
Tanpa kita sadari, justru hal-hal kecil lah yang diam-diam mengikis pernikahan. Melakukan relationship audit bantu cegah sebelum terlambat!
Mommies, kita pasti semangat banget evaluasi keuangan di akhir tahun, update goals karier, atau cek perkembangan anak dari bulan ke bulan. Tapi begitu ngomongin soal evaluasi hubungan, rasanya berat karena khawatir hasilnya malah bikin ribut. Coba simak dulu penjelasannya dan Mommies nanti bakal paham kenapa melakukan relationship audit itu penting buat menjaga pernikahan.
Banyak pasangan merasa pernikahan mereka baik-baik saja karena tidak ada drama besar. Tapi sebenarnya, masalah yang diam-diam mengikis hubungan justru sering datang dari hal-hal kecil yang diabaikan terus-menerus. Bukan dari perselingkuhan, bukan dari masalah keuangan, tapi dari kurangnya check-in emosional. Nah, di sinilah konsep relationship audit jadi penyelamat hubungan.
Relationship audit adalah momen check-in terstruktur antara Mommies dan pasangan untuk ngobrol jujur tentang apa yang sedang terjadi dalam hubungan. Hal yang baik, hal yang perlu diperbaiki, harapan, kebutuhan, hingga kekhawatiran kecil yang nggak pernah diomongkan.
Psikotherapeutic counsellor Ellie Rowland-Callanan mengatakan bahwa hubungan, sama seperti karier dan tujuan fitness, butuh komunikasi, usaha, dan nurturing untuk tetap bertahan. Kalau kita menerima bahwa tubuh ideal butuh latihan rutin, kenapa hubungan nggak diprioritaskan dengan cara yang sama?
Jadi, relationship audit bukan sekadar “bikin forum curhat”, melainkan cara untuk menyatukan visi dan memastikan Mommies dan pasangan masih saling memahami, bukan sekadar saling menemani.
BACA JUGA: Pentingnya Bertemu Konselor Pernikahan saat Hubungan Baik-baik Saja, Ini Alasannya!
Karena meskipun dua orang saling cinta, tidak ada manusia yang bisa membaca pikiran orang lain. Sebucin-bucinnya kita, tetep nggak bisa. Kita bisa merasa baik-baik saja padahal pasangan kita sebenarnya sedang merasa kewalahan, tidak didengar, atau kesepian.
Relationship audit membantu:
Seorang pakar hubungan Dr. John Gottman bahkan merekomendasikan pasangan untuk check-in rutin, membahas potensi konflik dan meningkatkan kualitas hubungan. Nggak harus tiap minggu kok, tapi jangan tunggu sampai hubungan terasa berat.

Nggak usah tegang seperti meeting sama BOD, ya, Mommies. Kuncinya adalah suasana santai. Bisa sambil minum teh malam-malam setelah anak tidur, saat staycation, atau weekend pagi setelah sarapan.
Langkahnya simple:
Kuncinya: buka hati dan pikiran, siap untuk diskusi bukan bertengkar. Kalau mulai terasa panas, pause dulu. Relationship audit bukan untuk adu argumen.
Dan yang paling penting:
Tujuan dari relationship audit bukan mencari siapa yang salah dan yang kontribusinya paling besar dalam meyebabkan masalah. Tujuannya adalah memastikan Mommies dan suami sama-sama merasa dipahami dan dicintai.
BACA JUGA: Attachment Style dalam Pernikahan, Tipe Manakah Kamu?
Berikut pertanyaan yang bisa Mommies dan pasangan gunakan untuk menggali hubungan dengan lebih dalam. Jangan skip ya karena masing-masing memberikan informasi penting:
Pertanyaan ini mungkin terdengar sederhana, tapi efeknya sangat besar. Coba perhatikan perasaan Mommies dan pasangan ketika sedang bersama atau ketika memikirkan hubungan kalian. Apakah terasa aman, hangat, dihargai, dan disayangi? Atau justru muncul rasa cemas, frustasi, menahan diri, atau capek duluan?
Emosi adalah indikator kesehatan hubungan. Kadang kita tidak menyadari kalau hubungan “baik-baik saja” hanya di permukaan, tapi secara emosional kita sudah kelelahan. Dengan mengakui perasaan masing-masing tanpa menyalahkan, kita dapat memahami kebutuhan emosional satu sama lain. Bahkan kebutuhan yang kecil tapi penting, seperti butuh dipeluk, ingin ditemani ngobrol, atau butuh reassurance.
Hubungan tidak harus 50:50 setiap hari. Kadang satu pihak memberi lebih dulu, kadang sebaliknya. Tapi harus ada rasa “kita sama-sama berusaha”. Ketika salah satu merasa selalu mengalah, selalu mengurus, selalu mengingatkan, selalu menanggung, maka resentment bisa tumbuh diam-diam.
Relationship audit membantu mengidentifikasi area yang timpang, lalu mencari solusi dengan teamwork. Misalnya “Aku nggak keberatan urus rumah, tapi aku butuh kamu lebih sering ambil alih kalau aku kelelahan.” Tujuannya bukan menghitung poin, tapi memastikan satu sama lain merasa dibantu dan didukung.
Kejujuran emosional kadang sulit bukan karena tidak percaya, tapi karena takut menyakiti atau takut memicu konflik. Namun jika terlalu sering menahan pendapat atau perasaan, pernikahan bisa terasa tinggal serumah tapi terpisah secara emosional.
Komunikasi terbuka bukan berarti ngomong seenaknya; tapi bisa menyampaikan isi hati dengan cara yang penuh empati. Audit ini menjadi momen untuk melihat apakah pasangan masih menjadi tempat paling aman untuk saling bercerita, bahkan cerita yang nggak enak sekalipun.
Batasan bukan berarti membuat jarak, justru batasan adalah fondasi kenyamanan. Setiap orang punya kebutuhan berbeda. Waktu sendiri, gaya parenting, privasi digital, intensitas kontak dengan keluarga besar, atau preferensi tentang quality time.
Hubungan yang sehat memberi ruang untuk menjadi “kita” tanpa menghilangkan “aku”. Kalau salah satu sering mengalah sampai kehilangan diri sendiri, itu tanda hubungan perlu ditata ulang. Dengan membahas boundaries, pasangan bisa menghindari friksi yang sebenarnya bisa dicegah.

Kalau sebuah masalah muncul berulang, artinya bukan masalahnya yang besar tapi solusinya yang tidak efektif. Mungkin soal uang, parenting, pembagian tugas rumah, waktu bersama, atau kebiasaan pasangan. Dengan membahas penyebab, pola, dan perasaan di baliknya, pasangan bisa mencari solusi yang lebih kokoh. Fokusnya, “Kita melawan masalah, bukan saling melawan.” Kadang, hanya dengan memahami sudut pandang masing-masing, tensi konflik langsung turun.
Topik ini sering dihindari karena malu, takut menyinggung, atau takut dianggap menuntut. Padahal kehidupan seksual adalah perekat emosional dan fisik dalam banyak pernikahan. Ketidakpuasan biasanya bukan karena tidak cinta, tapi karena kelelahan, kurang koneksi emosional, kebutuhan berbeda, atau komunikasi soal preferensi yang kurang.
Relationship audit memberi ruang untuk membahasnya tanpa tekanan dan tanpa merasa salah. Terkadang perubahan kecil seperti lebih banyak sentuhan non-seksual, waktu intim yang dijadwalkan, atau komunikasi soal keinginan bisa menghidupkan kembali koneksi.
Ini pertanyaan yang butuh keberanian untuk bertanya dan untuk menjawab. Sering kali hal yang dibutuhkan bukan sesuatu yang besar, tapi sederhana: “tolong dengarkan dulu sebelum memberi solusi,” atau “peluk aku dulu sebelum bicara soal masalah,” atau “matikan ponsel saat kita makan malam.” Dengan membahas ini, pasangan jadi merasa dilihat dan dihargai. Dan jangan lupa, feedback itu hadiah, bukan serangan.
Pertanyaan ini membuat sesi audit ditutup dengan semangat positif. Karena audit hubungan bukan hanya tentang memperbaiki masalah tapi juga mewujudkan mimpi. Bisa yang fun (staycation tiap dua bulan), to the point (bikin dana sekolah anak), atau personal (lebih banyak kencan berdua). Mimpi bersama membuat pasangan kembali ingat: “Kita ini bukan hanya manajer rumah tangga kita juga partner dalam hidup.”
BACA JUGA: Aturan 70/30 dalam Hubungan Bisa Bikin Cinta Lebih Tahan Lama?
Mommies akan terkejut betapa perubahan kecil misalnya 10 menit ngobrol sebelum tidur atau saling bilang “terima kasih” bisa membuat hubungan terasa jauh lebih dekat.
Cover: Juan Pablo Serrano/Pexels