Sorry, we couldn't find any article matching ''
Saat Instagram Bertindak Melawan Predator Seksual
Setujukah Anda jika para predator seksual kita viralkan di Instagram? Tujuannya tentu saja supaya mereka mendapatkan hukuman yang tepat!
“Punten mau spill, yang mungkin kalian kira baik ternyata predator seksual. Mantan jendral fakultas, suka ngedeketin ade tingkat buat maksa vcs, kirim foto t***t, ngajak ke hotel (ditolak korban) dan manipulasi korban sampai berlangsung 2 tahun ++, sekarang korban depresi… ” begitu tulisan dalam sebuah screenshoot di akun @ipbanticabul, yang pada slide awal menampilkan foto terduga pelaku kekerasan seksual (KS).
Postingan pertama tersebut muncul di tanggal 3 September 2022. Sebelumnya, akun @unpadcabul juga merilis postingan sejenis. Tiga postingan berisi tiga wajah terduga pelaku KS di kampus, lengkap dengan nama dan fakultas. Akun tersebut kini sudah menghilang dari Instagram, meninggalkan rekaman screenshoot di Twitter.
Menyusul akun @undipcabul merilis postingan pertama, ditulis dengan model serupa, mempublikasikan foto terduga KS, dengan bukti surat pemberhentian dari jabatannya di BEM fakultas.
Keberadaan tiga akun pengungkap KS yang membawa nama kampus tersebut diikuti oleh kampus-kampus lain. Namun demikian, akun-akun lain postingannya masih bersifat ajakan kepada para korban untuk berani mengungkapkan kasus KS yang dialami, serta edukasi untuk berani melawan dan mengatakan tidak pada KS.
BACA JUGA: 15 Hal Tentang Kesehatan Seksual Yang Harus Diajarkan Pada Anak Remaja
Efek Positif dan Negatif DV
Keberadaan akun-akun tersebut merupakan fenomena digital vigilantism (DV) atau tindakan main hakim sendiri yang terjadi di internet. Digital vigilantism menjadi sarana pembalasan atas suatu tindak kejahatan. Tindakan ini termasuk ‘naming and shaming’ (penyebutan nama dan mempermalukan), melibatkan berbagi detail pribadi individu yang menjadi target dengan mempublikasikannya di internet atau media sosial (doxing).
Efek Positif
Sebagai sebuah gerakan, DV ini menarik. Ada efek positif dari DV yang bisa dirasakan, baik oleh pelaku dan juga masyarakat.
1. Memberi efek jera
Seperti yang ditulis dalam keterangan profil akun-akun anti cabul tersebut, tujuan mereka melakukan DV, antara lain, misalnya, memberi ‘sanksi sosial’, ‘melawan tindakan pelecehan seksual’, ‘basmi predator yang ada’, dan sebagainya.
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan di Jurnal Kriminologi Sage Journal tentang DV, tindakan naming and shaming ini boleh saja asal tergantung dari tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan. Sebanyak 75% mengatakan, kejahatan yang paling umum dianggap pantas untuk diumumkan namanya dan dipermalukan adalah penyerangan seksual.
Jadi, postingan berikutnya, foto siapa lagi nih yang bakal nongol di akun tersebut? Mau?
2. Memberi pressure bagi penegak hukum
DV terjadi sebagai bukti ketidakpercayaan pada hukum dan institusi. Di tahun 2017, Universitas Tulane di Louisiana, AS, pernah menggelar survei tentang kekerasan seksual. Survei ini berhasil menyadarkan para korban kekerasan seksual untuk berani bersuara. Beredarlah daftar nama-nama tersangka pelaku penyerang seksual yang belum diverifikasi ke seantero kampus. Banyak nama dalam daftar tersebut dirangkum dari akun instagram @boysbeware.tulane (yang kini postingannya sudah dihapus).
Akun Instagram tersebut berfungsi sebagai platform bagi mahasiswa Tulane untuk bisa secara anonim menceritakan pengalaman kekerasan seksual yang pernah dialami dan mengekspos para pelaku dalam upaya untuk menjaga agar tidak ada lagi korban berikutnya.
Meledaknya DV di Tulane ini muncul karena ada keengganan pihak kampus dalam menangani masalah KS dan menuntut pertanggung jawaban para pelaku. Hal yang sama juga terjadi di sini. Penegakan hukum terhadap kasus-kasus kekerasan seksual masih lemah sehingga tak sedikit korban yang akhirnya enggan untuk melapor.
Dengan cara mengekspos para pelaku di internet sehingga kasusnya menjadi sorotan publik, diharapkan bisa menekan penegak hukum untuk segera memproses kasus dan korban mendapatkan keadilan.
3. Norma yang berubah
Saat melapor semakin mudah, ruang gerak para predator seksual bisa semakin ditekan. Namun batasan-batasan juga semakin kabur. Pelecehan seksual spektrumnya luas. Sampai batas mana becandaan bisa dilaporkan? Pendekatan (pdkt) dengan lawan jenis (atau sejenis) disebut kebablasan? Sudah saatnya masyarakat kita memikirkan ulang tentang norma yang baru, yang lebih adil untuk kedua gender.
Efek Negatif
Meski punya efek positif, gerakan DV ini juga ada sisi negatifnya, lho!
1. Rawan fitnah
Mengingat sifatnya aduan, siapa pun bisa melapor, lantas bagaimana mekanisme verifikasinya? DV dapat dipicu oleh peredaran informasi yang salah maupun pemalsuan aduan untuk menjatuhkan pihak tertentu. Di era digital, semua serba bisa diedit. Bukan tidak mungkin bukti digital yang diajukan adalah materi editan. Bayangkan, apa yang terjadi jika nama yang dipajang sebetulnya adalah pihak yang tidak bersalah?
2. Merusak reputasi
Kembali ke ‘akun-akun cabul atau anti cabul’, publisitas foto tanpa menyebut tindak kejahatan yang dilakukan, bisa mengarah ke kerancuan tuduhan. Seberapa berat pelanggaran yang dilakukan? Apakah efek sosialnya setimpal dengan kejahatan yang dilakukan?
Mengingat beragamnya jenis pelecehan seksual, dari berupa siulan, main mata, komentar atau ucapan bernuansa seksual, mempertunjukkan materi-materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, sampai ke yang bentuknya serangan seksual dan kekerasan seksual.
3. Bumerang bagi pemilik akun
Risiko dalam mengungkap kejahatan seksual atau kriminal lainnya di ranah digital adalah pencemaran nama baik. Bukan tidak mungkin pemilik akun juga bisa dikenai pelanggaran hukum, dalam hal ini UU ITE.
4. Melanggar asas ‘praduga tak bersalah’
Dalam proses perkara pidana, dikenal namanya asas praduga tidak bersalah, ketentuan yang menganggap seseorang yang menjalani proses pemidanaan tetap tidak bersalah sehingga harus dihormati hak-haknya sebagai warga negara sampai ada putusan pengadilan negeri yang menyatakan kesalahannya. Digital vigilantism dengan mengekspos nama ini jelas melanggar asas ini.
Tahun lalu, pernah ramai akun instagram @aliskamugemash. Alih-alih memposting foto pelaku, akun ini lebih mengekspos modus dan kejahatan apa saja yang sudah dilakukan oleh pelaku, tetapi tetap melindungi identitas pelaku dengan menyebut inisialnya saja. Akun dengan follower sejumlah 29,6 ribu ini memberi ruang yang aman bagi korban untuk mengungkapkan cerita mereka dan menyebarkan kesadaran tentang kasus kejahatan seksual yang dilakukan pelaku.
BACA JUGA: Cara Memulihkan Mental Anak dan Orang Tua Korban Pelecehan Seksual, Penting Dilakukan!
Cover: Pexels
Share Article
COMMENTS