banner-detik
#MOMMIESWORKINGIT

Tita Djumaryo: Keterlibatan Perempuan dalam Dunia Kerja Menjadi Tanggung Jawab Kita Juga

author

Dhevita Wulandari07 Apr 2022

Tita Djumaryo: Keterlibatan Perempuan dalam Dunia Kerja Menjadi Tanggung Jawab Kita Juga

Berawal dari dukungan sang ayah pada bakat seninya, Tita Djumaryo ciptakan wadah kerja untuk perempuan yang bergerak dalam bidang seni dan industri kreatif.

Mendirikan Ganara Art sebagai tempat untuk mengembangkan seni dan kreativitas bagi siapapun mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, Tita Djumaryo, Founder and Art Director Ganara Art ingin mengajak para orangtua dalam memahami pentingnya seni untuk melahirkan anak-anak yang kreatif. Tidak hanya itu, ia juga aktif dalam upaya memberdayakan perempuan.

Bersama Mommies Daily, Tita Djumaryo turut membagikan ceritanya. Simak selengkapnya di sini ya, Mommies.

Bagaimana awalnya bisa menyukai seni? Apakah seni sudah menjadi cita-cita seorang Tita Djumaryo sejak kecil?

Aku memang sudah suka gambar-gambar dari sebelum umur 4 tahun. Dan kebetulan almarhum bapakku, Bapak Djumaryo adalah seorang wartawan seni di DiAntara dan salah satu pendiri majalah Asri, majalah interior pertama di Indonesia. Jadi memang aku sudah familiar dengan hal-hal yang berbau seni dan desain dari kecil.

Aku juga ingat banget, aku pernah dibawa sama bapakku ke kantornya. Dan di sana ada rekan kerjanya yang lagi hamil. Saat itu aku amaze banget, and I think she’s very pretty. Pulang ke rumah, aku langsung gambar ibu hamil di tembok rumah sampai naik ke kursi dan ke atas piano.

Nah, biasanya kalau orangtua lain pasti marah temboknya digambar-gambar. Tapi bapakku tuh enggak. Bapakku ngelihatin satu-satu dan bilang kalau gambarku detail dan lain-lain. Beliau juga bilang, “Kamu nanti gedenya harus jadi seniman ya, gambarnya bagus banget.”

Jadi karena itulah dari kecil aku sudah tahu kalau besar nanti aku harus jadi seniman. Mulai dari validasi hal yang aku suka, dari kecil bapak sudah mengajarkan bahwa seniman itu profesi. Begitu aku ketahuan bisa gambar, dari umur 5 tahun aku sudah ikut les gambar, les lukis, dan berganti-ganti guru.

Jadi ibaratnya, kalau aku sudah bisa gambar binatang, aku ganti les lagi dengan guru yang keahliannya berbeda. Dan itu terus berlanjut hingga ketika aku berumur 12 tahun, aku sekeluarga pergi ke Bandung dan ketemu teman bapak yaitu almarhum Om Jeihan Sukmantoro, yang ternyata rumahnya besar.

Saat itu bapakku bilang, “Tita lihat deh, ini rumahnya Om Jeihan bagus banget ya? Tau gak? Om Jehan beli rumah ini cuma dengan jual 2 lukisan lho.”

Kalau dipikir-dipikir sekarang ya nggak mungkin cuma jual 2 lukisan ya, hehe. Tapi aku pada saat itu seperti yang, “Wah keren banget!” 

Aku juga sejak SMA sudah dikenalkan dengan para mentor yang benar-benar mengasah keahlianku menggambar dan melukis. Yang akhirnya membuat mimpi aku dan almarhum bapakku untuk bisa melanjutkan pendidikan seni terjadi adalah saat aku diterima kuliah di ITB Seni Rupa. Aku masuk ke Seni Murni dan mengambil Seni Lukis.

Tapi sayangnya, 2 minggu setelah aku diterima, bapak meninggal. Dari setelah itu, aku mendedikasikan semua karyaku selama aku kuliah sampai tugas akhir untuk bapak. Karena kalau di ITB Seni Rupa tugas akhirnya bukan skripsi, tapi membuat karya.

Aku juga melihat dorongan bapak dan mama yang saat itu sering meminta aku menemani bapak ke pameran-pameran membuat aku jadi dapat kesempatan untuk menambah banyak networking, dan memahami bagaimana proses atau cara mengadakan pameran dari awal sampai akhir yang bahkan tidak diajarkan di kampus.

BACA JUGA: 7 Perusahaan di Indonesia yang Menerapkan Kesetaraan Gender

tita djumaryo

Foto: Dok. Tita Djumaryo

Mendirikan Ganara Art sebagai tempat berkarya melalui seni, boleh diceritakan mengenai awal inspirasi dan idenya, serta apa yang membuat Tita Djumaryo mengambil langkah ini?

Saat itu aku sedang apply sekolah (playgroup) multinasional untuk anak pertamaku, Gadra. Kemudian aku ditanya pekerjaanku apa oleh orang yang mewawancara. Aku bilang aku seniman. Setelah itu aku ditanya lagi, “Mau nggak, jadi guru lukis di sini?”

Akhirnya aku terima dan mengajar 2 kali seminggu, sambil anakku juga bersekolah di situ. Dan beberapa waktu kemudian, aku hamil anak keduaku, Nalagra. Ketika hamil anak kedua ini, aku merasa menemukan passion dalam mengajar. Karena aku merasa bahagia saat mengajar, melihat anak-anak finding out new things dari yang aku ajarkan. Aku mengajar di sekolah tersebut sekitar 5 tahun dan belajar banyak.

Sampai pada suatu hari, aku dan suami, Ranald Indra, merasa butuh lebih dari sekadar kelas lukis dan masih banyak lagi art yang bisa kita explore. Pertama kali, akhirnya kita bikin art playdate. Jadi kegiatannya ada cooking, painting, dan art and craft. Saat itu, belum ada bikin kegiatan seperti itu. 

Ganara berdiri saat aku melahirkan anak ketiga, Ralanggana. Jadi Ganara itu adalah singkatan dari ketiga anak kita, Gadra, Nalagra, dan Ralanggana. Setelah ada Ralanggana, kita berpikir kita butuh space untuk anak-anak dan kebetulan dapat kesempatan dari kerabat untuk buka tempat di daerah Prapanca. Yang berawal dari rumah biasa, lalu kita bikin kelas-kelas, playdate, dan lain-lain. 

Aku dan suami juga melihat kesempatan ini untuk bisa explore kreativitas anak-anak dengan lebih baik lagi. Kita juga melihat, seandainya kalau banyak orangtua yang paham seni pasti akan banyak sekali terlahir anak-anak yang kreatif. Ini juga akan mengubah mindset para orangtua dalam melihat seni. 

Dengan adanya Ganara, kami berharap dapat menjadi pondasi untuk mengubah Indonesia dalam bidang seni. Maka dari itu, setahun setelah Ganara berdiri, kami menginisiasi program sosial bernama “Mari Berbagi Seni” yang bertujuan agar pendidikan seni seharusnya menjadi hak bagi semua anak di Indonesia.

Kami menyisihkan sebagian dari penghasilan Ganara untuk membuat kegiatan bagi anak-anak pasien kanker, anak-anak jalanan, anak-anak panti asuhan, anak-anak pelosok terutama Maluku, dan untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus. Setelah berjalan, Mari Berbagai Seni sekarang sudah menjadi yayasan dan mendapatkan dukungan brand dari dalam dan luar negeri untuk menjalankan beragam kegiatan kreatif untuk anak-anak.

Foto: Dok. Tita Djumaryo

Apa tantangan yang paling besar dalam mendirikan Ganara Art?

Sampai saat ini tantangan terbesarnya adalah bagaimana kita bisa mengikuti ritme dalam menyeimbangkan perkembangan yang cepat di Indonesia dan dunia yang sangat fluktuatif belakangan ini. Dari human resources juga seharusnya kita bisa lebih empowering. Sehingga, tantangan terbesarnya juga termasuk bagaimana membuat seni ini menjadi impian semua orang yang ada di Ganara, termasuk staf-staf.

Mulai dari 2020, Ganara mulai bergerak dalam gender equality. Mendorong keterlibatan perempuan dalam dunia kerja menjadi kewajiban kita juga, apalagi aku juga sebagai founder yang adalah seorang perempuan. 

Di dunia kerja perempuan seringkali memiliki kendala, misalnya ketika punya anak. Sehingga menciptakan ruang untuk mereka (para ibu) tetap bisa berkarya itu penting. Karena ini juga yang terjadi sama aku. Meski aku bekerja dengan suami dan ada dukungan yang kuat dari suami, mama, dan keluarga, tapi aku merasa bahwa menciptakan wadah kerjanya itu juga sama pentingnya, terutama wadah kerja untuk perempuan yang bergerak dalam bidang seni dan industri kreatif. 

Foto: Dok. Tita Djumaryo

Menurut Tita Djumaryo, apa tantangan bekerja bersama suami?

Ada masa-masanya aku merasa beruntung banget karena menemukan partner yang bukan hanya dalam pernikahan tapi juga dalam pekerjaan yang punya visi misi yang sama. Kita tuh kayak finish each other’s sentences (pasangan yang memiliki pikiran dan ide yang sama) dalam mengatur segala sesuatu. Sehingga, kita saling melengkapi. Contohnya dalam pengaturan relaunching Rumah Wijaya dan Ganara Art akhir Maret 2022 lalu, Mas Ranald pasti selalu tanya dan diskusi lebih baiknya bagaimana untuk semua hal.

Tapi ada kalanya juga merasa capek di kerjaan, jadi pingin curhat dan ngeluh ke suami. Nah, karena suamiku adalah partner kerjaku, jadi yang aku dapat biasanya tuh solusi pekerjaan. Padahal sebenarnya yang aku pingin bukan itu. Di sini batasan partner kerja dan suami jadi blur, dan ini menurutku terjadi sama banyak pasangan yang memang kerja bareng. Jadi kalau aku, kuncinya adalah di komunikasi agar tetap seimbang antara bisnis dan hubungan.

Aku juga mau menambahkan sedikit dan mungkin banyak yang belum tahu. Di awal kita mendirikan Ganara dan meeting sama partner bisnis, Mas Ranald selalu memperkenalkan aku sebagai partner dan istrinya. Tapi setelah itu orang-orang jadi nggak ngomong lagi sama aku, dan hanya ngomong sama Mas Ranald. Ini terjadi beberapa kali dan cukup sering. Sampai akhirnya Mas Ranald bilang, “Next time kita kenalannya sebagai partner aja deh, nggak usah bilang suami istri. Coba kita lihat deh gimana.”

Setelah perkenalannya bilang partner tanpa embel-embel suami istri, orang-orang jadi berubah dan lebih menghormati. Mas Ranald juga nggak ada masalah dengan hal itu, karena dia lebih suka di belakang layar dibanding ngomong di depan banyak orang. Biasanya kalau seperti itu, aku yang akan step up dan ngomong tentang bagaimana kerjasamanya. Dari situ akhirnya Mas Ranald lebih mendampingi saja, dan itu bagi dia nggak apa-apa karena memang dia lebih ke operasional.

Kenapa aku cerita ini di sini, karena aku merasa nggak semua suami atau laki-laki seperti itu (mendukung istrinya untuk maju dan bangga pada istrinya). Inilah yang akhirnya aku ajarkan juga ke ketiga anakku, apalagi mereka semuanya laki-laki.

BACA JUGA: Pesan untuk Para Pemimpin Perusahaan: Ciptakan Kesetaraan di Tempat Kerja dengan 17 Cara Ini!

Foto: Dok. Tita Djumaryo

Apa yang dilakukan ketika sedang ingin me time?

Sebelum pandemi di awal 2020, me time aku biasanya lari di jogging track di halaman belakang rumahku. Dan aku tahan banget lari sampai 30 menit muter-muter di situ aja dengan speed yang cukup cepat.

Unfortunately, bulan Juli 2021 kemarin aku kena Covid varian Delta. Nah, setelah itu aku nggak bisa lari. Aku juga kena long covid. Jadi sesudah sembuh sekitar 2 bulan pun recovery dan napas tuh susah banget. Aku juga baru sadar cara napasku berubah waktu relaunching Rumah Wijaya dan Ganara Art karena harus naik turun tangga dan banyak wawancara, napasku jadi ngos-ngosan banget.

Padahal dulu (sebelum Covid) aku kuat-kuat aja. Jadi memang pengaruh banget ke pernapasan. Cuma sekarang aku sudah mulai biasain jalan, karena belum bisa lari, sambil dengerin lagu BTS yang menurutku sangat membantu banget untuk membuat aku mengerjakan hal-hal yang aku suka. 

tita djumaryo

Foto: Dok. Tita Djumaryo

Adakah tips dari Tita Djumaryo untuk para Mommies di luar sana dalam mengejar dan mewujudkan cita-citanya meski sudah menjadi seorang ibu?

Tips dari aku, coba find the balance dulu. Misal, ketika membangun bisnis sendiri atau mengejar cita-cita tapi juga harus menjaga anak dan keluarga, tentu ada hal-hal yang harus disesuaikan. Jadi life balance itu penting, yang pertama adalah partner. Apakah partner kita bisa support kita? Kalau di aku, pada dasarnya Mas Ranald dari dulu selalu mendukung dan selalu bantu ketika aku pameran tunggal.

Kalau kita merasa mimpi kita punya dorongan yang kuat banget dan kita tahu kalau kita bisa, tentu ini harus didiskusikan karena ini menjadi mimpi bersama (dengan suami), nggak bisa jadi mimpi istrinya aja. 

Kenapa gitu? Karena, misalkan aku, sepanjang 2018-2019 aku sering banget ke luar kota untuk mengajar dan kasih pelatihan mewakili Ganara Mari Berbagi Seni yang sudah reach out lebih dari 25 kota di seluruh Indonesia. Selama aku bepergian, semua berjalan lancar karena suamiku aktif untuk mengurus anak-anak. Suamiku juga bahkan take over di grup-grup WhatsApp sekolah anakku dan minta aku untuk nggak usah ada di grup biar aku nggak ribet. 

Dia (suami) tidak memandang menjaga anak itu kewajiban siapa. Karena anaknya adalah anak kita berdua, yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab kita berdua.

Jadi find the balance maksud aku tuh gitu, find the right parner. Dan kalau pun nanti bikin bisnis, business partner juga harus paham bahwa you are first a mother, you’re family still comes first. Jadi kalau mimpi yang mau dikejar, ber-partner dengan orang yang salah juga jadi nggak terwujud. 

Suami atau partner juga nggak boleh sugar coat atau di awal-awal bilang bisa mendukung kita. Kita juga harus bisa lihat, berapa anak yang kita punya, bagaimana alokasi waktu untuk anak. Ini semua harus jadi pertimbangan karena seringkali tidak dipikirkan oleh banyak orang yang mau memulai bisnis atau mengejar mimpinya karena terlalu excited.

Berdasarkan pengalamanku di awal-awal ada Ganara, tidak dipungkiri aku juga “terjun bebas” dalam mengurus anak dan bekerja di weekdays dan weekend. Ibaratnya, selama beberapa tahun aku kerja nggak ada liburnya. Dan ini pasti juga berdampak ke anak-anak.

Jadi penting sekali untuk menemukan balance-nya.

BACA JUGA: 9 Alasan Punya Atasan Perempuan Lebih Menyenangkan, Termasuk Lebih Berempati

Cover image: Dok. Tita Djumaryo

Share Article

author

Dhevita Wulandari

-


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan