Sorry, we couldn't find any article matching ''
Tanda-Tanda Financial Abuse Alias Pelecehan Finansial di Dalam Rumah Tangga
Poin-poin ini bisa jadi tanda financial abuse dalam rumah tangga, tapi, jangan lantas suuzan karena bisa jadi pemicunya hanyalah komunikasi.
Gaji tuh cuma numpang lewat! Masa, sih? Seharusnya nggak segitunya! Apalagi kalau selama ini kita sudah paham mencatat cash flow, bisa memangkas pengeluaran, mencari tambahan penghasilan, dan sudah bisa konsisten menaruh sekitar 10-30 persen dari gaji ke pos tabungan sesuai tujuan. Tapi, kok, boro-boro buat me time, beli barang yang diri sendiri butuhkan saja susah. Padahal, ada uangnya. Apa yang salah? Bisa jadi, Anda tidak menyadari adanya financial abuse dalam rumah tangga.
Sebelum ke arah sana, kita cermati dulu, ya, poin-poin berikut ini, supaya artikel ini tidak mengarahkan Anda pada sikap berburuk sangka terhadap pasangan dan berakhir ke suuzan semata, padahal masalahnya hanya di komunikasi.
Setiap keluarga punya cara sendiri dalam mengatur keuangan
Hasil studi Pooling Finances and Relationship Satisfaction, menyatakan bahwa pasangan yang mengumpulkan uang bersama, lebih tidak rentan untuk berpisah. Namun, kembali lagi, masing-masing punya cara sendiri, ada yang di-manage istri, ada yang di-manage suami. Keduanya sah-sah saja. Hanya saja, adanya keterbukaan, komunikasi soal pengeluaran dan siapa harus bayar apa itu PENTING! Meski saat ini Anda atau suami sedang membutuhkan gadget baru dan ada uangnya, hal ini tetap perlu dikomunikasikan. Demikian pula dengan pembagian kewajiban, yang sebaiknya diputuskan begitu Anda menikah. Siapa bayar tagihan listrik, siapa bayar cicilan rumah, siapa bayar tagihan internet, siapa yang menyimpan dana darurat. Semua harus jelas di awal, karena mengatur keuangan adalah bentuk dari tanggung jawab kedua belah pihak sebagai suami dan istri.
Anda perlu khawatir, ketika:
- Pasangan menjadi satu-satunya yang pegang kontrol atas uang keluarga. Tidak melibatkan pihak lain dalam hal perencanaan keuangan, mengecualikan pasangan dalam pengambilan keputusan keuangan, menahan uang, merahasiakan password dan pin ATM.
- Pasangan menempatkan hutang atas nama Anda tanpa pemberitahuan, artinya memang tidak ada kesepakatan sebelumnya bahwa dirinya menaruh nama Anda sebagai tertanggung. Hal ini bisa dikategorikan sebagai eksploitasi. Ketika proses pelunasan hutang mengalami kendala, sangat mungkin timbul kegelisahan dari pasangan yang mengarah ke tindakan tidak wajar. Bahkan, memanipulasi dengan kata-kata “cinta” ketika Anda tidak bersedia melunasi tagihan.
- Pasangan memutuskan membeli instrumen keuangan tanpa persetujuan dan keterbukaan, bahkan menutup akses perihal jumlah tabungan dan aset. Meski tujuannya untuk masa depan, pembelian aset yang mengorbankan pemasukan bulanan menjadi pengeluaran yang lebih besar akan tetap berujung beban belaka bagi keluarga.
Setiap orang punya hak untuk menikmati hasil jerih payahnya
Ada ibu bekerja dengan perjuangannya siang dan malam, yang harus merelakan waktunya menjadi sangat terbatas dalam hal mengurus dan menemani anak. Ada ibu rumah tangga yang mencoba berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan dengan cara jualan, bisnis online, dan sebagainya. Ada suami yang sangat taat menjalani posisinya sebagai tulang punggung keluarga. Ada bapak rumah tangga yang tertuntut untuk mengambil alih peran istri di rumah, sehingga sama sekali tidak bisa produktif menghasilkan uang. Semua ini nyata.
Dalam situasi seperti ini kerap timbul financial abuse, ketika:
- Adanya sabotase dari pasangan, bisa karena latar belakang suami yang tidak rela istrinya berpenghasilan lebih dari dirinya. Akibatnya, pekerjaan istri direndahkan, bahkan akhirnya dilarang untuk bekerja dan punya penghasilan. Istri pun jadi merasa tidak berharga.
- Adanya pelecehan akibat adanya keterbatasan. Ketika suami harus menjadi bapak rumah tangga, istri merasa berkuasa bahkan merasa kedudukannya lebih tinggi karena ialah yang menghasilkan. Demikian pula suami yang merendahkan istri ketika menjalani perannya sebagai ibu rumah tangga, “Masa ngurusih dapur aja nggak becus, sih, aku kan sudah capek-capek cari uang!”, familiar, kan, dengan kasus seperti ini?
- Seseorang tidak bisa sama sekali menikmati hasil jerih payahnya karena iming-iming tanggung jawab keluarga. Padahal, tanggung jawab keluarga bisa dibagi rata saat suami dan istri sama-sama berpenghasilan, sehingga tidak terjadi berat sebelah.
- Adanya tuntutan yang berlebihan dari salah satu pihak. Misalnya, suami yang sudah lama bekerja, tidak diperbolehkan resign oleh istri demi anak dan keluarga, padahal selama ini pekerjaannya sudah sangat mengganggu kesehatan mental. Lebih parahnya lagi, istri melempar ancaman kalau suaminya berani resign.
Pada dasarnya, kesejahteraan keluarga terwujud ketika seluruh anggota keluarga bisa menikmatinya bersama. Kalau demi kesejahteraan, salah satu harus ada yang pincang, maka tujuan finansial keluarga tidak akan bisa tercapai. Demikian pula dengan kebiasaan berhemat demi mengumpulkan harta di masa depan. Semua akan jadi percuma kalau dana darurat tidak terlihat, alias hanya bisa diakses atas persetujuan salah satu anggota keluarga. Judulnya saja dana darurat, seharusnya siapapun dari anggota keluarga inti (suami, istri, dan anak), bisa menggunakannya di kala keadaan darurat.
Jadi, jangan pernah ragu ngomongin soal duit sama pasangan, ya, Mommies!
Image by pressfoto on Freepik
Baca juga:
Perjanjian Pisah Harta dalam Pernikahan, Perlukah?
Masalah Finansial Saat Bercerai dan Pernikahan Kedua
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS