Di luar kesalahan yang anak kita lakukan, sebaiknya minta maaf jangan sampai jadi kebiasaan.
Thanks to Cocomelon, anak kenal the magic words “Please, Sorry, Excuse me, Thank you” atau “Tolong, Permisi, Maaf, dan Terima kasih”. Namun kenyataannya, meski sudah hafal, kita tidak bisa memungkiri bahwa penempatan “maaf” masih sering keliru, itupun akibat kebiasaan masyarakat sekitar. Betapa kita cenderung bilang “maaf” sambil membungkuk melewati dua orang yang sedang berbicara, padahal ada kata “permisi”. Pun ketika kita meminta sesuatu, “Maaf, Mas/Mba, boleh minta gelas?”, padahal kesalahannya di mana, kita juga nggak tahu, kenapa minta maaf?
Ironisnya lagi, menurut artikel Fatherly, frase “Maaf, ya,” ini overused alias terlalu sering digunakan, terutama oleh anak perempuan yang rentan mengalami tekanan sosial dalam hal mengikuti aturan. Sementara menurut Marti Dixon, seorang konselor klinis yang berpengalaman dalam pendidikan dan psikoterapi, perempuan disosialisasikan untuk menghindari konflik. Bahkan ketika mereka tidak melakukan kesalahan, minta maaf menjadi cara terbaik untuk menghentikan terjadinya konflik.
Sampai di sini, nggak mau, kan, putri kita menjadi pribadi yang demi diterima oleh society, kudu sering bilang “maaf”, entah itu untuk menghindari konflik maupun agar dianggap sopan? Dalam hal ini, orangtua adalah pemegang kendali untuk anak bisa bilang “maaf” secara tepat dan tidak eksesif menjadi si “yang selalu minta maaf”. Caranya:
Sikap kritis adalah baik ketika seseorang memiliki ketajaman dalam menganalisis. Namun sikap ini tidak akan bisa dimiliki anak ketika kita berlaku sebagai orangtua yang menunjukkan otoritas dan selalu mencari kesalahan dan menganggap anak keliru. Anak malah akan sulit untuk yakin pada dirinya sendiri dan kemampuannya.
“Aku nggak mau makan nasi, maunya mi!”, padahal kita sudah berjam-jam masak. Apa yang keluar dari mulut kalau bukan, “Enggak! Makan yang ada!” Padahal, belum tentu kita terima kalau disuguhi makanan yang tidak sesuai permintaan, ditanya aja nggak pernah. Meski kita yang pegang kendali, percakapan di atas sebetulnya bisa lebih baik, bila kita membukanya dengan, “Nak, nanti mau makan apa?” Kalau memang tidak ada mi, kita bisa bilang, “Di rumah adanya ayam sama sayur, Nak. Gimana kalau makan mi-nya, besok aja pulang sekolah?” Mengajarkan anak untuk bersyukur dengan apa yang tersedia itu baik, tetapi tidak dengan menegurnya karena sesuatu yang memang tidak pernah ia minta dan mematahkan pendapatnya. Karena di sini, anak bukan nggak mau makan, tapi ia ingin bisa punya pilihan mau makan apa.
“Maaf” diucapkan ketika kita berlaku salah, di mana orang lain jadi tersakiti/terluka, dan sedih. Ketika anak memukul adiknya, maka ia perlu meminta maaf pada adiknya karena kesakitan, bukan pada kita orangtua. Sambil tetap mengingatkan anak bahwa sebagai Kakak yang penyayang, ia bisa bermain dengan menjaga adiknya, bukan memukul. Demikian pula ketika anak lari-lari kemudian tidak sengaja menyenggol gelas, lalu pecah. Percakapan kita dengan anak bukan untuk menyalahkan, karena ia memang tidak sengaja, tetapi kita perlu meyakinkan anak paham akibat dari tindakannya. Sehingga, pada akhirnya anak tidak selalu bilang, “Maaf, ya Pa/Ma!” melainkan paham, “Oke, aku nggak boleh lari-lari lagi!”
Wajar memang, kalau kita marah, kesal, bila anak tidak berlaku sesuai dengan harapan. Namun, pilihan ada di kita, mau tunggu sampai bertemu ekspektasi atau mau anak mampu mengekspresikan keinginannya? Demikian pula ketika sudah lelah mengantar anak les, eh, dia malah nggak mau. Dibanding reaksi marah, tindakan yang jauh lebih tepat adalah mengakui diri kita yang keliru, “Maaf ya, kalau Ayah/Mama nggak dengerin kamu, coba cerita kenapa kamu nggak mau les?” Anak pasti punya alasan menolak kegiatan yang selama ini dijalani dengan senang hati. Jika pun sedang malas, tidak akan sulit buat meyakinkan dan menyemangatinya lagi.
Ketika belanja sepatu atau baju buat anak, artinya itu akan menjadi miliknya. Maka ia berhak memilih mana yang paling nyaman, mana yang paling sesuai dengan seleranya. Buat usia balita, memang masih perlu dibimbing. Caranya, minta anak memilih dari yang sudah disortir. Usia SD, anak sudah bisa ditanya minatnya akan kegiatan di luar sekolah. Mau pilih belajar alat musik apa, tanyakan alasannya. Ketika putri Anda memilih ikut futsal pun, jangan langsung mematahkan semangatnya, tanyakan, “Kenapa kamu mau main futsal?”. Sebagai bahan pertimbangan supaya lebih yakin ke depannya, kita bisa bilang, “Kalau main futsal, kamu akan lebih banyak ketemu teman laki-laki, kamu siap?” Hindari pertanyaan yang memperlihatkan keraguan kita terhadap pilihannya, tapi pastikan anak siap dengan segala tantangan yang akan ia hadapi.
Dengan terbiasa mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini, sesungguhnya kita sedang membina anak perempuan kita untuk menjadi pendebat yang baik tanpa adanya perubahan pada nada suara. Ia pun kelak mampu bertukar pendapat alias berdebat tanpa ngegas.
Karena pada dasarnya, seorang anak bisa memiliki kemampuan untuk meminta maaf tanpa harus mengorbankan rasa percaya diri yang ia telah pupuk selama ini.
Image by pch.vector on Freepik