Sekolah Kristen adalah sekolah yang saya pilih untuk menyekolahkan anak-anak saya yang beragama Islam. Mengapa? Ini alasannya.
Tulisan ini tidak berpihak pada salah satu sekolah atau agama tertentu. Hanya bercerita seputar pengalaman saya yang berstatus seorang Muslim, namun memutuskan untuk menyekolahkan dua anak perempuan saya di sekolah Kristen. Kindly open our mind for a while and respect the beauty of diversity.
Hal apa yang pertama kali Anda pikirkan saat memilih sekolah anak? Beberapa mungkin menjawab; biaya uang masuk yang sesuai bujet, pilih sekolah negeri atau swasta, jarak dari rumah ke sekolah, hingga memilih sekolah anak yang berbasis agama atau umum. Setidaknya poin itulah yang ada di benak saya dan suami 4 tahun lalu saat memilih sekolah anak.
Idealnya sebagai Muslim, saya memprioritaskan sekolah anak berbasis agama Muslim agar kelak anak saya menjadi anak soleha. Namun, pilihan saya dan suami jatuh pada sekolah Kristen. Mungkin beberapa dari Anda berpikir seperti orang tua saya.
“Loh, memangnya nggak ada sekolah Muslim atau sekolah umum yang bagus?” tanya orang tua saya.
Wajar saja jika mereka keberatan atas keputusan yang saya buat. Di area tempat saya tinggal, ada beberapa sekolah Muslim dan sekolah umum yang bagus, bahkan jaraknya lebih dekat dengan rumah. Tapi saya tidak sreg dengan komunitasnya atau metode pengajarannya.
Sederet pertanyaan pun dilontarkan, seperti:
“Lalu, kenapa pilih sekolah non-muslim? Nanti gimana kalau anak kamu pindah agama? Anak adalah amanah yang harus dibina sesuai ajaran agama,” protes orang tua saya.
Untuk pertanyaan ini, beragam diskusi dan penjelasan saya lontarkan tidak hanya ke orang tua, namun juga ke beberapa kerabat yang menganggap keputusan saya dan suami di luar kebiasaan. Kurang lebih seperti inilah penjelasan yang paling sering saya utarakan.
“Saya ingin anak-anak belajar bertoleransi, memahami dan menghargai perbedaan yang ada di dalam lingkungan.”
Baca juga:
Ajarkan Anak Menerima Perbedaan Dalam Dirinya
Alasannya sederhana, kami tinggal di komplek perumahan di mana hampir tidak ada anak-anak seusia anak saya yang bermain di sore hari. Perubahan lingkungan yang cenderung individualis membuat saya berpikir, “Jika anak saya selalu bermain dengan lingkungan homogen bagaimana nanti saat mereka dewasa menerima lingkungan heterogen.”
Beberapa kerabat yang berselisih paham berkata, “Nanti kalau sudah besar mereka juga ngerti sendiri.”
Harapan ideal setiap orang tua memang demikian, namun bagi saya dan suami, alangkah indahnya jika kami memberikan pengertian akan perbedaan sejak dini.
Lalu, bagaimana “nasib” anak saya di sekolah Kristen? Saya coba rangkum beberapa pertanyaan yang sering kali dilontarkan kepada saya dan suami.
“Di surat pernyataan sekolah, anak saya diwajibkan untuk mengikuti segala kegiatan yang berhubungan dengan pendalaman agama Kristen. Sejauh ini mereka mengikuti dan memahami perbedaan dengan baik.”
“Saya mengajarkan doa-doa pendek dan membiasakan anak-anak untuk melafalkan doa-doa harian di rumah, seperti doa sebelum makan dan sebelum tidur. Setiap Senin, Rabu, dan Jumat, anak saya pergi ke masjid untuk mengikuti sekolah mengaji di mana kurikulum dan materi yang diajarkan resmi dari Departemen Agama.”
“Sejauh ini mereka hapal dan memahami perbedaan cara berdoa di sekolah dan di rumah. Saya selalu memberikan pengertian pada anak-anak, bahwa doa apa pun bahasanya (baik Bahasa Indonesia atau Bahasa Arab) memiliki niat baik. Jadi berdoalah dengan hikmat.”
“Ya, bahkan beberapa teman dan gurunya memberikan semangat agar anak saya kuat berpuasa. Tidak ada perlakuan khusus atau pengecualian. Bahkan tidak ada pengurangan jam belajar. Bagi saya, inilah proses agar anak saya terlatih untuk berjuang.”
“Selain Hindu, Buddha, dan Konghucu, ada beberapa siswa yang beragama Muslim di sekolah tersebut. Bahagia karena ternyata ada banyak orang tua yang sepaham dengan saya.”
Memilih sekolah anak memang penuh pertimbangan apalagi menyangkut pendidikan dasar yang notabene sebagai “bekal” pembentukan anak. Penting diingat bahwa apa pun poin yang Anda cari saat memilih sekolah anak, pastikan hubungan Anda dan sekolah bukanlah hubungan penjual-pembeli, di mana Anda “terima beres” karena merasa telah membayar. Karena alangkah baiknya jika “bekal” pembentukan anak berupa sinergi harmonis antara pendidikan di sekolah dan pendidikan di rumah yang diajarkan oleh keluarga dan peran Anda sebagai orang tua.
Baca juga:
Cari Sekolah Sesuai Keinginan Orangtua atau Sesuai Gaya Belajar Anak?
Ditulis oleh: Tenny Rosyaria