Sorry, we couldn't find any article matching ''

Ciri Anak yang Mengalami Brain Rot? Ketahui juga Cara Atasi Kecanduan Gadget pada Anak
Apa sih sebenarnya brain rot itu? Apa kaitannya dengan kecanduan gadget dan lemah otak? Perlukah orang tua khawatir?
Di era digital saat ini, anak-anak dan remaja semakin banyak menghabiskan waktu dengan gadget. Aktivitas seperti menonton video pendek, bermain gim, atau scrolling media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Meski terlihat biasa saja, kebiasaan yang jika tidak dikendalikan dengan benar ini bisa berujung pada fenomena yang disebut “brain rot.”
Istilah ini memang belum masuk dalam kamus medis, tetapi makin sering digunakan untuk menggambarkan kondisi mental anak-anak yang terlalu lama terpapar konten digital dangkal dan berulang. Seseorang yang sering menonton konten-konten digital receh bisa mengalami penurunan kemampuan otak karena terpapar begitu banyak informasi yang kurang berbobot. Jadi sulit fokus, cepat lelah, dan bahkan merasa “mati rasa” secara mental. Jika dibiarkan, brain rot bisa memengaruhi kinerja akademik, emosi, serta perkembangan sosial anak.
BACA JUGA: Dampak Bermain Gadget Dekat Anak yang Tak Disadari Orang Tua, Apa Saja?
Apa Itu Brain Rot?
Menurut Susan Lotkowski, DO, ahli neurologi dari Inspira Medical Group, brain rot mengacu pada “efek negatif dari paparan berlebihan terhadap konten digital yang dangkal, repetitif, atau terlalu menstimulasi”. Ia menambahkan, “Paparan ini menciptakan kekhawatiran nyata akan dampaknya terhadap kesehatan otak kita.”
Kita tentu pernah merasakan otak terasa lelah setelah terlalu lama menatap layar. Itu karena platform digital dirancang untuk memicu sistem reward otak secara cepat—melalui like, share, atau konten lucu yang membuat ketagihan. Stimulasi konstan ini, seperti dijelaskan Lotkowski, bisa mengganggu fungsi kognitif jika berlangsung terus-menerus.
Dr. Michael Rich, seorang dokter anak sekaligus pendiri Digital Wellness Lab di Boston Children’s Hospital, mengatakan, “Paparan layar yang terlalu banyak bukan hanya soal waktu, tetapi soal kualitas. Anak-anak bisa menonton dua jam film dokumenter dan itu memberi dampak positif tapi lima menit konten toxic di TikTok bisa mengganggu persepsi mereka terhadap realitas.” Rich menegaskan pentingnya menilai apa yang dikonsumsi anak secara digital, bukan sekadar menghitung waktunya. Ia juga menambahkan bahwa paparan konten merusak bisa membuat anak cemas, kurang percaya diri, bahkan mengembangkan pola pikir yang tidak sehat.
Dampak Brain Rot pada Anak
Menurut situs Nationwide Children’s Hospital, konsumsi digital berlebihan dapat mengganggu tidur, meningkatkan kecemasan, dan menurunkan kemampuan komunikasi anak. Sementara itu, Jean Twenge, PhD, profesor psikologi di San Diego State University dan penulis buku iGen berpendapat bahwa peningkatan penggunaan gadget berkorelasi dengan penurunan tingkat kebahagiaan, peningkatan depresi, dan gangguan tidur pada remaja. “Anak-anak zaman sekarang lebih kesepian, lebih banyak mengalami gangguan kecemasan, dan lebih sedikit tidur dibanding generasi sebelumnya. Gawai punya peran besar dalam perubahan ini,” jelasnya.
Berikut beberapa dampak brain rot yang perlu diwaspadai.
- Rentang perhatian menurun: anak terbiasa dengan konten cepat (short, reels, story, TikTok dan sejenisnya), sehingga sulit fokus pada tugas-tugas yang lebih kompleks dan dalam waktu yang lebih panjang.
- Berpikir dangkal: kebiasaan doomscrolling (istilah yang menggambarkan kebiasaan menelusuri berita atau informasi negatif secara kompulsif di media sosial atau internet) mengikis kemampuan otak anak untuk melakukan analisis yang mendalam.
- Paparan informasi keliru: anak bisa menganggap konten-konten negatif sebagai sesuatu yang wajar, karena terlalu sering melihatnya.
- Kelelahan emosional: paparan berita atau video sedih bisa membuat anak terhanyut secara emosi, merasa cemas, dan tidak nyaman tanpa tahu penyebab pastinya.
- Isolasi sosial: meskipun tampak “terhubung” secara digital, anak-anak bisa merasa kesepian dan menjauh dari hubungan nyata di kehidupan sehari-hari mereka.
- Gangguan fisik: seperti sakit kepala, gangguan tidur, peningkatan tekanan darah, dan hilangnya nafsu makan.
Ciri-ciri Anak yang Mengalami Brain Rot
Foto: Freepik
Laurie Ann Manwell, PhD, psikolog dari Kanada, menyatakan bahwa “Waktu layar yang berlebihan bisa berdampak negatif terhadap perhatian, pembelajaran, memori, regulasi emosi, hingga fungsi sosial.” Berikut adalah tanda-tanda anak terkena brain rot.
1. Gangguan Kognitif
- Sulit berkonsentrasi dan menyelesaikan tugas.
- Mudah lupa informasi baru.
- Kemampuan problem solving menurun.
- Tidak bisa bertahan lama dalam kegiatan non-digital.
2. Perubahan Emosi dan Perilaku
- Mudah marah atau cemas saat diminta berhenti main gawai.
- Menarik diri dari pergaulan nyata.
- Menurunnya imajinasi dan kreativitas.
- Sering mengeluh lelah meski sudah istirahat.
3. Dampak Akademik
- Nilai turun karena kesulitan memahami pelajaran.
- Komunikasi terganggu karena sering menggunakan bahasa internet dalam keseharian.
- Tidak bisa menyusun argumen atau menjelaskan ide-idenya dengan baik.
Cara Mengatasi Brain Rot pada Anak
Istilah brain rot mungkin terdengar seperti istilah gaul, tetapi fenomena ini nyata dan mengkhawatirkan.
“Meskipun brain rot bukanlah diagnosis medis yang sebenarnya, ada beberapa hal yang dapat orang tua lakukan untuk mencegah dan mencoba memperbaiki sebagian dampaknya,” papar Adam Leventhal, PhD, seorang dosen dan direktur eksekutif Institute for Addiction Science di University of Southern California di Los Angeles.
Otak dari anak-anak yang kecanduan gadget dan terlalu lama terpapar konten digital yang dangkal, bisa mengalami kemunduran dalam kemampuan berpikir, mengatur emosi, dan berinteraksi sosial. Untungnya, brain rot bukanlah kondisi permanen. Orang tua bisa mengambil langkah nyata untuk membantu anak keluar dari siklus kecanduan gadget dan kecanduan digital ini.
1. Menjadi teladan
Anak meniru apa yang dilihat. Jika orang tua bisa meletakkan ponsel saat bersama anak dan aktif dalam kegiatan offline, anak akan lebih mudah mengikuti.
2. Tetapkan batas sehat
Buat aturan waktu layar yang jelas. Gunakan pengatur waktu layar di perangkat, dan dorong anak untuk mengatur waktu istirahat digital secara berkala agar anak terhindar dari kecanduan gadget dan terkena brain rot.
3. Zona bebas teknologi
Ciptakan ruang dan waktu tertentu yang bebas dari gadget, misalnya di meja makan dan ruang keluarga atau satu jam sebelum tidur.
4. Terapkan 80/20
Usahakan agar 80% konsumsi digital bersifat edukatif atau kreatif, dan sisanya, 20% baru untuk hiburan ringan.
5. Dorong aktivitas offline
Ajak anak mencoba kegiatan baru seperti melukis, bermain alat musik, olahraga, atau membaca. Hal-hal ini bisa merangsang otak secara sehat dan mengembalikan keseimbangan emosional.
6. Bicara dari hati ke hati
Alih-alih sekadar melarang, jelaskan alasan di balik pembatasan terhadap waktu penggunaan gawai dan terutama konten yang mereka tonton. Diskusi terbuka tentang konten-konten berbahaya dan dangkal akan membantu anak berpikir lebih kritis. Dengan perhatian dan intervensi dari orang tua, melalui pembatasan waktu layar, contoh perilaku positif, serta dukungan pada kegiatan offline, anak-anak bisa terhindar dari jebakan kecanduan gadget, kecanduan konten digital dangkal, dan tumbuh dengan lebih seimbang. Teknologi memang tak bisa dihindari, tetapi penggunaannya bisa diarahkan agar memberi manfaat, bukan kerugian.
BACA JUGA: 10+ Ide Kegiatan untuk Anak Bebas Gadget: Seru dan Menginspirasi!
Cover: Freepik
Share Article


POPULAR ARTICLE


COMMENTS