Sorry, we couldn't find any article matching ''
Mengenal Pendidikan Seminari dan Apa yang Harus Dipersiapkan Anak
Untuk Mommies dan Daddies yang penasaran dengan pendidikan seminari, berikut informasinya. Siapa tahu butuh untuk si anak remaja.
Mungkin belum banyak orang yang mengenal pendidikan seminari, selain masyarakat yang beragama Katholik.
Seperti lembaga pendidikan lainnya, pendidikan seminari juga memberikan pembelajaran kepada para muridnya tapi khusus untuk para calon pastor (padri, pendeta) Katolik Roma.
Kata seminari sendiri berasal dari kata Seminarium dari bahasa Latin yang terbentuk dari kata dasar ‘semen’, yang berarti ‘benih’ atau ‘bibit’. Maka, bisa dikatakan bahwa Seminari berarti tempat penyemaian benih-benih.
Mommies Daily pun bertanya kepada Romo Andreas Subekti, Pr tentang pendidikan seminari dan apa yang harus dipersiapkan anak jika ingin menjadi calon pastor melayani Tuhan.
BACA JUGA: Tips Sebelum Memasukkan Anak ke Pesantren atau Boarding School Menurut Psikolog
Apa tujuan pendidikan Seminari?
Seperti sudah dijelaskan di atas, pendidikan seminari adalah sebuah lembaga yang jadi tempat belajar dan tempat tinggal bagi para anak-anak atau remaja yang memiliki benih panggilan imam.
Dalam jangka waktu tertentu, para calon imam akan diajarkan banyak hal untuk menjadi pelayan Tuhan. Mereka akan dipersiapkan sebagai calon imam di biara maupun di seminari-seminari keuskupan.
“Pendidikan seminari adalah tempat pendidikan untuk calon imam,” ungkap Romo yang akrab disapa Romo Bekti ini. “Ada dua jenjangnya, yaitu seminari menengah tingkat SMA dan seminari tinggi tingkat perkuliahan,” tambahnya.
Untuk lulusan SMP, program pendidikan yang ditempuh biasanya 4 tahun, sedangkan untuk lulusan SMA hanya 1 tahun. “Walau berbeda, tetapi tujuannya tetap sama, yaitu mempersiapkan peserta didik atau anak seminaris yang menentukan pilihan, untuk menjadi calon imam,” jelas Romo Bekti.
Ketika calon imam lulus dari seminari menengah, maka mereka baru disebut sebagai frater atau novis. Dari sini mereka akan melanjutkan pendidikan ke seminari tingkat tinggi, setara dengan tingkat kuliah.
Berapa usia anak yang tepat untuk masuk Seminari?
Setara dengan SMA, seminari menengah itu diikuti oleh anak yang sudah lulus SMP, sekitar usia 14-15 tahun. Program yang diikuti adalah 4 tahun, dimana 1 tahun untuk kelas persiapan dan 3 tahun untuk mengikuti pendidikan SMA.
Romo Bekti menjelaskan jika anak yang mengikuti pendidikan seminari setelah lulus SMA atau di usia 17-18 tahun, maka mereka hanya perlu mengikuti program 1 tahun persiapan, yang disebut kelas persiapan atas.
“Kalau seminari tinggi itu untuk lulusan SMA atau mereka yang sudah kuliah atau bekerja, maksimal berusia 35 tahun, yang saya tahu untuk jadi syarat masuk ke seminari tinggi di Keuskupan Agung Jakarta,” tambahnya.
Namun diketahui di beberapa tempat ada juga seminari tengah yang bisa diikuti oleh tingkat SMP. Jadi setelah anak lulus sekolah dasar, dia masuk ke seminari, ke asrama di tingkat SMP.
Apa syarat masuk Seminari?
“Masuk seminari tingkat SMA, ya, tesnya seperti masuk SMA umum, terkait untuk pelajaran-pelajaran,” jelas Romo Bekti. ADa deretan tes juga yang harus diikuti, mulai dari tes psikologi, tes kesehatan, lalu wawancara tentang motivasi menjadi imam.
Berbeda dengan seminari menengah, untuk seminari tinggi syaratnya lebih beragam. Ada tes kemampuan berpikir, tes kemampuan, tes materi perkuliahan, tes psikologi, dan ada juga tes wawancara dengan romo pendamping.
Selain itu, syaratnya umum tapi yang terpenting adalah calon imam harus laki-laki, beragama katolik, sudah dibaptis.
Apa saja yang dipelajari di Pendidikan Seminari?
Untuk pendidikan seminari menengan, Romo Bekti menjelaskan bahwa ada empat bidang utama yang dipelajari, yaitu bidang pengetahuan, bidang rohani, aspek kesehatan, dan aspek hidup berkomunitas.
“Pelajaran di bidang rohani tentu mempelajari ritual-ritual rohani katolik, ekaristi, sakramen tobat, devosi-devosi, sejarah gereja, bahasa latin, pengolahan rohani, kitab suci, dan juga liturgi,” jelasnya.
Apa yang Harus Diperhatikan Orang Tua Kalau Ingin Memasukkan Anaknya ke Seminari?
Mengikuti pendidikan seminari tidak bisa dilakukan dengan paksaan tetapi harus ada keinginan dari dalam diri anak untuk mau melayani Tuhan. Untuk itu, jika memang orang tua ingin memasukkan anak ke seminari, maka disarankan sejak dini mereka diberikan pengenalan tentang sosok romo atau pastor.
“Keluarga sendiri adalah seminari kecil, artinya jadi tempat pembinaan awal. Perlu diperkenalkan juga ke anak bahwa dalam hidup orang katholik itu ada dua jalan kesucian, dua panggilan. Pertama menjadi umat biasa, lalu yang kedua menjadi kaum tertahbis yang dikuduskan untuk mempersembahkan atau memimpin suatu komunitas, suatu jemaat.” ungkap Romo Bekti.
Orang tua juga diingatkan untuk mengajarkan hidup rohani. “Anak diajak ke gereja, diajari berdoa, terbuka terhadap promosi-promosi calon imam, bergaul dengan para frater, suster, bergaul dengan para romo sehingga mereka punya sosok teladan yang dibutuhkan. Sehingga nantinya akan ada ketertarikan di sana sampai akhirnya anak juga tertarik dan mempersiapkan secara iman untuk masuk seminari.”
BACA JUGA: Plus Minus Sekolah Homogen
Ingin Menjadi Pastor
Selain berbincang dengan Romo Bekti, Mommies Daily juga bertanya pada salah satu frater atau calon imam yang masih dalam masa pendidikan, yaitu Frater Yohanes Febriyanto.
Ketika ditanya alasannya kenapa memilih mengikuti pendidikan seminari, jawabannya sederhana, yaitu karena dia ingin menjadi seorang Pastor.
Dia mulai memasuki jenjang seminari menengah pasca lulus dari SMP dengan mempersiapkan semua kebutuhan belajarnya semaksimal mungkin. “Lalu ada juga persiapan batin untuk meninggalkan relasi yang dekat dengan kedua orang tua, relasi dengan teman-teman, “relasi” dengan gadget, juga diperlukan. Terakhir, persiapan untuk semakin dekat dengan Tuhan dalam segala hal,” ungkap Frater Yohanes.
Selama mengikuti pendidikan seminari, Frater Yohanes mengakui banyak hal yang sudah dia pelajari. “Mulai dari langkah sederhana untuk bertemu dengan Tuhan, mengolah kerohanian sendiri lewat doa, membaca Kitab Suci, mengikuti Perayaan Ekaristi harian, dan berbagai kegiatan rohani lainnya.”
Diakuinya ada juga hal baru yang dipelajarinya, yaitu latihan untuk membuat dan menjalankan kegiatan harian di seminari. Hal ini berdampak banget ketika harus menentukan mana yang paling penting dan tidak penting untuk dilakukan.
“Selain itu, hal lain yang dipelajari adalah membangun relasi yang sehat di seminari. Jadi kami belajar cara berelasi dengan sesama seminaris, dengan staf seminari, dengan karyawan atau guru, dengan teman-teman lain, dengan mereka yang berlawanan jenis, dan dengan tamu di luar seminari secara sehat.” jelas Frater Yohanes.
BACA JUGA: Info Pesantren Kilat Online Untuk Anak. Yuk, Segera Daftar!
Cover: Freepik
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS