Fenomena kidfluencer kian marak di Indonesia. Penting bagi orang tua untuk memahami batas antara mendukung hobi anak dan risiko eksploitasi.
Zaman sekarang, semakin banyak anak-anak yang tampil di media sosial dalam bentuk video, foto, atau cerita seputar kehidupan sehari-hari mereka yang dikemas dengan menarik. Setelah viral dan terkenal, tak jarang pula anak-anak ini tampak mempromosikan barang atau merek lewat unggahan di media sosial. Baik dari monetisasi konten atau promosi produk, mereka bisa mendapatkan penghasilan atau bahkan barang-barang gratis. Anak-anak inilah yang biasa disebut kidfluencer.
Istilah kidfluencer merupakan gabungan dari kata kid dan influencer, yaitu pemengaruh anak-anak dengan basis pengikut yang besar di media sosial serta menggunakan platform tersebut untuk berbagi konten-konten relevan, menginspirasi, atau menghibur.
Fenomena kidfluencer tentu memicu kekhawatiran terkait potensi eksploitasi anak. Ini bisa terjadi ketika orang tua terlalu berlebihan atau bahkan memaksa mereka berpartisipasi dalam konten. Mirisnya, anak sering tidak sadar mereka sudah dieksploitasi.
Menurut UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, batas usia kerja minimal adalah 18 tahun. Akan tetapi, anak usia 13–15 tahun juga bisa bekerja dengan catatan mereka melakukan pekerjaan ringan yang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Selain itu, anak usia 13–15 tahun hanya bekerja maksimum 3 jam/hari, dilakukan pada siang hari, dan tidak mengganggu waktu sekolah.
BACA JUGA: Tantangan Gen Beta dalam Hal Pendidikan dan Kesehatan, Orang Tua Perlu Antisipasi
Anak-anak ini sering terlalu muda untuk memahami dan memutuskan batasan-batasan privasi dan informasi apa saja yang dibagikan ke media sosial. Konten yang diunggah ke dunia maya tentu otomatis menjadi domain publik dan bisa diakses siapa saja.
Hal ini bisa menimbulkan beberapa dampak, antara lain anak menjadi korban konten deep fake, menjadi sasaran pelaku kejahatan seksual secara online, dan cyber bullying—seperti dikutip dari artikel jurnal Urgensi Perlindungan Hak Privasi Kidfluencer di Media Sosial di Indonesia Dihubungkan dengan Konvensi Hak-Hak Anak Tahun 1989. Ini bisa berdampak pada mental dan tumbuh kembang anak nantinya.
Selain itu, anak juga membutuhkan perlindungan hukum yang layak, baik sebelum maupun setelah kehadiran. Termasuk melindungi hak-hak privasi mereka di dunia digital. Menurut artikel jurnal tersebut, ada beberapa aturan yang dapat dirujuk mengenai hak privasi anak, yaitu:
Meski demikian, fenomena kidfluencer saat ini belum memiliki peraturan perlindungan hukum khusus di Indonesia. Anak berhak mendapatkan perlindungan hak-hak privasi mereka di dunia digital.
Dari sisi hukum, ada sejumlah aturan khusus yang memperbolehkan anak bekerja. Melansir UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, “anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun.” Umumnya, pemberi kerja tidak boleh mempekerjakan anak. Akan tetapi, anak berusia 13–15 tahun boleh bekerja dengan beberapa syarat, antara lain:
Orang tua dapat mendukung kidfluencer tanpa mengeksploitasi dengan beberapa cara, antara lain:
BACA JUGA: 5 Alasan Kecanduan Media Sosial Membuat Anak Remaja Tidak Bahagia
Penulis: Retno Raminne Nurhaliza Pitoyo
Cover: Mikhail Nilov on Pexels