Anak perlu belajar, bahwa ada, lho, hal-hal yang tidak boleh dijadikan bahan bercanda.
Makin besar usia anak, makin sulit buat orangtua memantau hal-hal yang ditonton, dibaca, didengar anak. Satu jam buka Youtube saja, anak bisa terseret ke video-video jokes yang awalnya mungkin lucu, tapi lama-lama, kok, ya, makin engga-engga. Sama halnya ketika bermain dengan teman-temannya di sekolah, ada kalanya beberapa hal dijadikan bahan bercanda padahal tidak boleh sebab tidak etis atau memang tidak sesuai pada tempatnya. Sebagai orangtua, yuk, sesegera mungkin bekali anak dengan rambu-rambu berikut ini, bahwa memang ada:
Ini orangtua yang baca pasti pada relate, nih! Soalnya dulu mainnya begini, ya? Hahaha! Kalau diingat-ingat, sih, ya, dulu nggak ada tuh yang baper-an, tapi bukan lantas bercandaan ini wajar, ya. Karena meski semua menganggap hal ini hanya bercanda, anak-anak dan teman-temannya rentan untuk membuat sebutan lain yang dekat dengan nama tersebut. Nah, kalau sebutannya sudah mengarah ke hal-hal negatif, jatuhnya, kan, jadi ejekan, bukan lagi candaan. Tenang, Nak, masih banyak, kok, hal lain yang bisa kalian tertawakan di luar nama orangtua kalian.
Sesuatu yang menyinggung suku, agama, dan ras antar golongan (SARA)
Kalau anak-anak sering mencermati poin yang tertera pada sebuah peraturan, misalnya saat ikut lomba, pasti salah satunya mengingatkan bahwa apapun materi/konten yang di-submit, tidak boleh menyinggung SARA. Belajar dari kasus trailer Little Mermaid yang muncul beberapa waktu lalu, yang kemudian dijadikan content oleh seorang pemuda Indonesia kemudian jadi viral. Pemuda tersebut mereka ulang reaksi para anak-anak di Amerika yang merasa relate dengan tokoh Little Mermaid terbaru. Namun, di kontennya, pemuda ini menggunakan masker wajah berwarna hitam. Langsung saat itu juga komentar berdatangan menyebut betapa anak ini tidak punya etika. Oleh karena itu, pastikan anak paham bahwa ada batasan terkait SARA, di mana kita tidak dapat sembarangan menjadikannya bahan bercanda. Tidak mau, kan, anak mengalami bully karena kesalahannya sendiri?
Mungkin dulu (bahkan sampai saat ini), kita seringkali santai saja saat mengucapkan kalimat, seperti, “Kamu tunggu di situ, samping ibu-ibu gendut yang lagi berdiri, ya!”, atau, “Ruangnya ada di belakang bapak-bapak yang item itu!” Memang, sih, terdengar sangat mudah untuk dijadikan arahan, tapi kita sesungguhnya sedang mengajarkan anak body shaming atau (skin) color shaming, yang mana ini juga masih ada hubungannya dengan SARA di poin sebelumnya. Sementara, bayangkan bagaimana perasaannya kalau subjek tersebut mendengar kalimat yang kita lontarkan. Paling gampang, tanyakan hal ini pada anak, “Kira-kira kalau kamu dijadikan subjek oleh orang lain tapi ditambah dengan deksripsi yang kamu sendiri nggak suka, gimana perasaanmu?”
Saking akrabnya, bukan tidak mungkin anak dan teman-temannya saling mengetahui status sosial bahkan pekerjaan orangtua masing-masing. Kalau selama ini anak terpupuk dengan pengertian bahwa ia harus bisa berteman dengan siapapun, tidak memandang status sosialnya, maka tidak akan sulit untuk mengingatkan anak bahwa temannya yang mungkin hanyalah anak seorang tukang ojek online berhak untuk punya tempat yang sama di sekolah. Karena pada dasarnya, perbedaan status sosial bukanlah tolok ukur dalam segala hal, termasuk dalam mendapatkan prestasi di sekolah. Mau kaya ataupun hidup serba pas-pasan, mau naik mobil Alphard atau diantar ojek, semua tetaplah murid ketika duduk di bangku sekolah.
Di samping hal-hal yang dijelaskan di atas, ada kalanya apapun yang maksudnya bercanda tidak bisa diterima oleh orang yang sedang dalam kesedihan. Misalnya selama ini terbiasa bercanda akan satu hal, candaan tersebut bisa menjadi bencana kalau salah satu pihak sedang dalam keadaan berduka. Maka penting untuk mengajarkan anak akan empati, supaya ia tahu kapan saat tepat untuk bercanda dan kapan saatnya harus menjaga sikap agar tidak menyakiti perasaan orang lain.
Image by cookie_studio on Freepik
Image by jcomp on Freepik