banner-detik
SELF

Seandainya Kita Menjadi Korban Perkosaan

author

Ficky Yusrini09 Dec 2021

Seandainya Kita Menjadi Korban Perkosaan

Korban perkosaan sering butuh waktu bertahun-tahun sampai mampu mengakui dan bisa mengatakan, “Saya diperkosa.” Jika kita menjadi korban perkosaan, apa yang seharusnya dilakukan?

May menghabiskan hari-harinya dengan ritual yang sama, bangun tidur, mandi, makan, menjahit boneka kain, mengaturnya di rak, menghitung, dan menyiapkan pesanan, lalu hari ditutup dengan makan malam dan tidur.
Sekilas, May tampak seperti gadis normal. Bedanya, wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Bibirnya tak pernah berucap sepatah kata pun, bahkan pada ayahnya sendiri, dan ia tak pernah menginjakkan kaki ke luar dari pintu rumahnya. May kehilangan ‘fungsi’nya sebagai makhluk sosial.

Dulu, May tidaklah seperti itu. Ia gadis periang dan banyak teman. May, karakter dari film garapan Ravi Bharwani berjudul ‘27 Steps of May’, adalah potret korban perkosaan yang masih berkubang dalam trauma berkepanjangan, merasakan susahnya bangkit. May mengalami salah satu dampak kekerasan seksual yang disebut sebagai disosiatif.

Disosiasi adalah pelepasan dari realitas. Penderitanya sulit berfungsi di dunia nyata. Disosiasi adalah salah satu dari banyak mekanisme pertahanan yang digunakan otak untuk mengatasi trauma kekerasan seksual.

Baca juga: Mengapa Saksi Kasus Perkosaan Ada yang Memilih Diam? Ini Penjelasan Psikolog.

Photo by Mika Baumeister on Unsplash

Perkosaan yang Tidak Diakui Korban

Banyak orang menganggap, perkosaan terjadi dalam bentuk kekerasan di mana korban terancam nyawanya, sebagaimana dalam situasi peperangan bersenjata, seperti yang sering digambarkan dalam film-film. Padahal tidak selalu demikian. Inilah yang dialami Rachel Thompson. Ia baru menyadari bahwa sebuah peristiwa di suatu malam yang terjadi 10 tahun yang lalu adalah perkosaan.

Memori itu muncul di masa dewasanya dalam sesi terapi, psikiater menunjukkan bahwa dirinya mengalami trauma. “Mendengar kata-kata itu, memunculkan kembali beban dari apa yang telah saya alami pada usia 19 tahun, untuk memahami mengapa kecemasan menguasati seluruh tubuh dan pikiran saya,” ungkap Rachel yang ia tulis dalam bukunya berjudul ‘Rough: How Violence Has Found Its Way Into the Bedroom and What We Can Do About It’.

Rachel menyebutnya sebagai grey area experience, wilayah abu-abu karena pelakunya adalah pria yang ia taksir, saat mereka berkencan. Pada saat kejadian, ia dibuat ragu pada dirinya sendiri, wajarkah hubungan seks yang dilakukan?

Diperparah dengan adanya budaya menyalahkan korban. Rachel tak bisa menjelaskannya. Tetapi trauma yang menyertainya selama bertahun-tahun berkata lain. “Pengalaman saya adalah salah satu yang dialami oleh banyak penyintas kekerasan seksual,” ujarnya lagi.

Dalam bukunya, Rachel mengatakan, penelitian menunjukkan perlu waktu bertahun-tahun – terkadang puluhan tahun – bagi beberapa orang, untuk menyadari atau menerima bahwa pengalaman mereka adalah kekerasan seksual atau pemerkosaan. Psikolog menyebut ini sebagai ‘perkosaan yang tidak diakui’ atau ‘unacknowledged rape’.

Sebuah riset di AS memperkirakan 60% mahasiswi pernah mengalami unacknowledged rape. Riset lain mengungkap, antara 30% – 88% dari semua kekerasan seksual tidak diakui atau disadari oleh para penyintas. Hal ini juga umumnya dialami oleh mereka yang pernah menjadi korban kekerasan seksual di masa kecilnya.

Apa yang dialami Rachel, bisa memberi gambaran lebih dekat dengan apa yang dialami Novia Widyasari, mahasiswi yang bunuh diri di Jawa Timur. Novia mengalami situasi ‘grey area experience’ di mana pelakunya adalah kekasihnya sendiri. Dalam kasus Novia, ia mengakui telah terjadi kekerasan seksual, tetapi tidak mudah baginya melepaskan diri dari perangkap hubungan dengan pelaku. Skala kekerasan yang dialaminya semakin berat karena ia berkali-kali dipaksa menggugurkan kandungan.

Baca juga: Korban Perkosaan Malah Dipenjara, Apa yang Salah dengan Hukum Kita?

Memaafkan Diri

Dalam bukunya, Rachel juga mewawancarai beberapa korban lain, salah satunya, Jodie. Jodie bercerita, ia tidak mengakui apa yang dialaminya sebagai tindak kekerasan seksual, salah satunya juga karena mekanisme koping, cara seseorang untuk mengatasi situasi yang mengancam.

“Saya tidak memberi izin pada diri saya sendiri untuk menerima bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi pada saya, atau untuk memaafkan diri sendiri bahwa itu bukan salah saya,” katanya. Butuh bertahun-tahun sampai ia akhirnya mengakui dan bisa mengatakan, “Saya diperkosa,” ketika berbicara dengan teman-temannya.

Kita bisa belajar dari pengalaman yang ditulis Rachel, hal yang perlu dilakukan oleh seorang korban perkosaan pertama-tama adalah mau mengakui, mengenali, dan menamai sepenuhnya atas apa yang dialaminya adalah peristiwa yang tidak wajar dan bisa disebut sebagai kekerasan. “Menamai sepenuhnya tentang kejadian itu telah membantu saya untuk mengambil kendali,” ucap Jodie.

Setelah itu, korban perlu memaafkan dirinya sendiri. Secara psikologis, umumnya korban cenderung merasa bersalah atau menyalahkan diri sendiri atas musibah yang dialaminya. Misalnya, ia mungkin berpikir, gaya pakaiannyalah yang mengundang pelaku untuk memerkosanya, atau kenapa ia mengizinkan dirinya berada pada situasi yang membuatnya diperkosa. Karena hal tersebut, banyak korban kemudian memilih untuk bungkam dan memendam kejadian traumatis yang dialami.

Setelah mengakui apa yang terjadi, langkah berikutnya adalah mencari pertolongan. Kalau Anda ada di posisi korban, Anda sedang tidak baik-baik saja, dan Anda membutuhkan support system.

Maju ke proses hukum untuk menuntut pelaku adalah langkah berikutnya. Sayangnya, rigidnya hukum positif dan proses pelaporan yang tidak memiliki sensitivitas terhadap korban membuat banyak korban enggan melalui proses ini. Itulah kenapa, publik perlu turun tangan mengawal kasus-kasus kekerasan seksual. Bukannya malah ikut-ikutan menyudutkan korban.

Baca juga: Mengada Ada Marital Rape?

Share Article

author

Ficky Yusrini

-


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan