Pendidikan Seks, Saatnya Orang Tua Buka-Bukaan

Kids

Ficky Yusrini・13 Dec 2021

detail-thumb

Mencegah kejahatan seksual sejak dini, mulai dari rumah salah satunya dengan pendidikan seks secara terbuka dan terang-terangan.

Kasus-kasus kejahatan seksual semakin banyak terungkap. Beruntun, geger guru ngaji di Bandung yang menghamili 12 santri. Kasus serupa terjadi juga di Tasikmalaya, pelaku merupakah guru sekaligus pengasuh pondok pesantren, dengan korban usia SMP dan SMA. Di Cilacap, sebanyak 15 siswi SD menjadi korban perkosaan guru agama. Kasus yang membuat geram se-Indonesia, sebab kejahatan itu terjadi di tempat yang dianggap aman, institusi pendidikan agama. Dilakukan oleh sosok yang disakralkan, dalam hal ini guru agama.

Semarah apa pun kita dengan kasus ini, kejahatan seksual akan terus saja terjadi selama pendidikan seks masih dipandang tabu untuk dibicarakan di sekolah dan di rumah oleh para orang tua. Jika terus dibiarkan, anak-anak kita tumbuh dalam dunia yang tidak aman. Diam-diam, predator itu bebas berkeliaran bersalut jubah pelindung.

Baca juga: Begini Seharusnya Pendidikan Seks di Indonesia

Pendidikan Seks Sejak Dini

Masih ada kesan, pendidikan seks selama ini identik dengan seks dan pornografi sehingga perlu ditunda. Akibatnya, anak-anak justru mendapat informasi tentang seks dari teman sebaya dan internet. Menurut Guno Asmoro dalam bukunya Sex Education for Kids, kejahatan seksual yang menimpa anak karena anak tidak memiliki bekal pengetahuan yang bisa membuat anak mengantisipasi berbagai kemungkinan perlakuan buruk masalah seks. Tanpa pengetahuan yang memadai, anak dengan mudah dijadikan korban oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, pendidikan seks juga mencegah anak menjadi pelaku dari kejahatan disebabkan adanya kelainan seksual.

Pendidikan seks perlu diberikan sejak dini, sesuai tahapan perkembangan dan usia anak. Dalam penelitian yang dilakukan Nhimas Ajeng Putri Aji, dari Program Studi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana, pada usia dini, misalnya, anak diajarkan mengenalkan bagian – bagian tubuh dengan benar tanpa menyamarkan, mengajarkan bagian-bagian tubuh yang tidak boleh disentuh orang lain, menanamkan rasa malu, dan mengajarkan berpakaian yang sopan.

Beranjak usia praremaja, pendidikan seks mencakup perkembangan remaja, anatomi tubuh, kesehatan reproduksi, pubertas, menstruasi, masturbasi, orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender, dan sebagainya.

Baca juga: Ngobrol Tentang Pendidikan Seks Sesuai Usia Si Kecil

Photo by ergonofis on Unsplash

Sex Talk dan Age of Consent

Sejak kecil, anak-anak sudah terpapar tayangan yang menggambarkan orang berciuman, pacaran, sampai yang bermuatan pornografi. Mereka membutuhkan edukasi tentang apa yang mereka lihat dari layar gadget, alih-alih sekadar menutupi, melarang, dan menghukum apa pun yang berbau seks.

Swati Jagdish, seorang Certified Sex Educator asal India, yang aktif memberikan edukasi untuk para orang tua lewat akun IGnya @mayas_amma, mengatakan, ‘norma sosial’ juga bagian dari pendidikan seks. Ini karena negara-negara tertentu memiliki aturan berbeda, misalnya, di banyak negara Eropa, age of consent adalah 14 tahun. Sedangkan, di Indonesia age of consent-nya 16 tahun.

Age of consent adalah usia yang ditetapkan, seseorang sudah dianggap kompeten secara hukum untuk menyetujui hubungan romantis atau aktivitas seksual dalam hubungan tersebut.

Di usia remaja, anak mulai punya ketertarikan pada lawan jenis. Sudah saatnya orang tua lebih terbuka membicarakan bagaimana serba serbi berelasi dengan lawan jenis dalam konteks ketertarikan atau hubungan asmara. Bagaimana mengajak bicara lawan jenis, bagaimana menjawab saat ada teman yang mengatakan suka. Aturan main seperti apa yang perlu diterapkan dalam berkencan. Lalu, tentang perilaku seks, hayo…sejauh mana orang tua mau buka-bukaan membicarakannya?

Dalam konteks ‘consent’, anak perlu tahu haknya atas tubuh mereka. Misalnya, dengan menyampaikan, “Jangan biarkan seseorang menyentuh tubuhmu tanpa seizinmu. Kamu punya hak untuk mengatakan tidak. Dan sebaliknya, kamu juga tidak boleh menyentuh orang lain tanpa seizin mereka.”

Pendidikan seks adalah juga pemahaman tentang konsekuensi, apa saja yang akan terjadi jika melakukan hubungan seks di usia remaja dan bagaimana menghindari risiko yang tidak diinginkan. Risiko seperti kehamilan, penyakit menular seksual, maupun ketidaksiapan mental akan tanggung jawab yang menyertai.

Baca juga: 10 Pertanyaan Tentang Seks yang Paling Sering ditanyakan Anak dan Cara Menjawabnya

Pesan untuk Anak Lelaki

Swati berpendapat, pendidikan seks untuk anak lelaki seharusnya sama dengan anak perempuan. Anak lelaki juga harus mengenali anatomi tubuh perempuan dan kesehatan reproduksi. Dengan begitu, ia melihat tubuh perempuan sebagai manusia, bukan sebagai objek kesenangan. Terlahir sebagai lelaki, bukan berarti terlahir sebagai ‘predator seks’. “Beberapa dari mereka menjadi jahat karena tidak dididik dan diberdayakan untuk merasa setara dengan jenis kelamin lain. Kapan waktu yang tepat untuk menyadarkan para lelaki? Sedini mungkin.” Meminjam tulisan menarik Swati di @mayas_amma:

Bukankah kita membutuhkan anak laki-laki kita untuk memahami menstruasi?

Memahami mereka pernah berada di rahim ibu mereka?

Bahwa mereka keluar melalui perut atau vagina ibunya?

Bukankah pemahaman mereka tentang tubuh dan proses tubuh perempuan akan membuat mereka lebih hormat dan bertanggung jawab?

Bukankah itu akan membantu mereka melihat seorang perempuan sebagai manusia dan bukan sebagai objek kesenangan atau kekuasaan?

Tidak bisakah kita mengurangi semua kekerasan berbasis gender dan objektifikasi seksual ini jika kita melakukan percakapan jujur terbuka dengan anak laki-laki kita?