Dari banyaknya gaya parenting ternyata ini adalah beberapa yang cukup sulit untuk diterapkan. Siapa yang setuju? Lihat daftarnya di bawah ini!
Di era informasi berlimpah, ada banyak sekali gaya parenting yang diterapkan. Masing-masing menyajikan argumentasi yang cukup meyakinkan. Sepintas, semua konsepnya tampak mudah dan efeknya menjanjikan. Anak bakal tumbuh menjadi karakter yang sesuai dengan ekspektasi kita. Namun dalam praktiknya, uwow, tidak semudah itu, Ferguso!
Maksud hati disiplin menerapkan gaya A, B, C yang katanya luhur, apa daya di lapangan ketemunya X,Y, Z, dan… bubar jalan! Lupa deh sama semua teori dan konsep yang indah-indah itu begitu menghadapi anak zaman now yang banyak akal banyak mau.
BACA JUGA: 9 Artis yang Mengasuh Anak dengan Cara Parenting Islami, Dari Shireen Sungkar hingga Natasha Rizky
Apa sajakah gaya-gaya parenting yang tampak indah tapi sulit itu? Ini daftar gaya parenting tersulit yang mungkin ingin kalian atau sedangt erapkan!
Menurut riset, penggunaan gadget membawa dampak buruk bagi perkembangan emosional dan sosial anak. Anak yang terpapar gadget sejak dini juga berakibat mengalami gangguan fokus dan terganggunya tumbuh kembang. Belum lagi, efek kecanduan dan cyberbullying.
Berapa usia ideal anak boleh memiliki gadget? Para ahli menyarankan di atas usia 11 tahun. Kalau merujuk ke film The Social Dilemma, malah sebaiknya setelah anak usia SMA.
Jangankan membatasi anak untuk memiliki gadget pribadi, screen time atau pembatasan waktu untuk anak dari paparan gadget saja semua orang tua kerepotan. Sejak bayi, mereka sudah merajuk minta Youtube. Dan anehnya, begitu gadget terpegang, mereka langsung auto mahir memainkannya.
Filosofinya adalah menghindari kalimat negatif, dan sebisa mungkin menggantinya dengan kalimat positif. Untuk itu, bahasa negatif seperti “tidak”, “jangan”, “awas”, dan “berhenti” sebaiknya tidak diucapkan. Dipercaya, hal ini berdampak pada pertumbuhan anak, membuat anak jadi takut mencoba hal baru, padahal di usia dini seharusnya fase anak untuk banyak bereksplorasi. Namun, tiap kali kejadian, impuls yang dominan berperan. Pikiran nggak sempat memproses mencari alternatif kata-kata negatif.
Tujuan dari gaya parenting ini adalah mendorong kemandirian dan keberanian anak. Yang harus dilakukan adalah orang tua ‘stop parenting’, stop ngintilin anak kemana-mana, mengurus segala keperluannya, membiarkan anak menyelesaikan masalahnya sendiri. Mudah, bukan? Tidak pakai repot dan nggak perlu ngapa-ngapain. Namun seringkali orang tua yang tidak sanggup karena adanya kekhawatiran akan keselamatan dan tekanan sosial.
Intinya mengedepankan ketenangan dan reaksi emosi yang ditunjukkan orang tua pada anak, bukan pada perilaku anak. Jadi fokusnya pada si orang tua selalu dalam kondisi kesadaran penuh. Orang tua perlu mendidik dirinya dan membuat dirinya bertumbuh, berproses, memperbaiki diri, dan memperbaiki cara berkomunikasi dengan anak. Tentu, ini tidak bisa terjadi dalam satu malam, tetapi sebuah proses yang membutuhkan waktu panjang, perjuangan, dan tekad kuat.
Menekankan disiplin bisa dilakukan tanpa perlu hukuman. Menerapkan gaya ini bisa sulit ketika menghadapi situasi yang memerlukan disiplin dan menetapkan batasan. Misalnya, perilaku anak yang ngelunjak memanfaatkan kelonggaran yang diberikan orang tua, lantas berlaku seenaknya. Gaya ini juga rentan jadi kebablasan menjadi gaya yang terlalu memanjakan anak.
Parenting gaya Skandinavia ini menekankan anak perlu banyak bermain. Caranya mudah, berikan anak cukup banyak waktu untuk bermain. Kenyataannya, orang tua justru kelimpungan saat anak energi mainnya besar. Di sisi lain, ada orang tua yang bingung bagaimana membuat anak mengisi waktu bermain, karena waktu luang hanya anak membuat perhatian anak teralih pada gadget, sebab teman-temannya pun main gadget.
Masalah lain adalah tekanan akademik. Anak yang disekolahkan di sekolah yang ketat akademiknya, tidak lagi punya waktu untuk bermain. Orang tua pun seolah terjebak pada hasrat kompetitif dan ambisi agar anak tumbuh menjadi anak yang unggul di kelasnya.
Gaya pengasuhan tidak bisa terpaku hanya pada satu label saja. Dalam praktiknya, tergantung pada berbagai faktor, nilai yang dianut orang tua, dinamika keluarga, kepribadian si ayah dan ibu, termasuk kepribadian anak. Kalau di Indonesia, faktor nilai keluarga besar juga turut berperan. Untuk itu, tidak ada satu pun gaya yang bisa dinilai paling sukses dan paling efektif. Orang tua perlu menerapkan keseimbangan yang sesuai dengan kebutuhan anak dan nilai yang dianutnya.
BACA JUGA: 20 Realitas Hidup yang Penting Orang Tua Ajarkan ke Anak
Cover: Freepik