Sorry, we couldn't find any article matching ''
Pro Kontra Cuti Melahirkan Untuk Ayah di Indonesia yang Masih Patriarki
Cuti melahirkan untuk ayah yang ada di dalam RUU Kesejahteraan ibu dan Anak sudah disetujui DPR RI. Akankah bermanfaat di tengah masyarakat kita yang masih patriarki?
DPR RI bersama pemerintah telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan untuk dibawa ke paripurna dan disahkan menjadi undang-undang. Selain mengatur cuti melahirkan untuk ibu dari 3 bulan menjadi 6 bulan, salah satu milestone dalam RUU ini adalah adanya ketentuan tentang cuti melahirkan untuki ayah atau suami yang mendampingi istri saat persalinan.
Belum lama, di bulan Maret 2024, beredar kabar tentang pilot maskapai lokal yang ketiduran dalam penerbangan. Alasannya karena kurang tidur membantu istrinya yang baru melahirkan bayi kembar. Berita ini semakin menguatkan urgensinya cuti ayah yang mendampingi istri melahirkan.
Baca juga: 7 Negara dengan Cuti Melahirkan Terbaik
Bagaimana bunyi lengkap draft RUU KIA yang terbaru tentang cuti melahirkan untuk ayah?
Mengenai cuti ayah diatur dalam UU No. 6 Tahun 2023 tentang Ketenagakerjaan, pada pasal 93 ayat 4, suami dapat mengajukan cuti selama 2 hari saat istri melahirkan atau mengalami keguguran dan tetap mendapatkan haknya secara penuh.
Dalam RUU KIA saat ini, cuti melahirkan untuk Ayah diatur dalam pasal 6 ayat 1 dan 2.
Pada pasal 6 ayat 1 dijelaskan: “Untuk menjamin pemenuhan hak ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1, yaitu mendapatkan pendampingan saat melahirkan atau keguguran dari suami dan/atau keluarga, maka suami wajib mendampingi.“
Pada pasal 6 ayat 2 dijelaskan: “Suami berhak mendapatkan cuti pendampingan melahirkan paling lama 40 hari atau keguguran paling lama 7 hari.”
Aturan yang sebelumnya hanya 2 hari menjadi paling lama 40 hari.
Pertanyaannya, apakah cuti ayah ini tidak sia-sia? Atau bahkan ekstremnya justru menjadi ancaman terhadap struktur tradisional?
Baca juga: Perusahaan Ramah Ayah di Indonesia, Cuti Melahirkan 6 Minggu Hingga Tunjangan Bayi Tabung
Idealita
Berangkat dari idealita yang diharapkan, cuti melahirkan untuk ayah diharapkan dapat membantu mengatasi kesenjangan gender dalam peran perawatan dan pekerjaan rumah tangga, yang selama ini dibebankan seolah hanya kepada ibu (double burden syndrome). Dengan adanya cuti ini, tentunya memberikan kesempatan bagi ayah untuk lebih terlibat dalam perawatan anak mereka sejak awal, memperkuat ikatan keluarga, pembagian tugas domestik yang lebih adil, dan mendukung kesejahteraan anak.
Kenapa cuti melahirkan? Karena masa 1000 hari pertama kehidupan (HPK) yang dimulai sejak masa kehamilan (270 hari) hingga anak berusia 2 tahun (730 hari) ini merupakan masa kritis anak bertumbuh dan berkembang dengan sangat cepat dan signifikan.
Begitu anak lahir, faktor lingkungan, nutrisi, serta hubungan antara anak dan orangtua juga memengaruhi kesehatan dan kesejahteraannya. Selain disebut masa kritis, Kementerian Kesehatan mendefinisikan 1000 HPK sebagai window of opportunities atau periode emas. Kesempatan bagi orangtua untuk membangun dan menetapkan fondasi kesehatan dan perkembangan anak yang optimal.
Realita
Faktanya, masyarakat kita yang masih patriarki, konsep tentang peran gender tradisional seringkali masih sangat kuat. Masih ada pandangan bahwa peran utama seorang ayah adalah sebagai pencari nafkah dan bahwa memberi cuti melahirkan bagi ayah akan mengganggu produktivitas ekonomi dan pendapatan keluarga. Di sisi lain, mindset tentang pembagian kerja domestik dan pengasuhan anak yang belum berubah, masih dibebankan ke ibu. Bagi yang dekat dengan keluarga besar, kehadiran mertua atau keluarga besar, yang diandalkan untuk menjadi support system. Mereka yang ekonominya mapan dan uang bukan masalah, tinggal menggaji baby sitter dan ART, sebagai support system. Atmosfer kehadiran ayah untuk turun tangan langsung di fase ini belum terbentuk di masyarakat kita.
Dengan demikian, akankah cuti melahirkan untuk ayah ini hanya membuat pemberian cuti selama 40 hari ini menjadi melenceng dari tujuan yang diinginkan. Siapa yang bisa menjamin dan ‘mengawasi’ para ayah ini memanfaatkan cutinya untuk benar-benar jaga bayi? Bagaimana kalau dipakai untuk ‘menghilang’ dan bersenang-senang?
Norma-norma yang mapan dalam masyarakat patriarki bisa jadi sulit diubah dan tentunya memerlukan waktu. Tidak bisa dalam sekali intevensi kebijakan, norma langsung berubah. Fakta tersebut memang tidak bisa dipungkiri praktiknya akan jauh dari idealita. Namun demikian, kebijakan ini juga jangan buru-buru ditolak mentah-mentah. Jika tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi norma kita bisa berubah? Selain intervensi kebijakan, penyadaran dan edukasi yang terus menerus, dapat mendorong terjadinya perubahan. Dimulai dari rumah masing-masing, dialog dengan pasangan dan keluarga dekat. Cuti melahirkan untuk ayah ini bisa menjadi salah satu langkah menuju kesetaraan gender yang lebih besar.
Sumber image dari sini
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS