Ketika orang tua bertengkar di depan anak ternyata ada efek buruk yang bisa berbahaya untuk tumbuh kembang mereka di masa depan.
“Children are like emotional Geiger counters” – E.Mark Cummings (Psychologist at Notre Dame University). Diibaratkan seperti Geiger Counter (alat pendeteksi radiasi), anak memperhatikan & menyerap emosi orangtuanya, dari yang positif hingga yang negatif. Jadi, tentu berbahaya jika orangtua sering bertengkar di depan anak.
Dilansir dari artikel What Happens to Kids When Parents Fight, yang ditulis oleh Diana Devicha, ada beberapa jenis perilaku destruktif yang seringkali dilakukan orangtua ketika bertengkar, yang dapat membahayakan anak, mulai dari kekerasan verbal (penghinaan dan pelecehan verbal lain), kekerasan fisik (memukul dan mendorong), pengabaian (menghindari, merajuk, atau menarik diri), hingga menyerah (menggantungkan keadaan tapi masalahnya tidak terselesaikan).
BACA JUGA: Bertengkar di Depan Anak? Boleh Saja, Begini Aturannya Menurut Psikolog
Deretan hal destruktif yang disebutkan di atas ternyata memberikan dampak buruk, terlebih jika terus menerus dilakukan di hadapan anak sehingga selalu dilihat oleh mereka. Apa saja dampak dan risikonya untuk tumbuh kembang anak? Intip di bawah ini!
Akibat perilaku orangtua yang sering bertengkar, anak dapat menjadi putus asa, khawatir, cemas, dan stres. Antropolog Mark Flinn dan Barry England menganalisis sampel hormon stres atau kortisol yang diambil dari anak-anak di seluruh desa di pantai timur pulau Dominika di Karibia.
Anak-anak yang tinggal dengan orang tua yang selalu bertengkar memiliki kadar kortisol rata-rata lebih tinggi daripada anak-anak yang tinggal di keluarga yang lebih damai. Akibatnya, mereka sering menjadi lelah dan sakit, kurang bermain, dan juga kurang tidur.
Akibat dari pertengkaran orangtua, anak juga dapat menjadi agresif dan mengembangkan masalah perilaku di rumah dan di sekolah. Stres yang mereka alami juga dapat mengganggu fokus dan membuat anak sulit memusatkan perhatian yang dapat menciptakan masalah belajar dan mengganggu pencapaian akademik di sekolah.
Akibat lain yang tidak kalah serius adalah masalah kesehatan yang dapat diderita anak, seperti gangguan tidur dan masalah kesehatan lain, yaitu sakit kepala, sakit perut, atau penyakit lainnya. Masalah kesehatan ini dapat terjadi hingga dewasa.
Pada tahun 2002, peneliti Rena Repetti, Shelley Taylor, dan Teresa Seeman di UCLA mengamati 47 penelitian yang mengaitkan pengalaman anak-anak dalam lingkungan keluarga yang berisiko dengan masalah di kemudian hari di masa dewasa.
Mereka menemukan bahwa anak yang tumbuh di rumah dengan tingkat konflik yang tinggi memiliki lebih banyak masalah kesehatan fisik, masalah emosional, dan masalah sosial di kemudian hari dibandingkan dengan kelompok yang tidak mengalaminya.
Sebagai orang dewasa, mereka lebih cenderung mengalami masalah pembuluh darah dan imunitas, depresi, gangguan emosional, ketergantungan zat adiktif, dan kesepian.
Sebagian besar anak yang dibesarkan dalam lingkungan konflik yang merusak biasanya memiliki masalah, hingga sulit baginya untuk membina hubungan yang sehat dan seimbang dengan teman sebayanya. Bahkan hubungan dengan saudara kandung pun dapat berpengaruh. Mereka cenderung menjadi ekstrem, terlalu protektif satu sama lain, atau malah menjauh dan mengasingkan diri.
Masalah ini juga dapat dialami hingga dewasa, mulai dari masalah hubungan, trust issue dengan teman atau rekan kerja, ataupun masalah keintiman dengan pasangan.
Prof Gardon Harold, Professor of Psychology dan Director at University of Sussex, juga mengingatkan bahwa anak dapat menyalahkan diri sendiri akibat pertengkaran orangtuanya, apalagi jika terjadi berulang kali, hingga memicu masalah yang lebih serius, seperti menyakiti diri sendiri terutama pada remaja.
—
Lalu, wajarkah jika kita berbeda pendapat dengan pasangan dan apakah semua semua jenis konflik itu memiliki dampak negatif? Tentu wajar, Mommies. Beberapa jenis konflik justru tidak mengganggu, malah anak dapat merasakan manfaatnya.
Konflik yang seperti apa? Ketika orang tua memiliki konflik ringan sampai sedang yang melibatkan dukungan, kompromi serta emosi positif, juga ketika anak menyaksikan orangtua menyelesaikan konfliknya dengan bijak.
Dampaknya untuk anak juga lebih positif. Anak dapat mengembangkan keterampilan sosial yang lebih baik, kondisi emosional meningkat, anak dapat memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang tua, berprestasi lebih baik di sekolah juga memiliki lebih sedikit masalah psikologis, karena penyelesaian konflik secara positif meyakinkan anak-anak bahwa orang tua dapat menyelesaikan masalah, hingga mereka merasa lebih aman secara emosional, dan perilaku pro-sosial mereka terhadap orang lain juga meningkat.
Psikolog E. Mark Cummings juga mengingatkan, jika orang tua tidak menyelesaikan masalah sepenuhnya tetapi menemukan solusi parsial, anak akan tetap mendapatkan manfaat. Stres mereka akan menurun sebanding dengan kemampuan orang tua mereka untuk menyelesaikan berbagai hal secara konstruktif. Walaupun kompromi adalah terbaik, tetapi banyak penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak mendapat manfaat dari setiap kemajuan menuju resolusi atau penyelesaian.
Banyak masalah perilaku anak dapat diselesaikan bukan dengan berfokus pada anak, atau bahkan hubungan orang tua-anak, tetapi hanya dengan meningkatkan kualitas hubungan orang tua saja, yang memperkuat keamanan emosional anak.
Cara orangtua menyelesaikan konflik yang dihadapi juga menjadi contoh cara pengelolaan emosi dan teknik problem solving yang tepat, yang dapat anak pelajari dan tiru, serta dibawanya hingga dewasa bahkan seumur hidupnya.
BACA JUGA: 7 Kesalahan Saat Bertengkar dengan Pasangan yang Membuat Rumah Tangga Pasti Berantakan
Cover: Freepik