Sorry, we couldn't find any article matching ''
Damar Wijayanti: Montessori Mengajarkan "The Way of Life"
Mulai dari cara mengatur waktu untuk diri sendiri dan keluarga, hingga Montessori dan kehidupan anak di dunia digital, ini dia cerita dari Damar Wijayanti.
Menjadi seorang ibu bekerja yang tetap turun langsung dalam mengasuh kedua anaknya, Damar Wijayanti yang merupakan seorang praktisi Montessori, Certified Positive Discipline Parents, dan Classroom Educator ini juga pernah merasakan kesulitan dalam mengatur waktu untuk diri sendiri.
Aktif dalam menyebarkan ilmu parenting, Co-Founder @goodenoughparents.id ini turut membagikan cerita dan pengalamannya kepada Mommies Daily tentang dirinya, kondisi parenting di Indonesia, hingga tips memproteksi anak dari dunia yang saat ini sudah hampir serba digital. Yuk, simak selengkapnya!
Menurut Damar Wijayanti, para orang tua di Indonesia darurat soal apa?
Oke, ini pertanyaan yang cukup menarik. Sebenarnya cukup banyak di luar sana kedaruratan orang tua di Indonesia. Kalau dari pengalamanku running Instagramku yang membahas parenting, lalu running Good Enough Parents juga yang mengedukasi tentang parenting, banyak sekali curhat-curhatan yang masuk dan dari berita-berita yang aku lihat, menurutku orang tua di Indonesia itu darurat support system.
Banyak sekali hal yang terjadi karena support system-nya tidak memberikan support. Mereka justru judging pilihan si ibu atau si ayah. Bahkan, di platform belajar yang aku jalankan sekarang pun masih ada orang tua yang sudah memutuskan untuk belajar yang benar seperti apa, tapi setelah praktik bukannya di-support, malah disalahkan atas pilihannya belajar tentang parenting.
Foto: Dok. Istimewa/Damar Wijayanti
Dari yang aku pelajari juga, salah satu hal yang bisa membuat output parenting menjadi lebih optimal adalah adanya hubungan yang supportif dan responsif antara ibu atau ayah dengan orang-orang di sekitarnya.
Kebanyakan di Indonesia yang masuk dalam kategori support system itu justru kurang bisa memberikan support. Lalu, lebih banyak punya ekspektasi yang berbeda dan terlalu tinggi untuk orang tua, apalagi orang tua baru. Dan bukannya memberikan support, malah memberikan penilaian-penilaian atas pilihan-pilihan mereka.
Menurutku, tugas dari support system itu adalah kalau orang tua sudah memutuskan untuk memilih sesuatu untuk anak mereka, ya sudah, terima pilihannya meskipun mungkin berbeda dengan pilihan si support system.
Yang seorang support system bisa berikan adalah men-support pilihan itu dengan cara-cara tertentu. Misalnya orang tua dari si anak butuh apa, coba untuk bantu dan dukung. Sehingga, usaha dari ibu atau ayah untuk anak bisa lebih optimal dan berhasil.
BACA JUGA: Talents Mapping, Bantu Kenali Bakat Anak maupun orang Dewasa
Time management ala Damar Wijayanti untuk personal life, membagi waktu dengan pasangan dan urus anak?
Dulu, aku fokusnya hanya ke time management. Sampai akhirnya aku merasa kok sudah berusaha time management tapi masih kewalahan, ya. Terus, aku menemukan sebuah konsep bahwa sebenarnya yang perlu diatur itu nggak cuma waktu, tapi ada juga manajemen prioritas dan manajemen energi gitu.
Prioritasnya aku manage, terus energinya aku manage, dan waktu juga aku manage. Ada tiga jenis prioritas, Pertama, high priority yaitu hal mendesak dan harus dilakukan hari ini. Kedua, ada middle priority yang penting untuk dilakukan di hari ini tapi tidak mendesak. Dan ada hal yang tampak seperti mendesak tapi sebenarnya tidak penting untuk dilakukan di hari itu. Dengan mengatur ketiga hal ini, aku jadi bisa memfokuskan energiku untuk hal-hal yang benar-benar prioritas dan penting untuk dilakukan hari itu.
Salah satu prioritas dan penting untuk aku lakukan setiap hari adalah me time dan self-care. Alasannya karena dulu aku merasa me time dan self-care bisa nanti saja kalau ada waktu. Ujung-ujungnya malah nggak ada sisa waktu.
Kalau sama anak, karena anakku ada dua, jadi prioritasnya untuk special time harus dua kali. Satu kali sama si kakak dan satu kali sama si adik. Aku juga memastikan mereka nggak ngerasa dapat waktu sisa, jadi mereka tetap merasa penting.
Terakhir, prioritas dengan pasangan adalah connectivity. Meskipun sama-sama bekerja, tapi tetap ada connectivity yang terjalin sepanjang hari itu. Sesederhana kirim meme atau Reels yang lucu dan terkadang bisa memicu sebuah conversation.
Jadi kalau aku, nggak perlu setiap weekend nonton film atau pergi ke mana. Tapi momen-momen kecil kalau bisa membangun connectivity dengan pasangan, itu harus tetap dilakukan.
Apa hal yang disukai dari diri sendiri dan alasannya?
Yang pertama, mungkin hati yang lembut. Saat remaja, hal ini membuat aku malu. Tapi, semakin menjadi orang tua, aku merasa hati yang lembut ini bisa menjadi sebuah hal positif. Aku bisa menunjukkan kasih sayang ke anak-anak dengan tulus. Memiliki hati yang lembut juga membuat aku lebih sering berprasangka baik. Itu membantuku untuk berinteraksi secara lebih positif kepada orang lain.
Kedua, aku merasa diriku cukup “nerimo” kalau di bahasa Jawa, yang artinya menerima keadaan atau kondisi. Mengalami beberapa ups and downs saat menjadi dewasa, aku merasa kebiasaanku untuk menerima keadaan ini bisa membantuku untuk bangkit lagi. Karena dulunya aku merasa kesulitan untuk bangkit kembali, kesulitan menerima keadaan, dan masih denial.
Foto: Dok. Istimewa/Damar Wijayanti
Sebagai orang yang berkecimpung di dunia Montessori, apa 3 hal yang biasanya banyak orang sering salah paham?
Banyak orang sering salah paham tentang Montessori adalah untuk upper class, seperti orang kaya dan menengah ke atas. Padahal aslinya, sekolah pertama Montessori justru dibangun di slum area, di mana yang tinggal di sana adalah anak-anak yang cukup terlantar dan orang tuanya sibuk mencari nafkah. Sekolah ini didirikan oleh Maria Montessori (1870-1952), seorang pendidik, ilmuwan, dan dokter berkebangsaan Italia.
Kemudian, banyak orang juga sering salah paham saat mau mempraktikkan Montessori di rumah berarti harus punya perlengkapan ini dan itu. Montessori punya tiga pilar yaitu environment atau lingkungan, orang dewasa, dan anak. Orang dewasa harus pahami dulu kebutuhan tumbuh kembang anak, lalu merespon memenuhi kebutuhan tersebut di lingkungan tempat tinggal anak.
Ini juga menyambung ke kesalahan yang ketiga. Banyak orang yang berpikir Montessori itu harus mengatur rumah seperti sekolah Montessori. Padahal, Montessori lebih mengajarkan the way of life, bagaimana kita menjalankan hidup sesuai dengan filosofi yang dibawakan oleh Dr. Maria Montessori.
Melihat sejarahnya, dulu Dr. Maria membangun sekolah pertama Montessori justru dengan membawa “rumah” ke dalam sekolah agar anak-anak bisa belajar tentang kehidupan sebenarnya. Makanya, sekolah Montessori bentuknya bukan bangku berjajar menghadap papan tulis, tapi setting dan layout-nya seperti suasana rumah yang hangat.
BACA JUGA: 6 Tanda Pekerjaan yang Sekarang Tidak Cocok, Segera Berhenti!
Tips besarkan gen alpha dari seorang Damar Wijayanti?
Gen alpha ini kan sebenarnya adalah digital native. Jadi, mereka adalah penduduk asli dunia digital. Sehingga, perlakuannya mungkin akan berbeda dengan kita dulu yang masih setengah digital, setengah tidak.
Menurutku, yang diperlukan agar orang tua bisa memandu anak yang digital native ini adalah bukan sekadar membatasi penggunaan gadget, tapi juga menavigasi hidup mereka di dunia digital.
Pertama, orang tua bisa ajarkan anak untuk menavigasi penggunaan digital. Misalnya, aku nggak bilang membatasi itu gak penting ya. Membatasi cukup penting karena memang ada aturannya, usia sekian sampai sekian itu maksimal berapa jam penggunaannya, dan lain-lain.
Foto: Dok. Istimewa/Damar Wijayanti
Cuma, jangan sampai orang tua hanya fokus ke membatasi saja sampai-sampai melupakan hal yang cukup penting yang sangat anak butuhkan untuk bisa survive di dunia digital. Misalnya tentang safety dan privacy di dunia digital yang perlu orang tua ajarkan sejak dini. Lalu, bagaimana menggunakan gadget untuk bisa lebih produktif, bukan hanya konsumtif atau menghabiskan waktu.
Kedua, selain navigasi melalui dunia digital, menurutku kita sebagai orang tua perlu melengkapi essential skill yang akan dibutuhkan anak di masa depan terutama saat semunya sudah serba digital. Seperti kemampuan untuk meregulasi emosi dengan atau tanpa lawan bicara, meregulasi diri dalam hal kemampuan menunggu, tidak asal bersikap impulsif dan mengetik komen negatif.
Ketiga, melatih kemampuan untuk mempertimbangkan sesuatu sebelum beraksi. Ini memang cukup sulit karena kebutuhan di dunia digital cukup cepat. Maka dibutuhkan kemampuan ini agar anak mampu membuat keputusan yang bijak.
BACA JUGA: 7 Kerja Sampingan Cuan Besar, Modal Kecil, Cocok buat Ibu Bekerja!
Cover: Dok. Istimewa/Damar Wijayanti
Share Article
COMMENTS