banner-detik
SELF

Ketika Mental Health Issue Jadi Alasan Tidak Perform. Kapan Sebenarnya Kita Mengalami Gangguan Mental?

author

dewdew13 Dec 2021

Ketika Mental Health Issue Jadi Alasan Tidak Perform. Kapan Sebenarnya Kita Mengalami Gangguan Mental?

2 tahun belakangan mental health issue mulai disadari oleh masyarakat Indonesia, masyarakat perkotaan khususnya.  Menurut Rosdiana Setyaningrum, MPsi, MHPEd ini sebenarnya merupakan satu fenomena yang baik. Artinya masyarakat kita sudah mulai melihat bahwa kesehatan, tuh,  nggak cuma kesehatan fisik tapi juga kesehatan mental. Bukan cuma kesehatan fisik, tapi kesehatan mental juga dukung produktivitas kita tetap optimal.

Sayangnya, kemudian gangguan mental ini semakin ke sini, saya rasa seperti makin di-abuse. Pekerjaan yang banyak, atasan yang terdengar keras menegur, atau lingkungan yang kritis, seringkali dijadikan tertuduh atas sakitnya mental seseorang. Padahal bisa saja pekerjaan banyak itu adalah challenge baru untuk kita dipromosikan. Atasan yang keras menegur, karena memang ada kesalahan fatal yang kita lakukan. Lingkungan kritis hadir demi membentuk kita jadi pribadi yang tangguh. Kapan, sih, sebenarnya kita itu beneran lagi sakit mentalnya? Mbak Rosdiana Setyaningrum akan bantu jawab di bawah ini, ya.

Baca juga: Pelaku Kekerasan Seksual Pantasnya Dihukum Apa, ya?

Ciri-ciri umum seseorang memiliki mental health issue

Yang pertama perlu dilakukan adalah kita harus jujur dulu sama diri sendiri. Memang masalah mental ini perlu kesadaran diri kalau kata mbak Rosdiana. Namun beberapa hal di bawah ini bisa membantu kita memelajari gejala yang mungkin kita alami saat mengalami gangguan mental.

  1. Produktivitas kita menurun, tapi bukan karena malas. Hal ini bisa dilihat kalau kita yang tadinya rajin, punya semangat melakukan kegiatan sehari-hari, lalu tiba-tiba jadi nggak ingin ngapa-ngapain, ketakutan, sehingga membuat produktivitas terganggu. 
  2. Menjadi sangat cemas terhadap segala hal. Ada sebagian orang yang nggak tahu apa yang harus dicemaskan. Perasaan nggak enak terus menerus muncul. Sebagian lagi merasa terlalu cemas untuk sesuatu yang mungkin tak perlu terlalu dicemaskan secara berlebihan. 
  3. Terjadi perubahan perilaku atau pola hidup seperti pola makan, pola tidur, bahkan pola pikir. Yang tadinya makan teratur, ketika kemudian mengalami mental health issue, malah jadi tidak bisa makan sama sekali, atau malah makan melulu.
  4. Secara drastis atau perlahan mulai susah fokus. Misalnya saja ketika mendengarkan orang berbicara, kita sudah berusaha memperhatikan ia berbicara, tapi sampai ujung nggak menangkap apa yang ia bicarakan dan susah untuk mengerti.

Mbak Rosdiana menyarankan untuk kita harus bisa jujur sama diri sendiri. Telaah lagi perasaan yang kita rasakan belakangan ini.  Ambil contoh, ketika ada satu hal yang membuat sedih, biasanya saya akan menangis hanya 1-2 hari, tapi kali ini tidak. Perasaan cemas dan sedih itu berlangsung lama, berhari-hari, bahkan hingga berbulan-bulan. Begitupun dengan perubahan pola hidup, ya. Jangan biarkan hingga berlarut-larut. 

Antara self healing, self reward, dan teurapeutik

Nah, self healing dan self reward sampai saat ini suka jadi perdebatan. Soalnya suka tertukar-tukar. Kalau dari penjelasan mbak Rosdiana, self reward dapat berarti ‘hadiah’ yang kita berikan pada diri sendiri ketika bekerja keras. Sesederhana berendam air hangat setelah bekerja seharian, atau membeli iphone terbaru setelah bekerja keras setahun pakai uang bonus. Yang harus dipastikan adalah, setelah self reward diberikan, harus ada kepuasan dan terima kasih pada diri sendiri. 

Sementara kalau self healing merupakan sebuah aktivitas untuk menetralisir emosi negatif  yang sebaiknya dilakukan setiap hari. Kenapa harus setiap hari? Iya, supaya emosi-emosi negatif nggak numpuk dan terakumulasi hingga rentan membuat kita mengalami gangguan mental, ceunah. Yoga, mindful walking, bisa dikategorikan sebagai self healing.

Lalu apa yang dimaksud dengan teurapeutik? Kalau ini sudah bagian dari proses penyembuhan yang melibatkan ahli seperti psikolog, psikiater, atau terapis. Karena sangat mungkin proses ini memerlukan obat oral yang hanya boleh diberikan oleh pihak berwenang. 

Jadi mommies, setelah membaca penjelasan di atas, kira-kira paham, ya, kapan kita dianggap memiliki gangguan mental. Seandainya ada yang ngomong, “Duh, kena mental, nih, saya. Banyak banget pekerjaan yang ditimpakan ke saya, jadi depresi, nih,” coba telaah lagi. Itu karena memang depresi, atau nggak percaya diri akan pekerjaan yang diberikan? Kala ada yang bilang, “Duh, mau self healing dulu, nih, liburan ke Bali 1 bulan setelah didera-dera kerjaan.” Nah, mommies sudah tahu, nih, liburan, tuh, kategori apa. Self healing atau self reward? :)

Kapan harus ke psikolog, psikiater, atau terapis? Ketika kita sudah berusaha menolong diri sendiri tapi nggak berhasil. Kalau dari penjelasan mbak Rosdiana, semisal kita sudah berusaha keras melakukan self healing, positive thinking, dan menelaah perasaan, tapi masih merasakan kesedihan yang berlarut, kecemasan yang tiada akhir, pola hidup yang makin berantakan, saatnya meminta bantuan ahli. 

Photo by Eric Ward on Unsplash

Share Article

author

dewdew

Mother of Two. Blogger. Make-Up Lover. Skin Care Amateur. Beginner Baker. Entrepreneur Wannabe. And Everything in Between. www.therusamsis.wordpress.com


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan