat?
Saya pun menyadari bahwa saya sering jatuh ke pola lama yang sama: memulai hari dengan niat memperbaiki diri, tapi sering berakhir dengan penyesalan.
Pelan-pelan saya belajar menatap diri sendiri dan berkata:
“Saya sedang belajar.
Saya sedang memahami pola yang dulu saya bawa tanpa sadar.
Dan saya punya pilihan untuk mengubahnya.”
BACA JUGA: Pola Asuh Ayah: Bedanya Mengasuh Anak Laki-laki vs Perempuan Berdasarkan Penelitian
Saya Belajar Lebih Jujur pada Diri Sendiri
Saya mulai mengakui hal-hal yang dulu sulit saya terima:
Saya punya watak buruk.
Saya bisa egois.
Saya sering tidak sabaran.
Saya sering memaksakan maunya saya.
Saya sering baper, dan seterusnya.
Bagi saya, kejujuran ini bukan untuk merendahkan diri, tapi untuk memulai perjalanan penyembuhan saya.
Ketika Anak Bukan Sosok yang “Layak Dipamerkan” di Media Sosial
Ada fase ketika saya melihat teman-teman memamerkan pencapaian anak mereka di media sosial:
anak juara lomba, dapat beasiswa, sukses tampil di panggung, menang kompetisi nasional, atau menjadi murid A-plus-plus yang selalu membanggakan.
Anak saya… tidak di begitu.
Tidak ada beasiswa yang bisa saya posting.
Tidak ada piala atau piagam yang bisa saya foto.
Tidak ada foto ia berdiri di podium juara.
Tidak ada prestasi populer yang membuat saya “ikut bersinar”.
Ia juga bukan anak dengan circle pertemanan yang besar dan populer.
Saat itu saya bertanya dalam hati:
“Kalau anakku tidak punya pencapaian seperti anak orang lain… apakah aku ibu yang gagal?”
Butuh waktu panjang untuk menyadari:
Anak bukan etalase pencitraan.
Anak bukan alat validasi.
Anak bukan perpanjangan ego saya.
Anak yang sedang berjuang, yang rapuh, yang belum menemukan jalannya,
bukan berarti kita adalah ibu yang gagal.
Dan tugas saya bukan mendorong anak agar layak dipamerkan.
Tugas saya adalah menemani mereka menjadi manusia yang utuh dan bahagia.

Foto: Werner Pfennig/Pexels
Saya Menemukan Makna Hidup dengan Berkontribusi untuk Negeri
Dalam perjalanan menjadi ibu, saya menemukan hal lain:
Memilih cara untuk berkontribusi pada negeri ini juga bagian dari cinta saya pada anak.
Saya belajar:
- memulihkan tanah,
- memilah sampah,
- terlibat dalam gerakan-gerakan yang membawa kebaikan,
- melakukan apa yang saya mampu sesuai kapasitas saya, dan berbagi ke orang lain.
Karena suatu hari nanti, saya ingin anak saya hidup di negeri yang bisa ia banggakan.
Saya ingin ia melihat—bahwa ibunya berbuat sesuatu.
Dan itu bagian dari cara saya mencintainya.
Untuk Saya, dan Untuk Semua Ibu di Luar Sana
Kita bukan ibu yang sempurna.
Tapi kita adalah ibu yang tidak menyerah.
Ibu yang terus belajar.
Ibu yang terus bertumbuh.
Ibu yang bangkit lagi meski sering jatuh.
Dan itu… sudah sangat, sangat berarti.
Jika suatu hari Anda merasa gagal, ingatlah:
Anak butuh ibu yang terus berusaha hadir,
yang mau memperbaiki diri,
yang mau mencintai dengan tulus.
Peluk hangat untuk setiap ibu yang sedang berjuang diam-diam.
Sungguh… kamu tidak sendirian. 💛
BACA JUGA: 7 Pesan Ibu untuk Anak Laki-laki, saat Kelak Jadi Suami dan Ayah
Cover: Daria Obymaha/Pexels
Share Article


POPULAR ARTICLE




COMMENTS