banner-detik
PARENTING & KIDS

7 Cara Membesarkan Anak Agar Kelak Menjadi Pekerja Tangguh

author

Sisca Christina07 Jul 2022

7 Cara Membesarkan Anak Agar Kelak Menjadi Pekerja Tangguh

Agar anak kelak menjadi pekerja tangguh, bukan belajar dari atasan atau teman sekerjanya nanti. Melainkan belajar dari kita, orang tuanya, mulai sekarang! 

Dalam pengasuhan, banyak banget life skill yang perlu kita bekali dalam diri anak. Ketika anak-anak sudah duduk di bangku sekolah, biasanya kita mulai bergulat dengan berbagai pikiran:

Bakal jadi apa, ya, anakku kelak dewasa?

Bisa berhasil nggak, ya, dia menggeluti profesi yang dia sukai nantinya?

Kira-kira anak bakal menjadi pekerja tangguh dan mampu mengatasi tekanan nggak, ya?

Sekilas keterampilan-keterampilan yang berguna buat diri anak saat bekerja nanti, tampak sulit buat diajari. Nggak seperti ngajarin anak untuk makan atau menali sepatu sendiri.

Padahal, kita juga juga wajib mengajarkan anak untuk bisa menyesuaikan diri dengan baik, berfungsi sebagai makhluk individu dan sosial, bertanggung jawab, mampu bekerja secara tim, punya keterampilan memimpin dan sebagainya. Kesemuanya itu berguna buat anak saat ia sudah harus mengemban tugas sebagai seorang profesional di masa depan.

Sejak kapan harus diajari? Sekarang!

Gimana ngajarinnya? Ada 7 cara hal yang dapat dilakukan orang tua, seperti berikut.

1. Berikan tugas dan tanggung jawab sedini mungkin, sesuai usia anak

Tak usah ragu mengajari anak menyimpan piring kotor di usia tiga tahun, mencuci piring di usia empat tahun, atau packing sendiri di usia 8 tahun saat ingin bepergian. Semakin dini anak bisa belajar untuk memegang tugas dan tanggung jawab, otomatis ia mendapat kesempatan belajar lebih banyak. Anak akan mampu belajar dari kesulitan, kegagalan, tantangan, proses hingga nantinya menikmati keberhasilan. Niscaya kemandirian dan keterampilan problem solving anak terbangun.

2. Jadi contoh bagaimana belajar dari kesalahan

Di dalam proses belajar, melakukan kesalahan itu lumrah. Bahkan kadang, kesalahan fatal bisa aja terjadi. Walau rasanya sudah sangat teliti dan hati-hati. Nyatanya, mistakes happen! Anak-anak nggak bisa diwejangi kata-kata petuah aja dalam proses belajar. Mereka perlu melihat lansung bagaimana orang tua bisa tulus mengakui kesalahan, memperbaikinya, dan terus belajar dari kesalahan tersebut. Menjadi panutan sebagai orang tua akan menentukan apakah anak akan bercita-cita menjadi pemimpin atau pengikut.

3. Lakukan aktivitas tim di rumah

Bisa dengan bermain musik bersama, board game atau permainan outdoor. Melalui permainan tim, anak-anak bisa belajar:

  • Memimpin, baik dari pemimpin grupnya atau ketika ia sendiri ditunjuk menjadi pemimpin tim.
  • Menjalankan perannya masing-masing.
  • Berpartisipasi aktif di dalam tim.
  • Berinteraksi dan mengenal karakter anggota lain.
  • Menghargai peran anggota lain.

4. Memberi dorongan dan pujian dengan tulus

Pastikan pujian diberikan karena anak layak mendapatkannya. Nggak pelit pujian atau malah mengumbarnya. Pujilah anak atas perilakunya, perubahan yang dia lakukan atau pencapaian atas sebuah proses. Contohnya:

“Bagus sekali kemarin kamu mencuci 2 piring sekarang tambah jadi 4 piring.”

“Terima kasih, ya, kali ini sudah bisa berusaha mengerjakan PR tanpa dibantu.”

Pujian bisa membantu mendorong anak untuk lebih semangat berupaya. Namun hindari pujian yang bersifat kosong atau terlalu lahiriah (misal memuji penampilan berlebihan), karena ini malah bisa berdampak negatif pada anak.

Baca juga: Ajarkan Anak Perempuan Agar Berani Bersuara

5. Bantu kembangkan kecerdasan emosional anak

Pemimpin tanpa kecerdasan emosi hanya bakal jadi bahan olok-olok di pekerjaan. Itulah mengapa ini jadi skill wajiib yang dimiliki pemimpin masa kini dan masa depan. Tentunya anak sangat berhak untuk merasa kecewa, sedih atau marah nantinya saat merasa diperlakukan tidak adil di pekerjaan. Namun yang nggak kalah penting, anak juga harus bisa mengelola perasaannya saat menghadapi kemelut di pekerjaan.

Secara konsisten memvalidasi perasaan anak, mendengarkan anak, mengajarkan anak untuk mengidentifikasi emosi hingga bagaimana menyalurkan dan mengatasi emosinya, bisa membuat anak merasa dihargai. Ini membantu anak untuk lebih cerdas secara emosi. Sehingga saat bekerja nanti, mereka tetap bisa bersikap profesional saat emosional sekalipun.

6. Mengajari anak menghadapi kesalahan, kekecewaan dan kegagalan

Saat menghadapi kegagalan, frustrasi jadi pilihan mudah. Tapi, justru kita nggak mau anak-anak jadi pribadi yang lekas frustrasi saat badai menghimpit. Sebaliknya, kita mau ajarkan anak untuk selalu bangkit saat entah sudah berapa kali jatuh. Berikan pengertian pada anak bahwa orang hebat bukanlah orang yang nggak pernah jatuh, melainkan orang yang selalu bangkit ketika jatuh. Inilah yang membentuk anak bisa menjadi pekerja tangguh.

Tekankan pada anak: “Percayalah, Nak, bahwa nggak ada di dunia ini yang serba instan. Untuk menuju kesuksesan butuh usaha dan upaya. Butuh cicipin rasanya gagal buat menuju berhasil. Perlu jatuh untuk tahu rasanya bangkit. Perlu kecewa untuk menikmati tawa dan sukacita. Tak perlu kecil hati saat melakukan kesalahan, boleh banget kecewa, gagal itu temannya usaha. Yang penting, ingat untuk bangkit. Ketahuilah bahwa Mark Zuckerberg, Steve Jobs, Elon Musk, Jack Ma hingga Kaesang Pangarep pasti pernah melalui semua itu.

Baca juga: Kenali Jenis-jenis Metode Pendidikan, Mana yang Paling Pas untuk Si Kecil?

7. Mendorong minat baca pada anak sekaligus menjadi role model

Harus diakui, ini nggak mudah. Sebab, mendorong minat baca pada anak di zaman digital ini berbenturan dengan tantangan minat anak yang sangat tinggi untuk menonton konten digital. Mau nggak mau, memang orang tua harus membatasi waktu screen time anak dan lebih banyak menyuguhi anak dengan bacaan bermutu. Nggak sekedar dongeng kancil dan kera. Tapi suguhi juga anak dengan buku biografi pemimpin dunia yang punya pengaruh besar, sehingga ada nilai jerih payah yang anak bisa petik dari buku yang ia baca.

Menurut Barry Zuckerman, profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Boston, anak-anak yang terpapar buku di usia muda lebih baik dalam beberapa tindakan. Mereka memiliki kosa kata yang lebih tinggi, melek huruf yang lebih tinggi, memperhatikan dan berkonsentrasi lebih baik, dan lebih siap untuk masuk ke sekolah. Nggak pernah terlalu dini untuk memberi bacaan yang berbobot bagi anak. Justru dengan begitu anak jadi terbiasa untuk hanya mau membaca bacaan bermutu saja.

Jadi, mulai sekarang, yuk, duduk di samping anak untuk baca buku bersama, bukan hanya main gadget bersama.

Sumber: 1

Baca juga: Tes Minat Bakat Anak, Seberapa Perlu? Ini Kata Psikolog  

Share Article

author

Sisca Christina

Ibu dua anak yang berprofesi sebagai digital nomad, yang juga suka menulis. Punya prinsip: antara mengasuh anak, bekerja dan melakukan hobi, harus seimbang.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan