Menjadi seorang ibu tidak luput dari belajar terus setiap harinya. Meski jarang diketahui, ternyata ini beberapa pelajaran berharga sebagai ibu.
Paling seru kalau ngumpul sama Mommies-mommies, saling tukar cerita dan berbagi kegemesan masing-masing dalam menghadapi anak. Rasanya nggak ada habisnya. Semakin luas bergaul dan menyimak keluh kesah per-Mommies-an, tentunya semakin menambah pemahaman kita tentang peran diri sebagai ibu.
Beberapa pembelajaran itu, antara lain:
Di luar sana, ternyata jenis Mommies itu beragam dan banyak juga yang lucu-lucu. Dari mereka, kita ikut belajar, mana yang bisa diikuti dan mana yang perlu dijauhi (perilaku dan sikapnya). Contohnya:
Anak hadir sebagai trigger para ibu untuk lebih mengenali diri. Kalau reaksi Mommies dalam menghadapi situasi anak masih suka panikan, spaneng sama kelakukan anak yang tidak sesuai ekspektasi, marah-marah dan ngomel, berarti ada yang salah dengan diri saya. Menunjukkan ada sisi gelap yang butuh diproses dan diselesaikan.
Bukan hanya tentang bagaimana membagi waktu dengan peran-peran lain, tapi juga tentang bagaimana menentukan skala prioritas. Kadangkala, anak tidak selalu menjadi nomor satu dalam setiap keputusan yang diambil. Ada saatnya saya dibutuhkan dalam peran saya yang lain, tanpa mengabaikan peran sebagai ibu.
BACA JUGA: Berani dan Kuat, Ini 9 Cara Mencegah Anak Bersikap People Pleaser
Terdengar cliché, tapi ini memang penting. Komunikasi tidak akan bisa berjalan dengan baik tanpa respek dan bonding. Tidak cukup hanya tentang keterbukaan dan empati ke anak. Anak punya penilaian sendiri, apakah orang tuanya layak mendapatkan respek darinya. Respek itu akan muncul saat kita bisa menunjukkan keteladanan dalam perilaku sehari-hari, baik di depan anak maupun yang tidak terlihat oleh anak.
Bahwa mendidik anak bukanlah proses yang instan, penuh dengan up and down. Setiap anak punya ritme yang berbeda-beda. Kesabaran sangat penting dalam menghadapi proses ini.
Konsistensi adalah kunci keberhasilan dalam hal apa pun, termasuk dalam urusan mendidik anak dan melatihkan kebiasaan baik.
Dengan sendirinya kita belajar teori kepemimpinan dan aplikasinya, sama halnya dengan teori kepemimpinan di dunia profesional. Dalam hal ini, anak adalah orang yang harus kita “pimpin” untuk kita dorong menjadi versi terbaik dirinya. Memimpin tidak harus selalu dengan cara kelembutan. Ada seninya, kapan perlu ketegasan, kapan perlu disiplin, kapan perlu otoriter, kapan perlu demokratis, dan sebagainya.
Sebelum mau marah-marah ke anak, refleksikan dulu ke diri sendiri, dulu kita gitu nggak ya, sekarang juga masih begitu kah? Misal, anak susah dikasih tahu, kita melihat ada cerminan diri kita dalam sikapnya itu. “Eh, iya, saya juga kadang masih begitu”. Bicara dulu ke diri sendiri dan ubah cara berkomunikasi dengan cara yang lebih jujur.
Ingat-ingat apakah kita punya luka batin dari orang tua karena perlakuan mereka dulu dengan pola didiknya yang keras dan otoriter. Kalau diteliti lagi, kenapa orang tua bersikap seperti itu? Karena mereka punya luka batin sehingga terproyeksikan ke caranya mendidik kita.
Kalau kita tidak menyadari hal ini dan mau berusaha menyembuhkan luka batin ini, maka otomatis akan terproyeksikan ke anak. Contohnya, karena sakit hati dulu sering dimarah-marahin, tanpa sadar kita melampiaskan sakit hati itu ke anak dengan melakukan hal yang sama.
Setiap momen bersama anak adalah momen yang membahagiakan. Melihatnya tumbuh dan melewati fase-fase, melewati tantangan demi tantangan, membuat saya lebih mengapresiasi keajaiban hidup.
BACA JUGA: 3 Alasan Anak Susah Memiliki Growth Mindset, Kata Psikolog Pendidikan
Cover: Brett Sayles on Pexels