Kartini: Habis Gelap Terbitlah Terang Perempuan Indonesia

MD Powerful People

Mommies Daily・21 Apr 2022

detail-thumb

Kegelapan adalah masa-masa perempuan Indonesia menjalani hidup seperti Kartini. Terang adalah perempuan Indonesia berada di tempat yang ia kehendaki.

Ditulis oleh: Gita Damayana

“Aku harus pulang ke Kendari nih, suami dan anak-anakku masuk rumah sakit”

Pesan singkat itu datang di Whatsapp grup kelompok awardees Australian Awards Scholarship (AAS) beberapa minggu lalu. Penerima beasiswa AAS berasal dari Banda Aceh, Surabaya, Atambua, Tual sampai Jakarta. Kami semua mengikuti kelas English for Academic Purposes (EAP) serta kelas-kelas persiapan lainnya dalam program Pre Departure Training (PDT) selama 9 minggu di Indonesia Australia Language Foundation (IALF) Bali. Berada di tanah rantau, meski masih di negeri sendiri, selama berminggu-minggu bukanlah hal mudah, apalagi bagi yang sudah berkeluarga, meski tetap ada yang memboyong keluarga ke Denpasar. Merupakan pemandangan biasa di kantin IALF para ayah dan ibu sibuk dengan handphone-nya masing-masing melakukan video call dengan keluarganya di tanah seberang.

Tapi nyaris di rumah tangga manapun, beban pengelolaan domestik ada di pundak ibu. Para awardees yang sudah menjadi ibu berusaha sebaik mungkin menjalankan peran mereka meski berada jauh dari keluarga. Ada yang menggunakan aplikasi untuk menangani kebutuhan sehari-hari keluarganya di Jakarta, dari mulai membeli beras sampai kebutuhan sekolah anak. Yang mengundang tawa mungkin teman yang memesankan ojek online untuk anggota keluarganya di Sulawesi padahal saat itu ia masih berada di Denpasar.

Image dari sini

Baca juga: 5 Kartini Muda Masa Kini yang Layak Jadi Inspirasi Remaja

Jatuh bangunnya perempuan dalam menuntut ilmu mungkin sesuatu yang sudah diprediksi oleh Kartini yang hari lahirnya kita peringati di bulan April ini. Kira-kira apa komentar Kartini melihat perempuan yang menjalankan peran (sebagian menyebutnya beban) domestik dan profesional sambil tetap berusaha menuntut ilmu? Apakah Kartini melihatnya sebagai sebuah kemajuan atau justru melanggar kodrat mengingat mengejar ilmu tersebut ada konsekuensi meninggalkan keluarga?

Argumentasi mengenai perempuan dan kodratnya sebagai ibu acapkali menjadi wacana dominan. Sebagai sesama ibu, sulit untuk tidak terharu melihar bagaimana melihat sesama awardees berusaha menjalankan perannya sebagai ibu sambil dengan tekun mengikuti agenda PDT mengangkat diskusi baru tentang pergulatan peran ibu. Seorang awardees yang kebetulan orangtua tunggal terpaksa harus mengorbankan kelas karena harus menghadiri agenda sekolah anaknya. Rekan saya yang pulang ke Kendari mengikuti kegiatan PDT dari kamar rumah sakit sambil mendampingi putranya yang sedang dirawat. Atau awardees lain yang sadar jam biologisnya terus berdetak sementara ia dan suaminya sedang berusaha memiliki anak di saat yang bersamaan dengan studinya kelak.

Tantangan-tantangan ini belum ada saat Kartini berkorespondensi dengan Stella Zeehalander dan pasangan suami istri Abendanon. Korespondensi tersebut masih berkisar pada tantangan perempuan Jawa di awal abad 20 dan betapa pendidikan merupakan jawaban akan hal tersebut. Sekarang, dengan adanya segelintir perempuan Indonesia, yang bergulat dengan perannya sebagai ibu dan cita-citanya untuk menempuh pendidikan tinggi, apakah harapan Kartini sudah terwujud? Perempuan penerima awardees berbagi cita-cita yang sama dengan Kartini; yaitu peran mereka tidak terbatas di ranah domestik sehingga membutuhkan pendidikan lebih tinggi lagi. Keinginan Kartini untuk sekolah lagi ke Belanda, coba dinetralisir dengan mengarahkannya ke Jakarta dan kemudian meredup lagi dengan statusnya sebagai istri ketiga Bupati Rembang.

Bila memeriksa lebih jauh, sebetulnya perempuan-perempuan awardees seperti menambahkan kompleksitas hidup. Persepsi publik adalah semakin terdidik seorang perempuan, semakin sulit dirinya menemukan pasangan hidup. Bagi awardees yang sudah berkeluarga, lanjut kuliah lagi memberikan tekanan tersendiri ke kehidupan rumah tangga. Tapi apakah sah kita menahan perempuan-perempuan, apapun statusnya, yang ingin berkuliah lagi dengan dasar apapun? Setiap orang yang ingin kuliah, entah S1, S2, S3, pasti merasakan cahaya dalam dirinya yang nyaris tak mungkin dipadamkan. Cahaya itulah yang membawa mereka dengan tekun mempersiapkan diri untuk ujian masuk; gugup menjelang wawancara hingga bangkit lagi sesudah penolakan dan bersiap untuk seleksi beasiswa tahun berikutnya.

Menurut hemat saya, di sinilah Kartini hadir bagi perempuan Indonesia yang ingin menempuh pendidikan lebih tinggi. Jauh melewati gagasannya tentang menyekolahkan perempuan Jawa, cerita hidup Kartini memberi pesan agar menjalani cita-cita pendidikan tanpa kompromi. Kartini berkompromi dan tunduk pada pesan untuk menanggalkan cita-cita belajar ke Belanda dan cukup di Jakarta. Meski berhasil mendirikan sekolah untuk anak perempuan, cita-cita Kartini belajar ke Jakarta tak pernah terwujud. Akhirnya Kartini terbelenggu dalam poligami dan mati muda di usia 25 tahun.

Habis gelap terbitlah terang. Kegelapan adalah masa-masa perempuan Indonesia menjalani hidup seperti Kartini, pasrah menikahi lelaki yang tidak ia kehendaki, cita-cita belajar pupus dan meninggal karena melahirkan. Terang adalah perempuan Indonesia berada di tempat yang ia kehendaki; entah menambah rejeki keluarga sebagai driver ojol atau mencari ilmu di rantau.

Selamat Hari Kartini, perempuan Indonesia

Baca juga: Hari Kartini dan Resolusi Digital