Agar lebih tangguh, percaya diri, dan optimis menghadapi tantangan, cari tahu cara membesarkan anak agar memiliki emotional resilience yang baik di sini.
Emotional resilience atau daya tangguh emosional adalah salah satu kemampuan penting yang perlu dibangun sejak dini pada anak. Kemampuan ini tidak hanya membantu anak untuk menghadapi tantangan hidup, tetapi juga mempersiapkan mereka menjadi individu yang lebih tangguh, percaya diri, dan optimis di masa depan.
Dalam artikel ini penjelasan lengkap yang dibahas bersama Psikolog Samanta Elsener, M.Psi., akan membantu Mommies memahami secara mendalam apa itu emotional resilience, mengapa penting, dampaknya jika tidak dimiliki, hingga langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan orang tua untuk membantu anak mengembangkannya.
Emotional resilience pada anak dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengelola emosi dan bangkit dari pengalaman buruk atau kegagalan. Anak yang memiliki daya tangguh emosional mampu menghadapi situasi sulit tanpa kehilangan semangat atau motivasi.
Misalnya, ketika anak gagal mengerjakan tugas sekolah, ia tidak langsung menyerah, melainkan mencoba memahami apa yang salah dan berusaha memperbaikinya. Anak ini juga mampu menerima kegagalan sebagai bagian dari proses belajar, bukan sebagai tanda bahwa dirinya tidak cukup baik.
Kemampuan ini melibatkan keseimbangan antara mengenali, memahami, dan mengelola emosi, serta menemukan cara untuk terus melangkah maju meskipun menghadapi kesulitan.
BACA JUGA: Membesarkan Anak dengan Kecerdasan Naturalis, Ini 5 Cara dan Stimuasinya
Emotional resilience memiliki peran besar dalam perkembangan anak, baik secara mental, sosial, maupun emosional. Berikut beberapa alasan mengapa kemampuan ini penting:
Anak yang tangguh secara emosional mampu mengelola stres dengan lebih baik. Mereka tidak mudah merasa kewalahan oleh situasi yang sulit dan dapat berpikir lebih jernih saat menghadapi masalah.
Anak dengan emotional resilience cenderung memiliki pandangan hidup yang lebih positif. Mereka percaya bahwa setiap kesulitan memiliki solusi dan bahwa mereka mampu mengatasinya.
Kemampuan ini mendorong anak untuk terus mencoba dan belajar, meskipun menemui kegagalan. Hal ini membantu mereka menggali dan mengembangkan potensi terbaik dalam dirinya.
Ketika anak belajar untuk bangkit dari kegagalan, mereka juga membangun rasa percaya diri. Mereka merasa bahwa usaha mereka berarti, dan hal ini memberi dorongan untuk terus maju.
Emotional resilience mempersiapkan anak untuk menghadapi berbagai tantangan di masa depan, baik dalam dunia pendidikan, pekerjaan, maupun hubungan sosial.
Ketidakmampuan anak untuk mengembangkan emotional resilience dapat memberikan dampak negatif yang signifikan, seperti:
Anak cenderung menyerah ketika menghadapi kesulitan, baik di sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, maupun kehidupan sehari-hari.
Anak yang sering menyerah cenderung merasa tidak berharga dan kehilangan motivasi untuk mencoba hal-hal baru.
Anak yang tidak memiliki daya tangguh emosional sering kali melihat situasi buruk sebagai hal yang tidak dapat diubah, sehingga mudah merasa kalah atau tak berdaya.
Anak membutuhkan waktu yang lama untuk kembali mencoba setelah mengalami kegagalan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menghambat perkembangan mereka.
Orang tua memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk daya tangguh emosional pada anak. Berikut adalah langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan:
Akui perasaan anak, baik itu marah, sedih, kecewa, atau bahagia. Hindari mengatakan, “Kamu kan nggak perlu sedih,” karena hal ini bisa membuat anak merasa emosinya tidak dihargai. Berikan ruang bagi anak untuk mengekspresikan emosinya dengan cara yang sehat.
Contoh: Ketika anak merasa sedih karena kalah lomba, Mommies bisa bilang, “Wajar kalau kamu sedih. Kamu sudah berusaha keras, dan itu yang terpenting.”
Luangkan waktu untuk menemani anak saat mereka menghadapi momen penting, seperti ujian, pertandingan, atau pentas seni. Kehadiran fisik dan emosional dari orang tua memberikan rasa aman dan dukungan pada anak.
Dorong anak untuk mencoba hal baru tanpa memaksa mereka melampaui batas kemampuan mereka. Ajarkan anak untuk menikmati proses, bukan hanya fokus pada hasil.
Contoh: Jika anak ingin belajar bermain piano, dukunglah dengan cara memberikan apresiasi pada setiap kemajuan kecil yang ia capai, bukan hanya saat ia tampil sempurna.
Bantu anak memahami bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Ajak mereka berdiskusi tentang apa yang bisa diperbaiki dan bagaimana cara mencoba lagi.
Ajak anak untuk mencari solusi ketika menghadapi masalah. Berikan panduan, tetapi biarkan mereka mengambil keputusan sendiri.
Contoh: Jika anak kesulitan menyelesaikan PR, Anda bisa berkata, “Apa yang menurut kamu paling sulit? Kita coba pikirkan solusinya bersama.”
Pola asuh yang paling efektif adalah pola asuh demokratis berbasis kecerdasan emosional. Pola ini menekankan pada:
Pola ini tidak hanya membantu anak membangun emotional resilience, tetapi juga rasa tanggung jawab dan kemandirian.
BACA JUGA: 8 Cara Membesarkan Anak dengan Kecerdasan Kinestetik, Lakukan Sejak Dini!
Emotional resilience adalah kemampuan penting yang dapat membantu anak menghadapi tantangan hidup dengan lebih baik. Dengan peran aktif orang tua, validasi emosi, dukungan, serta pola asuh yang tepat, daya tangguh emosional dapat dibentuk sejak dini.
Ingat, membangun emotional resilience adalah proses yang membutuhkan waktu dan konsistensi. Berikan dukungan penuh pada anak Mommies, ajarkan mereka untuk tidak takut gagal, dan bantu mereka menjadi individu yang tangguh, optimis, dan percaya diri di masa depan.
Penulis: Nazla Ufaira Sabri
Cover: prostooleh on Freepik