Kenali 10 kesalahan pola asuh orang tua yang tanpa sadar bisa membuat anak tumbuh jadi koruptor di masa depan, serta tips pendidikan antikorupsi.
Korupsi sering dianggap sebagai masalah besar yang hanya terjadi di level politik atau bisnis. Padahal, perilaku ini tidak muncul tiba-tiba. Akar korupsi bisa dimulai sejak kecil, ketika anak masih berada di rumah dan belajar langsung dari perilaku orang tuanya.
Orang tua memegang peran penting dalam menanamkan nilai moral. Kalau salah pola asuh, tanpa sadar orang tua bisa menanamkan bibit korupsi sejak dini. Misalnya, anak yang terbiasa melihat orang tua berbohong untuk hal sepele bisa menganggap ketidakjujuran itu normal. Dari kebiasaan kecil inilah perilaku curang dan benih korupsi berkembang.
Supaya lebih jelas, berikut adalah 10 kesalahan pola asuh orang tua yang bisa membuat anak tumbuh dengan potensi perilaku koruptif.
BACA JUGA: Anak Berani Jujur dan Terbuka Kepada Orangtua, Bagaimana Caranya?
Peran orang tua dalam membentuk karakter anak sangat penting. Orang tua dapat mencegah perkembangan bibit perilaku korupsi pada anak:
Anak-anak belajar dari meniru. Kalau orang tua bilang “jangan bohong” tapi mereka sendiri sering berbohong, anak akan bingung. Anak bisa menyerap bahwa bohong itu sah-sah saja. Penelitian menunjukkan, anak yang sering melihat orang tuanya berperilaku tidak etis lebih mungkin meniru perilaku tersebut.
Pendidikan moral itu bukan hanya tugas sekolah, tapi juga tanggung jawab keluarga. Nilai kejujuran, empati, tanggung jawab, dan integritas harus diajarkan berulang kali. Kalau anak tumbuh tanpa arahan ini, mereka bisa kebingungan menghadapi dilema moral.
Misalnya, anak yang tidak terbiasa diajak bicara soal benar dan salah bisa dengan tanpa bersalah mencontek, karena merasa “yang penting hasil bagus” tanpa memikirkan cara mencapainya.
Pola asuh terlalu permisif (membiarkan anak melakukan apa pun) bisa membuat anak merasa tidak ada batasan. Sebaliknya, pola asuh otoriter (serba melarang dan menghukum keras) bisa menumbuhkan sikap licik, karena anak belajar untuk berbohong demi menghindari hukuman.
Contoh sederhana: ketika anak malas mengerjakan PR. Orang tua permisif mungkin membiarkan begitu saja, sementara orang tua otoriter akan memarahi habis-habisan. Hasilnya, anak bisa tumbuh dengan dua kemungkinan buruk: tidak disiplin atau justru mencari cara curang agar lolos dari hukuman.
Setiap perbuatan punya konsekuensi. Kalau anak merusak barang tapi orang tua tidak menegurnya, anak akan tumbuh tanpa rasa tanggung jawab.
Sebaliknya, mengajarkan konsekuensi—misalnya meminta anak memperbaiki atau mengganti barang yang rusak—bisa menanamkan pemahaman bahwa semua tindakan harus dipertanggungjawabkan.
Keteladanan jauh lebih kuat dibanding nasihat. Kalau orang tua sering “ngomong doang” tanpa memberi contoh nyata, anak bisa bingung menentukan standar moral.
Misalnya, orang tua bilang jangan main HP saat makan, tapi mereka sendiri asyik scrolling media sosial di meja makan. Anak belajar bahwa aturan bisa dilanggar kalau merasa punya kuasa.
Mendeteksi potensi korupsi pada anak bisa dilihat sejak usia dini Ketika anak ketahuan berbohong, mencuri kecil-kecilan, atau melanggar aturan, respon orang tua sangat penting. Kalau perilaku menyimpang itu dibiarkan, anak bisa merasa tidak ada masalah dengan tindakannya.
Sebaliknya, dengan memberi teguran, diskusi, atau konsekuensi yang adil, orang tua bisa menunjukkan batas yang jelas antara benar dan salah.
Empati adalah kunci agar anak peduli pada orang lain. Bradford Wiles, Spesialis Perkembangan Anak di Kansas State University, mengatakan, “Anak mulai memahami bahwa orang lain punya keyakinan, pikiran, dan keinginan berbeda pada usia sekitar tiga tahun. Inilah waktu penting untuk mengajarkan mereka tentang empati.”
Tanpa empati anak bisa tumbuh dengan mental “asal saya untung,” yang menjadi fondasi perilaku koruptif.
Ketika orang tua terlalu menekankan pentingnya sukses—punya nilai tinggi, prestasi, atau kekayaan—tanpa peduli cara mencapainya, anak belajar bahwa hasil lebih penting daripada proses.
Contohnya, anak dimarahi karena nilai jelek, tapi tidak diapresiasi ketika jujur mengaku kesulitan. Anak bisa terdorong mencontek demi menghindari hukuman. Lama-lama, mereka belajar bahwa cara curang bisa diterima asalkan hasilnya “baik.”
Etika dan integritas bukan hanya pelajaran formal di sekolah, tetapi harus ditanamkan di rumah. Anak perlu diberi contoh nyata bagaimana menolak ajakan berbuat curang, bagaimana menghargai hak orang lain, dan bagaimana mengakui kesalahan.
Tanpa itu semua, anak akan kesulitan menentukan sikap ketika menghadapi dilema moral di kehidupan nyata.
Komunikasi yang sehat dengan anak adalah benteng yang kuat. Kalau anak takut berbicara jujur karena takut dimarahi, mereka akan mencari jawaban di luar rumah yang belum tentu tepat.
Dengan komunikasi terbuka, orang tua bisa memahami dilema yang dihadapi anak, sekaligus mengarahkan mereka ke jalan yang benar.
Nah, setelah tahu kesalahan yang perlu dihindari, orang tua bisa menerapkan Pendidikan antikorupsi berikut:
BACA JUGA: 5 Kebiasaan Ayah yang Bisa Jadi Contoh Baik untuk Anak
Cover: Freepik