Sorry, we couldn't find any article matching ''
Agar Anak Tidak Mencintai Kekerasan
Kalau kekerasan dianggap wajar oleh orangtua, maka anak pun akan terbiasa melakukannya. PR besar kita adalah bagaimana kita membentuk anak, mau dengan kasih sayang atau kekerasan?
Mungkin sampai detik ini kita sebagai orangtua masih bertanya-tanya, “Kok, bisa-bisanya, ya, anak muda 20 tahun melakukan kekerasan, bahkan tidak berhenti sampai korbannya nyaris hilang nyawa. Kok, bisa, ya, masih muda tapi segitunya nggak punya hati? Apa yang ada di benaknya sebagai manusia?” Kasus Mario dan David mungkin hanya satu dari ribuan kasus kekerasan lain yang belum muncul di permukaan alias belum viral.
It takes a village to raise a child! Maka ketika semua membahas kasus ini, dari media, komunitas parenting (termasuk Mommiesdaily), psikolog, influencer, dan kita sendiri, yang perlu menjadi concern adalah urgensi pola asuh yang tepat oleh orangtua. Mungkin seperti saya sendiri, Mommies pun langsung saat itu juga ngebahas kasus ini bareng suami dan menyadari betapa kita punya PR besar dalam mendidik anak. Karena sejatinya, tidak ada cara lain yang bisa kita lakukan agar anak tidak mencintai kekerasan, selain mendidiknya dengan kasih sayang.
Tetaplah berada di jalur yang benar
Dunia akan menjadi tempat yang jauh lebih baik jika lebih banyak orang fokus mengajarkan kasih sayang (compassion) kepada anak-anak mereka. Kalau kita lihat apa yang terjadi sekarang, memang banyak sekali orang yang bisa semudah itu bersikap kasar, menyinggung, bahkan mengkampanyekan kebencian dengan hanya menggerakkan jemarinya. Akan tetapi, kita bisa, kok, tetap di jalur yang benar dan terus mendoktrin anak kita agar senantiasa memilih untuk melakukan hal yang benar.
Validasi emosi dengan tidak menyakiti
Saya rasa kita sudah sering juga diingatkan, khususnya dalam hal parenting, bahwa emosi anak perlu divalidasi. Dari pengenalan perasaan, baik senang, malu, bahkan marah, dan perasaan lainnya yang umum anak rasakan, sampai cara mereka memproses perasaan tersebut. Menangis saat sedih maupun marah itu boleh, tetapi tidak dengan membanting maupun merusak, bahkan memukul orang lain maupun dirinya sendiri. Sama halnya ketika mereka senang, boleh diekspresikan dengan loncat saking girangnya, tapi tidak dengan ekspresi yang merugikan orang di sekitarnya. Karena pada usia tertentu, ekspresi kebahagiaan anak tetap perlu kita batasi.
Mengenal perasaan membuat anak paham cara berempati
Empati adalah sebuah kondisi di mana kita mampu menempatkan diri pada posisi orang lain dan berbagi secara langsung kesedihan yang dialami orang lain. Dasarnya memiliki kemampuan berempati adalah dengan mengenal emosi atau perasaan yang diri sendiri alami. Dengan demikian, anak juga akan lebih mudah memahami bahwa ketika ia senang, mungkin saja teman atau orang lain di lingkungannya ada yang lagi sedih. Dengan begitu, anak tau cara membatasi ekspresinya ketika sedang bahagia. Contoh nyata, dengan tidak memamerkan priviledge-nya dan tidak bersenang-senang atas penderitaan orang lain.
Paparkan perbuatan baik dan benar pada anak beribu-ribu kali
Kalau scrolling di Instagram, nih, kita suka bingung, kok, bisa ya Instagram memaparkan iklan barang yang selama ini ada di pikiran kita? Ternyata, kita ga sadar pernah men-tap iklan sejenis. Secara tidak disadari, Instagram telah mempelajari ketertarikan dan kebiasaan kita, sehingga kita kian disuguhi content sesuai dengan jejak yang kita buat sendiri. Sama halnya dengan pengaruh dari paparan yang kita berikan pada anak. Makin sering terpapar perbuatan baik, anak akan makin terbiasa melakukan yang baik.
“#JadiOrangtua adalah perjalanan amat panjang untuk “mengisi” alam pikir dan pemrograman otak anak dengan hal-hal baik yang kita mau anak ini bisa sadar, paham dan bisa lakukan di usia dewasa setelah hasil ribuan kali sejak masa kecil kita omongin dengan KASIH, HATI dan KETULUSAN ke anak. Mode ngomong otoriter, arogan, militeristik, feodal biasanya nggak bisa menyentuh hati-emosi anak zaman now dan BUKAN fondasi #kesehatanmental yang sehat.” Anastasia Satriyo, Psikolog
View this post on Instagram
Banyak orang jahat di luar sana, kita tidak perlu menjadi salah satunya
Begitu sering terpapar dengan hal-hal yang baik, maka anak otomatis akan menjadikan perbuatan baik tersebut sebagai referensinya seumur hidup. Tapi, boleh kita ingatkan anak bahwa yang jahat di luar sana juga banyak. Hanya saja, kita tidak perlu menjadi salah satunya. Termasuk saat berteman, ketika anak kedapatan menemui perbuatan temannya yang salah, sebagai teman yang baik, ia bisa memperingatkannya. Tapi, cukup sampai di situ! Selebihnya, jelaskan pada anak bahwa kehilangan satu orang teman yang nggak “sefrekuensi” bukanlah akhir kehidupan. Masih banyak orang-orang baik yang bisa ia jadikan teman.
Yuk, mari kita ciptakan generasi yang saling mendukung, menghargai dan menghormati satu sama lain. Let’s make the world a better place.
Baca juga: 8 Etika Dasar Yang Wajib Dipahami Anak Remaja
Image by wirestock on Freepik
Share Article
COMMENTS