Kasus keracunan MBG semakin bertambah dan menyentuh angka 5.000 korban tapi anggarannya bertambah dan mengambil porsi pendidikan. Yuk, intip faktanya.
Mommies mungkin sudah mendengar beritanya, bahwa sejak diluncurkan di awal tahun 2025, Program MBG (Makan Bergizi Gratis) yang dicanangkan sebagai bagian dari upaya memperbaiki gizi dan mendukung prestasi anak sekolah, kini mendapat kritik keras dari berbagai pihak. Dua isu terbesar yang ramai diperbincangkan adalah kasus keracunan massal dan alokasi anggaran jumbo yang sebagian besar berasal dari beberapa sektor lainnya, termasuk pendidikan.
Banyak pihak yang meminta program ini untuk segera dihentikan, tetapi beberapa pihak mempertahankannya. Selain itu, ada pihak lain yang mendukung untuk peninjauan ulang program ini dan memperbaikinya agar hasilnya dapat diterima dengan lebih maksimal. Sebelum melihat langkah pemerintah selanjutnya, Mommies harus lihat dulu fakta-fakta mengenai keracunan MBG hingga September 2025, serta jumlah anggarannya yang meningkat di APBN 2026.
BACA JUGA: 50 Siswa SD Sukoharjo Keracunan Menu MBG, Begini Respon Istana
Sejak beberapa bulan terakhir, insiden dugaan keracunan setelah mengonsumsi menu MBG terjadi berulang kali di berbagai daerah. Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Muhammad Qodari, menyatakan bahwa data yang dihimpun dari Badan Gizi Nasional (BGN), Kementerian Kesehatan, dan BPOM menunjukkan angka siswa yang mengalami keracunan sudah melebihi 5.000 orang.
Dalam wawancaranya dengan pihak media pada Senin, 22 September 2025, dilansir dari berbagai sumber, Qodari menyebutkan bahwa pihaknya sudah memiliki data yang disiapkan oleh Kedeputian III KSP. Data tersebut dihimpun dari tiga lembaga, yaitu Badan Gizi Nasional (BGN), Kementrian Kesehatan (Kemenkes), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Sementara itu, koalisis masyarakat JPPI (Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia) mencatat bahwa sudah ada 5.360 siswa menjadi korban keracunan MBG, tetapi tidak disebutkan jumlah kasusnya.
Kasus paling terkini di Bandung Barat (KBB), di area Cipongkor & Cihampelas, korban tercatat mencapai 842 siswa per 24 September 2025, dengan rincian 393 siswa di Cipongor dan 449 siswa di Cipongor dan Cihampelas. Namun, dilansir dari CNN pada 25 September, jumlah korban di Cipongor sudah bertambah dan mencapai angka 600 orang.
Sementara di Jakarta sendiri, menurut laporan Detik pada 25 September, tujuh siswa SMA di Sunter, Jakarta Utara, diduga menjadi korban keracunan MBG. Mereka mengalami gejala mual-mual dan sakit perut usai menyantap MBG yang dibagikan.
Dari sisi penyebab, pemerintah melalui KSP mengungkap sejumlah faktor utamanya, mulai dari higienitas makanan, suhu makanan dan ketidaksesuaian pengolahan pangan, kontaminasi silang dari petugas, dan ada indikasi sebagian disebabkan alergi pada masing-masing siswa. Beberapa analisis awal juga menyebutkan bahwa ada faktor penyebab lainnya.
Beberapa SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) memasak terlalu awal, sehingga makanan “menunggu” lama sebelum disajikan. Jadi ada jeda waktu antara memasak dan konsumsi yang melebihi standar aman, yaitu hanya empat jam). Dalam beberapa kasus juga ditemui ada keterlambatan pendistribusian atau jarak pengangkutan yang panjang dari dapur hingga lokasi sekolah. Hal itu akhirnya membuat kualitas makanan menurun.
Belajar dari kasus keracunan di Banggai Kepulauan yang menyebabkan 335 siswa keracunan, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, dilansir dari laman website BGN, menjelaskan bawah adanya pergantian pemasok bahan baku secara mendadak. SPPG setempat yang sebelumnya berjalan baik, malah menjadi menurun kualitasnya karena mendadak mengganti pemasok bahan baku.
“Oleh sebab itu, kita instruksikan lagi bagi yang (SPPG) lama agar ketika akan mengganti pemasok harus bertahap. Jadi segala sesuatu tidak boleh berubah secara drastis. Untuk SPPG yang menjalani ini seperti yang di Banggai itu kan mengganti pemasok dalam waktu yang sangat singkat, sehingga kami minta setelah kejadian, berhenti dulu (MBG),” ungkap Dadan.
Selain itu, adanya kontaminasi silang dan kurangnya SOP keamanan pangan yang ketat, atau pelanggaran higienitas di dapur umum juga menjadi masalah krusial. Menurut KSP, beberapa SPPG belum memiliki atau tidak menjalankan SOP keamanan pangan.
Menurut catatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada September 2025, diketahui bahwa dari 1.379 SPPG yang aktif, ternyata ada 413 yang memiliki SOP Keamanan Pangan dan 312 SPPG yang menjalankan SOP. Namun tidak bisa dipungkiri kalau Standar Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS) dari Kemenkes diperlukan, sayangnya penerapan belum merata. Masih berdasarkan data Kemenkes, dari 8.583 SPPG per 22 September ternyata hanya 34 SPPG yang memiliki SLHS, sementara 8.549 SPPG existing belum memiliki SLHS.
Beberapa laporan menyebutkan bahwa sebagian kasus keracunan bisa terkait reaksi alergi terhadap bahan yang digunakan, meskipun ini tidak menjadi penyebab utama dalam banyak kasus yang terjadi.
Karena cakupan program sangat luas dan dana besar, pengawasan di setiap tingkatan, mulai dari dapur, distribusi, hingga penerima, menjadi tantangan besar.
Di tengah krisis kepercayaan akibat kasus keracunan massal, perhatian Mommies mungkin juga mengarah pada dana yang disiapkan untuk program MBG pada ABPN 2026. Dilansir dari Detik, dalam RAPBN 2026 yang digelar pada 23 September 2025, dana yang dialokasikan untuk Program MBG adalah Rp335 triliun.
Dari total tersebut, sekitar Rp 223 triliun diambil dari pos pendidikan, yang berarti mayoritas beban pembiayaan berasal dari anggaran pendidikan. Sebelumnya, alokasi anggaran untuk pendidikan meningkat dari Rp690 triliun di tahun 2025 menjadi Rp757,8 triliun untuk tahun 2026. Namun, jumlah anggaran pendidikan itu disedot hingga Rp223 triliun atau sekitar 44,2 % untuk program MBG.
Sedangkan sisa anggaran program MBG lainnya berasal dari sektor kesehatan sekitar Rp24,7 triliun dan sektor ekonomi sekitar Rp19,7 triliun.
Berikut rincian sumber anggaran program MBG dan alokasi pembelanjaannya:
Rincian Anggaran:
Alokasi dana tersebut juga akan dibagi dalam beberapa pos, yaitu:
Melihat kasus keracunan MBG, banyak orang memberikan kritik dan saran mereka atas dampak yang terjadi, mungkin Mommies juga melakukan hal serupa. Berikut beberapa rangkuman poin konsekuensi dan kritik terhadap program MBG yang kini sedang banyak diperbincangkan.
1. Risiko kesehatan dan keselamatan siswa. Kasus keracunan yang berulang menunjukkan bahwa aspek keamanan pangan belum tertangani secara memadai. Program yang bertujuan baik bisa menjadi malapetaka jika pengelolaannya buruk.
2. Penurunan fokus pada mutu pendidikan. Akibat hampir setengah dana pendidikan dialihkan untuk MBG, sumber daya untuk peningkatan sarana, pelatihan guru, teknologi pembelajaran, dan perbaikan sekolah pun akhirnya menjadi tertekan.
3. Kelangkaan transparansi dan akuntabilitas. Dalam pelaksanaannya, program MBG harus disertai dengan tranparansi yang jelas sehingga menghindari kecurigaan penyimpangan penggunaan dana yang bisa muncul. Perlu juga dilakukan audit lapangan yang maksimal dan kontrol independen.
4. Ketidakseimbangan prioritas. Dampak dari dipangkasnya anggaran pendidikan demi program MBG membuat masyarakat, termasuk para orang tua murid, jadi berpikir negatif. Oleh karena itu pemerintah dan DPR harus memastikan bahwa pembangunan “tubuh pendidikan” (pengajar, fasilitas, dan kurikulum) tidak diabaikan demi program tambahan.
5. Kewajiban evaluasi menyeluruh dan koreksi cepat. Kasus keracunan massal jelas menjadi bahaya bahwa sistem pengelolaan MBG harus dibenahi dari hulu ke hilir, dan harus dilakukan secara cepat untuk mencegah semakin banyak korban.
Supaya program MBG bisa berjalan aman dan efektif, berikut beberapa rekomendasi dan langkah perbaikan yang bisa dilakukan.
Pemerintah dan lembaga pengawas (BPOM, Kemenkes, BPK) harus menyelesaikan audit lapangan di setiap SPPG yang menjadi sumber kasus keracunan.
Standar waktu maksimal antar proses memasak dan distribusi harus ditegakkan, misalnya harus kurang dari empat jam. Selain itu, di tiap dapur wajib ada SOP keamanan pangan wajib dan dilaksanakan.
Melihat ada kasus pemasok bahan makanan yang kualitasnya menurun, diperlukan pendampingan teknis bagi SPPG (dapur MBG). Tak hanya itu, diperlukan juga pelatihan staf dapur serta audit rutin agar kapasitas tiap SPPGa memadai.
Ada baiknya setiap alokasi dana MBG harus dapat dilacak publik, ditambah dengan adanya laporan realisasi dan evaluasi independen.
Pemerintah juga perlu mengevaluasi apakah alokasi 44,2 % dana pendidikan untuk MBG sudah proporsional dan tidak merugikan fungsi dasar pendidikan.
Orang tua siswa, komunitas sekolah, dan lembaga masyarakat sipil harus digandeng dan dilibatkan dalam pengawasan lokal terhadap dapur MBG di sekolah atau sekolah sekitar.
BACA JUGA: 25 Ide Bekal Anak yang Mudah Untuk Satu Bulan
Program MBG punya tujuan baik untuk memperbaiki status gizi anak-anak Indonesia. Namun, kalau faktanya ribuan siswa justru sakit setelah mengonsumsi menu MBG dan dana pendidikan tersedot besar-besaran untuk program ini, wajar jika muncul pertanyaan serius, “Apakah pelaksanaannya sudah tepat?”
Pemerintah dinilai perlu melakukan audit total, memperbaiki sistem keamanan pangan, serta meninjau ulang alokasi anggaran agar MBG benar-benar menjadi solusi, bukan masalah baru.
Cover: Freepik