10 Kecemasan Anak Balita yang Harus Orang Tua Pahami, Biar Nggak Drama

Kids

Rahmasari Muhammad・in an hour

detail-thumb

Yuk, pahami bersama apa saja kegelisahan dan kecemasan anak balita kita yang akhirnya menciptakan drama tak berkesudahan serta cara bijak menghadapinya!

I used to be cool and do things. Now I argue with a miniature version of myself about eating vegetables. -Unknown.

Pastinya banyak Mommies atau Daddies yang merasa relate dengan kutipan itu, termasuk saya. Dealing with our toddlers seems impossible, tapi ternyata mereka pun sama bingung, khawatir, dan gelisahnya dengan kita. 

Dikutip dari Parents, saat anak memasuki usia toddler biasanya mereka sudah menunjukkan berbagai perilaku khas yang bisa bikin orang tua bingung. Seperti mulai pandai bicara, punya pendapat sendiri, bahkan bisa tampak “mengatur”—misalnya, menentukan ingin duduk di mana, baju apa yang ingin dipakai, atau menu makan siang apa yang diinginkan.

Di sisi lain, kemampuan toddler untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran yang lebih kompleks justru masih terbatas. Makanya beberapa perilaku mereka terkadang bikin Mommies dan Daddies menghela napas. 

Sering kali orang tua juga harus beralih profesi menjadi manusia super yang bisa membaca pikiran toddler karena harus menebak-nebak maksud di balik setiap perilaku dan tindakan mereka yang kadang bikin bingung.

Supaya lebih paham dengan kelakukan mereka, ketahui beberapa kecemasan yang sering anak balita rasakan ini.

BACA JUGA: 5 Tanda Anak Kurang Perhatian Orang Tua, Ketahui Cara Mengatasinya

1. Merasa Tidak Dimengerti

Di usia toddler, anak sering merasa frustasi atau marah karena belum bisa mengungkapkan keinginan dan kebutuhannya. Karena merasa tidak dimengerti, ini menimbulkan rasa marah pada anak. Mereka juga seringkali menjadi gelisah secara emosional tapi tidak bisa mengungkapkannya dengan tepat, yang dapat berujung pada sikap agresif seperti tantrum, menggigit, memukul, atau melempar barang sebagai ekspresi dari frustrasinya.

Hal ini juga seringkali menjadi pemicu kemarahan orangtua, yang ikut menjadi frustrasi karena sulit memahami keinginan anak. Akhirnya, anak semakin gelisah dan makin sulit mengendalikan emosinya.

Ketika anak tantrum, cobalah untuk tenang, peluk dan ajak bicara anak sambil tatap matanya. Jongkok atau duduklah hingga selevel dengan anak dan tawarkan hal yang bisa membuatnya merasa lebih baik, misalnya makanan, minuman, mainan, popok yang basah dan harus diganti, atau pelukan. Untuk anak yang belum lancar bicara, biasanya mereka sudah bisa mengangguk, menggeleng atau bilang “Ya” dan “Tidak” untuk menyatakan persetujuan akan kebutuhannya.

2. Memerlukan Perhatian Lebih

Seringkali toddlers membuat “drama” untuk menarik perhatian orang terdekatnya. Kita dapat mengurangi drama itu dengan memberikan atensi dan meluangkan waktu, misalnya main bersama si kecil atau memangkunya sambil membacakan cerita. Anak dapat merasa lebih nyaman dan tenang karena mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang cukup.

Foto: Karola G/Pexels

3. Bingung Menghadapi Berbagai Emosi

Menjelang 2 tahun, anak sudah mulai merasakan berbagai emosi selain bahagia misalnya kaget, marah, dan sedih, namun belum bisa mengekspresikan dan mengelola emosi tersebut. Ini menimbulkan kebingungan dan frustasi pada si kecil.

Mommies bisa membacakan buku cerita dengan berbagai ekspresi dan intonasi suara untuk karakter yang berbeda sebagai cara awal mengajarkan tentang jenis emosi dan juga ekspresi kepada anak. Bermain peran (pretend play) seperti dokter-dokteran juga sangat bermanfaat untuk mengajarkan emosi, ekspresi dan empati pada anak.

4. Khawatir Dipaksa Melakukan Sesuatu

Seringkali, anak khawatir dan marah karena mereka diminta melakukan sesuatu yang tidak mereka sukai, misalnya makan sayur, atau tidur di saat masih asyik bermain. Perasaan dipaksa ini memicu mereka menangis serta membuat drama sebagai senjata untuk pemberontakannya.

Maka, jika meminta sesuatu, jelaskan baik-baik risikonya pada anak misalnya jika tidak tidur tepat waktu, bisa sakit karena kurang istirahat. Lakukan juga kegiatan yang dirasa berat atau kurang disukai oleh anak secara bersama-sama. Misalnya ajak anak membereskan mainan dan makan sayur bersama, agar anak bisa melihat dan meniru dan tidak merasa dipaksa melakukannya sendirian.

5. Overstimulasi

Anak masih belajar menyaring dan memberikan respon yang tepat untuk berbagai stimulasi yang masuk, hingga terkadang membuat mereka overwhelming yang berujung pada kebingungan dan kegelisahan. Misalnya, overstimulation dengan situasi yang terlalu ramai atau suara terlalu keras. Mommies bisa memenangkan dan membawanya ke tempat yang tenang untuk memberikan rasa nyaman.

6. Belum Bisa Membedakan Kenyatan dan Khayalan

Sering kali, anak usia toddler belum bisa membedakan antara kenyataan dan khayalan. Mereka juga belum sepenuhnya memahami konsep berbohong dan berkata jujur. 

Pada usia 1–3 tahun, imajinasi dan rasa ingin tahu toddler sedang tinggi-tingginya. Biasanya, mereka suka menciptakan hal-hal dari imajinasinya, seperti memiliki teman khayalan, menuang susu di dapur, atau mencoret-coret dinding—lalu mengelak saat ditanya apakah mereka yang melakukannya. 

Hal ini kadang membuat orang tua kesal karena mengira anak berbohong. Namun, seiring bertambahnya usia (sekitar 3–4 tahun ke atas), anak akan mulai bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya khayalan.

kecemasan anak balita

Foto: KATRIN BOLOVTSOVA/Pexels

7. Takut Tidak Dipercaya

Untuk toddler terutama yang berusia 2–3 tahun, biasanya anak sudah ingin melakukan segala sesuatunya sendiri, seperti makan sendiri dan menjadi marah ketika tidak diperbolehkan. 

Berikan anak porsi tanggung jawab sesuai usianya, ya. Memang capek membereskan sisa makanannya yang berceceran serta lebih mudah untuk menyuapi mereka tentunya. Namun, membiarkan anak melakukan kegiatan sesuai usia sangat baik untuk meningkatkan rasa percaya diri. Jadi tidak terlalu bergantung pada orang tuanya.

8. Separation Anxiety

Wajar kalau toddler punya separation anxiety, yaitu menangis atau menjerit ketika berpisah sementara dengan orang terdekatnya yang mereka merasa paling nyaman dan aman. Fase ini normal dan biasanya akan berkurang ketika anak berusia di atas 3 tahun. Sebelum berpisah sementara, jelaskan bahwa Mommies atau Daddies hanya pergi sementara dan segera kembali.

9. Ada Rasa Takut Mengecewakan Orang Tua

Melansir laman Parents, anak yang memasuki usia sekitar 2 tahun akan mulai merasakan emosi sadar diri, seperti malu. Contohnya, saat anak menghindari tatapan mata orang tua setelah membuat kesalahan, itu bisa jadi sinyal bahwa mereka merasa malu atau khawatir sudah membuat kecewa Mommies dan Daddies.

Alih-alih langsung memarahi, akui kesalahan anak dengan kalimat yang simpel namun tegas. Kemudian berikan opsi jalan keluar untuk memperbaiki kesalahan mereka dengan meminta maaf atau memeluk temannya. Orang tua perlu memastikan bahwa anak tahu kesalahan adalah hal yang wajar, tetapi penting juga untuk mengambil langkah memperbaikinya.

10. Ketakutan pada Suara Keras atau Situasi Baru

Anak toddler yang lingkungan dan inderanya sedang berkembang sering merasa takut terhadap hal-hal yang bagi orang dewasa mungkin biasa saja, seperti suara blender, keramaian, atau hadirnya orang baru. Saat si kecil memilih “bersembunyi” di acara sosial atau ketika menyapa orang di tengah jalan, itu merupakan bentuk kecemasan sensorik atau sosial yang masih mereka pelajari.

BACA JUGA: Dua Faktor Penting untuk Membentuk Karakter Anak di Masa Depan Menurut Psikolog, Apa Saja?

Anak-anak mencari isyarat dari orang tua tentang bagaimana harus bereaksi terhadap situasi baru. Hal yang bisa dilakukan Mommies dan Daddies adalah meyakinkan anak bahwa lingkungannya aman dan ramah. Anak tidak perlu harus langsung ngobrol sana-sini, beri mereka waktu agar terbiasa.

Penulis: Rahmasari Muhammad
Diperbarui: Retno Raminne Nurhaliza Pitoyo
Editor: Dhevita Wulandari

Cover: Yan Krukau/Pexels