Deretan kebiasaan digital di media sosial yang dianggap sepele ini ternyata bisa berdampak negatif dan diam-diam merusak kesehatan mental anak. Apa saja?
Media sosial kini menjadi bagian dari keseharian anak dan remaja. Data dari Pew Research Center menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga (35%) remaja usia 13–17 tahun menggunakan media sosial seperti YouTube, TikTok, Instagram, Snapchat, hingga Facebook hampir setiap saat. Bahkan, sekitar 38% anak usia 8–12 tahun mengaku sudah memakai media sosial, meskipun sebenarnya platform-platform tersebut menetapkan batas minimal usia 13 tahun.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah penggunaan media sosial yang berlebihan bisa punya dampak negatif bagi kesehatan mental anak?
Psikolog Klinis Anak dan Remaja, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi., M.Psi., menegaskan, “Penggunaan media sosial berlebihan berpotensi merusak kesehatan mental anak. Anak beresiko mengalami kecemasan, rendah diri, dan kesepian. Mereka cenderung melakukan perbandingan sosial yang lebih intens dengan teman sebaya dan figur public; ketergantungan pada validasi (misalnya jumlah likes dan komentar); mengalami gangguan tidur karena screen time yang berlebihan; dan paparan konten negatif seperti cyberbullying, ujaran kebencian, dan lain lain.”
Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian internasional yang menyebutkan bahwa media sosial bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi memberi akses seluas-luasnya terhadap informasi dan hiburan, namun di sisi lain menyimpan bahaya jika tidak digunakan secara bijak.
BACA JUGA: Aturan Screen Time Anak dan Remaja, serta Dampak Jika Berlebihan
Ada beberapa kebiasaan yang sering dianggap sepele anak saat bermain media sosial, yang tanpa sadar bisa berdampak negatif, baik pada fisik maupun kesehatan mental mereka. Berikut daftarnya:
Istilah ini merujuk pada kebiasaan terus-menerus menggulir layar untuk mencari informasi tanpa henti. Walau tampak tidak berbahaya, perilaku ini membuat anak pasif mengonsumsi konten dan meningkatkan risiko gejala depresi.
Melihat unggahan teman sebaya yang tampak seru bisa memicu rasa takut ketinggalan. Anak jadi terdorong ikut-ikutan melakukan hal yang sama, bahkan berisiko terlibat dalam perilaku berbahaya hanya agar dianggap keren karena selalu tahu dan terdepan.
Filter dan konten yang diedit secara berlebihan di media sosial dapat memengaruhi citra tubuh (body image) anak. Anak mulai membandingkan diri dengan figur yang tampak “sempurna,” sehingga menurunkan rasa percaya dirinya. Parahnya lagi, anak bisa saja ingin menjadi orang lain karena nggak bisa menerima dirinya yang ‘biasa-biasa’ saja.
Ketika anak lebih banyak berkomunikasi secara online daripada bertemu langsung, keterampilan sosial di dunia nyata bisa menurun. Hal ini berpotensi menimbulkan rasa terisolasi dan kesulitan bergaul.
Sistem “like” dan komentar di media sosial dirancang untuk memberi kepuasan instan. Mereka concern banget dengan jumlah likes dan komentar yang akan diperoleh setiap kali mengunggah story, feed, dan reels di media sosial mereka. Otak anak yang masih berkembang menjadi lebih rentan mengalami perubahan dalam cara mencari penghargaan, sehingga bisa berujung rela melakukan apa saja dan kecanduan.
BACA JUGA: 25 Pertanyaan yang Bisa Ditanyakan ke Pacar Anak Remaja, Orang Tua Wajib Tahu!
Kebiasaan digital seperti menggunakan media sosial sebelum tidur mengganggu pola tidur alami. Cahaya biru dari layar gawai menekan produksi melatonin, hormon yang mengatur tidur, sehingga anak rentan mengalami insomnia dan depresi.
Kebiasaan scrolling yang nggak bisa dihentikan bisa memberi dampak negatif karena membuat anak melewatkan aktivitas sehat seperti olahraga, hobi, atau belajar. Padahal, aktivitas-aktivitas tersebut penting untuk menjaga keseimbangan hidup.
Mulai dari kekerasan, ujaran kebencian, hingga konten berbahaya seperti narkoba atau perilaku seksual tidak pantas, semuanya bisa ditemui dengan mudah di media sosial. Anak yang belum bisa memilah-milah informasi berisiko menganggapnya normal dan meniru.
Iklan yang beseliweran di media sosial kerap dianggap sepele. Cuma iklan. Tapi nggak semua iklan sesuai untuk anak-anak. Media sosial adalah lahan subur bagi iklan. Anak-anak sering tidak menyadari bahwa konten yang mereka lihat sebenarnya sudah dipengaruhi promosi atau sponsor. Hal ini bisa memengaruhi pola konsumsi sejak dini.
Inilah salah satu dampak negatif terbesar kebiasaan gigital yang merusak. Anonimitas internet membuat pelaku bullying mudah bersembunyi. Bagi korban, serangan verbal di dunia maya bisa menimbulkan trauma, depresi, hingga keinginan mengisolasi diri. Tapi bukan berarti anak-anak kita juga nggak bisa menjadi pelaku bullying ya, Mommies.
Ringannya menggerakkan jari tanpa berpikir dulu apakah ketikannya bisa menyakiti perasaan orang lain dapat membuat anak terbiasa dan tanpa beban melakukan perundungan. Terutama kepada orang-orang yang mereka nggak kenal.
Orang tua memiliki peran besar dalam membantu anak mengembangkan kebiasaan digital yang sehat. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
Psikolog Vera menyatakan bahwa tidak ada ukuran mutlak, namun para ahli memberi panduan umum berikut:
Psikolog Vera mengingatkan bahwa dalam mendampingi anak, ada beberapa poin penting yang sebaiknya dihindari:
BACA JUGA: 5 Alasan Kecanduan Media Sosial Membuat Anak Remaja Tidak Bahagia
Cover: nensuria/Freepik