Jangan-jangan, tanpa sadar, kita juga menjadi pendukung budaya toxic masculinity atau patriarki yang selama ini ingin kita hindari.
Budaya kita cenderung mengistimewakan kaum lelaki. Mereka didukung untuk menjadi pemimpin, atasan, kepala rumah tangga, politikus, tokoh agama, dan lainnya. Kita dididik untuk memberikan mereka kesempatan untuk berkuasa dan mengatur dunia. Karenanya, nilai-nilai maskulin selama ini sering kita asosiasikan dengan hal-hal yang positif, seperti ketangguhan, kekuatan, kemandirian, rasionalitas, rasa penuh tanggung jawab, dan sebagainya.
Dalam membesarkan anak lelaki, kita akan menggembleng mereka dengan maskulinitas sejati, karena begitulah yang diharapkan oleh masyarakat. Begitu juga, pada anak perempuan kita tanamkan sebagian nilai maskulinitas agar mereka tidak menjadi pribadi yang lemah.
Baca juga: 8 Kesalahan Orang tua Dalam Mendidik Anak Sehingga Toxic Masculinity Merajalela
Padahal tidak semua nilai maskulin itu bermakna positif. Dalam masyarakat yang patriarki, maskulinitas dipuja sehingga terlalu dominan, dan membawa dampak toxic masculinity. Tanpa sadar, setiap hari kita membesarkan anak dalam atmosfer yang penuh nilai toxic masulinity tersebut. Di antaranya:
Kita tidak mau anak kita cengeng, rapuh, dan gampang menyerah. Anak lelaki yang gampang menangis akan diejek oleh teman-temannya. Laki-laki terus-menerus diberi pesan bahwa mereka harus mandiri, tangguh secara fisik maupun mental, tidak cengeng dalam menghadapi masalah. Sikap ketangguhan ini dipercaya bisa membuat mereka sukses dalam kehidupan.
Pekerjaan rumah tangga seringkali dipandang sebagai job desc perempuan. Kita lalu memberi permakluman saat anak lelaki mangkir dari pekerjaan rumah tangga. Kita tidak mengkritiknya saat menyapu atau mencucinya tidak bersih, melipat bajunya tidak rapi, memasaknya asal-asalan. Padahal ini semata masalah pembiasaan dan disiplin.
Saat anak lelaki kita curhat dan menceritakan betapa stresnya mereka, kita malah mengomentari dengan menganggap masalanya sepele. Mungkin, maksud kita baik, agar si bocah tidak overthinking sampai stres gara-gara hal remeh. Padahal, apa yang menurut kita sepele, belum tentu menurut dia sepele. Cara ini hanya akan membuat dia enggan untuk curhat lagi dan memilih menyimpan sendiri dan menekan emosinya. Emosi diperlakukan sebagai karakteristik feminin. Menekan emosi dan menyimpan masalah untuk diri sendiri dipandang sebagai sikap jantan. Sejak kecil, laki-laki dipermalukan saat mereka menunjukkan emosi lemah.
Saat ada anggota keluarga yang sakit, siapa yang bertanggung jawab merawat? Anak lelaki perlu dibiasakan juga menjadi care giver dalam keluarga. Tanpa pembiasaan, kita tidak bisa berharap anak akan paham dengan sendirinya apa yang menjadi kewajibannya. Sering kita dengar, cerita tentang anak lelaki yang tidak mau merawat orang tua di masa tuanya. Tugas merawat orang tua ini akhirnya diambil alih oleh anak perempuan. Tapi, bagaimana jika dalam keluarga tidak punya anak perempuan? Kita sendiri yang repot.
Nilai maskulinitas tidak semuanya perlu dijauhi. Keberanian, contohnya, salah satu kualitas maskulin. Kita bisa mendorongnya untuk kebaikan. Ajari anak laki-laki, tidak hanya berani saat harus membela dirinya, tapi juga berani dan mau pasang badan untuk membela temannya yang lemah. Tidak hanya diam, lepas tangan, dan menyelamatkan diri sendiri.
Baca juga: Jangan Katakan Ini Kepada Anak Korban Bullying
Tidak mau berefleksi
Tanpa kita sadari, kita juga sering menjadi bagian dari budaya toxic masculinity. Budaya patriarki ini sudah berakar kuat, bahkan sejak kita kecil kita telah diprogram untuk hidup dan menerima budaya tersebut. Jika kita benar-benar ingin memperbaiki budaya ini dan menjadi bagian dari solusi, kita perlu rajin-rajin berefleksi, mempertanyakan dan memeriksa apa yang kita pikirkan atau bagaimana kita bertindak. Apakah sudah tepat? Bagaimana dampaknya ke anak?
Image dari sini