Body confidence kian jadi isu di kalangan remaja di era Tiktok, bagaimana kita bisa membantu anak supaya tidak minder dan tetap paham self-worth-nya?
Bagi remaja, penilaian dari teman sebaya dianggap hal yang utama. Tidak heran, pendapat orang lain jauh lebih penting dan didengar, dibanding dirinya sendiri, terutama di era Tiktok (dan media sosial lainnya) ini. Bagaimana kita menanggapi hal tersebut dan apa yang bisa kita lakukan agar anak tidak kehilangan body confidence-nya, tidak mudah merasa insecure, melainkan tetap memiliki self-love?
Baca juga: Overthinking di Kalangan Remaja Meningkat, Ini 9 Penyebab dan Cara Menghadapinya
Jaman sekarang, media sosial kian berpengaruh pada kehidupan sehari-hari, terutama pada remaja. Dari banyaknya konten yang muncul, tren menjadi mudah terbentuk. Sayangnya, beberapa tren tersebut berhubungan dengan penampilan fisik perempuan, yang lalu menimbulkan kecemasan, seperti:
Kita sebagai orang tua mungkin sudah lebih mahir dalam menetapkan batasan sehingga kita tidak mudah overthinking, namun di kalangan remaja, hal ini bisa memengaruhi kehidupannya.
Bahwa tubuh yang ideal bukan yang kurus dan skinny. Berat badan ideal tergantung dari tinggi badan, usia, jenis kelamin, komposisi tubuh (otot vs lemak), maupun faktor genetik. Begitu juga dengan bentuk tubuh (body shape) setiap orang yang berbeda-beda. Bila anak paham akan bentuk tubuhnya, ia tidak akan terobsesi untuk punya bentuk tubuh yang jauh dari yang ia miliki.
Ketika anak sudah mulai insecure dengan berat badannya, kita sendiri bisa menilai, apakah memang anak sudah masuk dalam kategori obesitas. Bila, ya, sebaiknya kita yang justru menjadi motivator utamanya untuk olahraga, kita juga yang perlu memastikan kalori harian anak cukup, sesuai kebutuhannya.
Tidak ada salahnya mengonsumsi makanan yang anak suka. Namun, semua yang berlebihan itu bisa berisiko. Kita bisa menyebut makanan tertentu sebagai comfort food, namun bukan artinya bisa selalu jadi pelipur lara. Segala jenis makanan kita butuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi harian kita. Anak perlu paham akan hal ini. Nggak selamanya camilan itu berupa makanan kemasan, ada saatnya anak perlu menikmati real food yang minim olahan maupun bumbu tambahan.
yang sifatnya non akademis dan menyenangkan. Menurut psikolog Nikita Yudharani, M.Psi.,Psikolog, rasa berdaya dan percaya diri remaja dapat muncul dengan adanya kegiatan lain yang dinilai mumpuni dilakukan. Pertemanan yang luas juga menambah ruang dan kesempatan anak untuk eksplorasi cara bersosialisasi, tidak hanya terpaku dengan konten-konten di sosial media. Untuk itu, dengan menciptakan atau memberikan kesempatan lebih banyak ruang poositif bagi anak untuk berinteraksi dengan peers dinilai akan menjadi salah satu protektif faktor dari masalah yang muncul terkait rasa percaya diri.
Anak mungkin sadar bahwa secara penampilan, ia biasa saja. Kita perlu terus ingatkan anak bahwa beauty comes from within, percuma wajah cantik, kalau perilakunya tidak pantas. Percuma enak dipandang kalau wawasannya sempit. Percuma kalau penampilannya saja yang indah, tapi hatinya tidak.
Kita juga berhati-hati ketika merasa insecure, yang mungkin secara tidak sengaja sering kita perlihatkan pada anak. Misalnya, di depan cermin, kita cemberut sambil berkata-kata, “Duh, Mama, kok, gendut banget, ya?”, “Duh, jelek banget, deh, Mama kalau pakai baju ini!”. Ketika anak mendengar kalimat berisi persepsi negatif terhadap diri sendiri ini terus menerus diucapkan oleh orang tuanya, maka ia pun akan mudah berpikir hal yang sama, yang memicu body image issue atau rasa minder. Bahkan, sewaktu-waktu ia juga akan bertanya-tanya, “Kalau Mama/Papa saja merasa begitu, apalagi aku?”
Baca juga: 5 Alasan Kecanduan Media Sosial Membuat Anak Remaja Tidak Bahagia
Faktor eksternal tetap berperan secara dominan bila kita tidak menerapkan batasan. Maka, hal-hal berikut juga penting:
Keputusan untuk memberikan gadget pada anak ada di tangan kita. Ketika Anda mempercayakan anak untuk memiliki handphone sendiri, maka edukasi digital dari kita pun tidak boleh terhenti. Anak perlu selalu tahu batasan-batasan dalam menggunakan media sosial. Bahkan saat mendaftarkan akun pribadi anak saja, orang tua juga harus aware terhadap adanya batasan usia pada calon pengguna.
Meski gak perlu selalu jadi yang paling up-to-date, tapi kita perlu memahami dinamika digital dan jangan lengah terhadap bahaya-bahaya yang bisa anak temui di dunia maya.
Kebiasaan seperti makan bersama sekeluarga, kegiatan bersama di malam hari setelah semua selesai dengan aktifitas masing-masing, bahkan kegiatan di akhir pekan perlu menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh seluruh anggota keluarga. Dengan begitu, anak tidak akan menjadikan gawai sebagai ‘’teman hidup’’ satu-satunya.
Image by Freepik