banner-detik
SELF

Dakwah Zavilda dan Etika Eksperimen Sosial Di Konten Youtube

author

Ficky Yusrini06 Sep 2022

Dakwah Zavilda dan Etika Eksperimen Sosial Di Konten Youtube

Dakwah Zavilda tentang kontroversi pemaksaan hijab. Sebenarnya bagaimana etika eksperimen sosial di konten youtube atau di media sosial lainnnya?

Di tepi Malioboro, seorang perempuan duduk sendiri, sibuk dengan handphone-nya. Datanglah perempuan lain, mengenakan kerudung hitam bertutup cadar, berkacamata hitam, outer hitam menjuntai dengan semburat blus merah muda, menghampiri si perempuan yang sedang duduk. Kemudian perempuan bercadar -yang kita tahu adalah host dan pembuat program kanal Youtube Zavilda TV- menawarkan kerudung kepada perempuan yang duduk. Perempuan itu mengenakan baju senada (atasan dan bawahan) yang ketat, dengan bawahan yang sangat pendek. Awalnya, perempuan pemakai rok pendek itu menolak, berdiri, pura-pura sibuk dengan handphone-nya dan buru-buru ingin menjauh. Adegan tak berhenti di situ, perempuan bercadar itu terus mengulang tawarannya berkali-kali. Adegan berikutnya, perempuan bercadar menanyakan agama, lantas berceramah bahwa busana tertutup adalah yang paling benar.

Video yang tayang di kanal Youtube Zavilda TV ini sempat menuai kecaman. Kontroversinya di mana? Ya, banyak sih. Hingga saat ini, konten video tersebut sudah diturunkan dari kanal Youtube, hanya saja kita masih bisa menyimak potongan-potongannya di Twitter. Sekilas menonton, bisa ditangkap ada unsur intimidasi, mempermalukan, belum lagi masalah agama dan Tuhan yang dibawa-bawa. Terlepas dari segala kontroversi itu, saya lebih tertarik menyoroti dari sisi eksperimen sosial. Terlebih lagi, yang bersangkutan mengusung tagline ‘Islamic Sosial Eksperimen’ di halaman muka kanalnya.

Photo by Satria SP on Unsplash

Consent itu penting

Bayangkan, si content creator itu mengambil setting di luar negeri, di Time Square, New York, misalnya. Kira-kira bakal seperti apa reaksi responden yang ditawar-tawarin kain hijab? Kemungkinan besar bakal ditimpuk, diteriakin, diomelin kata-kata kasar, kan? “Apa loe! Apa loe! Berani-beraninya!” Kira-kira begitu kali ngomongnya, dalam bahasa Inggris dialek AS. Masih beruntung kalau ‘cuma’ itu, responden bisa mencak-mencak masukin gugatan hukum. Apalagi sampai tayang di Youtube, urusan legalnya bisa panjang. Di situ ada unsur pencurian data pribadi dan hak publisitas karena video ditujukan untuk kanal Youtube yang di-monetize.

Ada baiknya, seorang content creator sensitif terhadap soal consent ini. Katakanlah, ini cuma settingan dan mbak baju seksi adalah temannya yang sedang memerankan sebuah skrip yang dibuat. Ia tidak keberatan tampil dan setuju dengan skripnya. Kalaupun si mbak consent dan surat persetujuan itu memang ada, tidak ada salahnya melampirkan disclaimer atau keterangan bahwa tayangan ini dibuat atas persetujuan responden. Tanpa disclaimer, penonton bisa berasumsi bahwa kejadian itu memang nyata, ada responden yang diintimidasi dan dipermalukan. Satu responden bisa mewakili etnis tertentu, agama, komunitas, gender, atau suatu kelompok yang bisa tersinggung dan terlukai oleh perlakuan host.

Zavilda TV, Mendidiknya di mana?

Baiklah, mungkin terlalu utopia jika berharap para content creator bisa menghasilkan konten berkualitas yang punya misi mendidik publik. Semakin populer seseorang, seharusnya diikuti dengan kesadaran akan besarnya tanggung jawab yang dipikul. Lewat karya, legacy seperti apa yang ingin dihasilkan? Okelah, jika mengatakan ini konten dakwah, beban ‘moral’nya jauh lebih berat lagi. Sudahkah para host dan kru konsisten menjalankan ajaran agama seperti yang disampaikan? Sudahkah sungguh-sungguh belajar ilmu agamanya? Apakah kontennya sudah mencerminkan nilai-nilai ajaran agama yang diusung? Apakah bisa disebut dakwah kalau mengandung unsur mempermalukan dan memaksa orang?

Sikap kita dalam mem-filter tontonan

Di saat semakin banyak orang yang bercita-cita jadi influencer, persaingan di kalangan content creator kian ketat. Sebetulnya, miris melihat content creator merebak secara kuantitas, tapi masih sangat jarang yang mampu menunjukkan kualitas. Lebih miris lagi, konten tidak bermutu ini mendapat viewer tinggi sehingga ia semakin termotivasi untuk tidak mau berpikir. Untuk itu, sebagai penonton, kita yang perlu mencerdaskan diri dalam mem-filter tontonan. Usahakan, ‘do not make stupid content famous’. Apa iya, konten seperti ini perlu kita ramaikan, yang ujung-ujungnya bikin namanya semakin terkenal. Mau isinya dakwah atau dugem, ya bebas-bebas aja sih. Ke depannya, memang perlu ada etika dan lebih ditertibkan lagi untuk konten yang keterlaluan: sampai merusak, merendahkan, mempermalukan, merugikan orang atau kelompok.

Share Article

author

Ficky Yusrini

-


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan