banner-detik
SELF

Generational Trauma, Apa Itu dan Bagaimana Mengatasinya?

author

gitalarasw18 Oct 2021

Generational Trauma, Apa Itu dan Bagaimana Mengatasinya?

Apakah Mommies pernah mendengar tentang generational trauma? Ini dapat memengaruhi gaya pengasuhan dan tumbuh kembang anak tanpa disadari. Simak penjelasannya lebih lanjut. 

Banyak hal yang diwariskan dari keluarga, selain harta, ada kondisi genetik dan karakteristik fisik yang kita terima tanpa bisa memilih. Tidak hanya itu, pada beberapa kasus, trauma keluarga juga bisa diturunkan kepada generasi selanjutnya—kerap disebut sebagai generational trauma.

Generational trauma belum banyak dibicarakan dan masih sedikit penelitian yang membahas hal ini. Namun, dampaknya pada diri sendiri dan anak tidak boleh diabaikan. Berikut hal-hal yang sudah diketahui sejauh ini tentang generational trauma.

Apa itu generational trauma?

Sesuai dengan namanya, generational trauma adalah trauma yang tidak hanya dialami oleh satu orang dalam keluarga, tetapi ‘diwariskan’ dari satu generasi ke yang lainnya. Dilansir dari Health.com, Melanie English Ph. D, psikolog klinis, mengungkapkan bahwa jenis trauma ini biasanya sulit didefinisikan, diam, dan kerap tersembunyi.

“Namun, tanpa disadari itu tertanam pada hidup seseorang dan masuk ke dalam nilai-nilai yang diajarkan orang tua sejak anak masih usia dini hingga mereka dewasa,” katanya.

BACA JUGA: Membesarkan Anak Bahagia dan Minim Trauma

Konsep generational trauma sendiri sebenarnya pertama kali dikenal pada 1966, ketika psikiater menemukan tingginya tekanan psikologis yang dialami anak-anak korban Holocaust. Kemudian, studi 1988 yang dipublikasikan pada The Canadian Journal of Psychiatry, menemukan bahwa cucu dari para penyintas Holocaust tadi, 300%-nya harus mendapatkan perawatan kesehatan mental.

Sejak saat itu, kondisi korban Holocaust dan keturunannya pun dipelajari lebih lanjut. Hasilnya menunjukkan, semua jenis stres yang ekstrem dan berkepanjangan dapat memiliki dampak psikologis yang merugikan hingga ke anak cucu. Mengakibatkan kecemasan, depresi, hingga gangguan stres pascatrauma (PTSD).

Tidak hanya korban Holocaaust, setiap orang rentan terhadap generational trauma. Namun, memang ada populasi spesifik yang lebih berisiko mengalaminya.

“Dieksploitasi secaraa sistematis, mengalami pelecehan berulang, rasisme, dan kemiskinan, semuanya cukup traumatis untuk menyebabkan perubahan genetika dalam keluarga,” jelas Gayani DeSilva, psikiater anak dan remaja.

Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, hingga hate crime, merupakan contoh lain yang dapat menimbulkan generational trauma.

Orang tua dapat menularkan kerentanan genetik bawaan yang dipicu oleh pengalaman traumatis mereka sendiri kepada anaknya. Atau, melalui gaya pengasuhan yang dipengaruhi oleh trauma mereka. Seseorang yang memiliki trauma dalam kehidupannya menghadapi banyak tantangan ketika menjadi orang tua, termasuk kesulitan menjalin ikatan dan menciptakan keterikatan emosional yang sehat dengan anak-anak mereka.

Sementara itu, anak-anak mengenal dan memahami dunia melalui pengasuhan orang tua mereka. Anak-anak meniru perilaku orang tua dan belajar menavigasi hubungan masa depan berdasarkan bagaimana mereka belajar berhubungan dengan orang tua mereka.

Jika dalam proses pengasuhan tersebut, orang tua memproyeksikan traumanya kepada anak—misalnya dengan berperilaku kasar, sering marah, depresi, pengabaian—maka itu bisa menurun kepada Si Kecil tanpa disadari. Dan ketika ia menjadi orang tua nantinya, hal yang sama bisa terulang jika tidak rantai generational trauma tidak diputus.

Apa yang akan terjadi saat seseorang mengalami generational trauma dan bagaimana cara mengatasinya? Simak di halaman selanjutnya yuk, Mommies.

Gejala generational trauma

Gejalanya bisa muncul dalam bentuk rasa waspada yang berlebihan, sulit mempercayai orang lain, sikap acuh tak acuh, kecemasan tinggi, depresi, serangan panik, mengalami insomnia dan mimpi buruk, hingga rendahnya kepercayaan diri.

Pada beberapa kasus, menurut dr. DeSilva, generational trauma dapat memengaruhi sistem kekebalan tubuh sehingga membahayakan fisik. “Itu dapat membuat sistem kekebalan tubuh tidak berfungsi dengan baik—antara terlalu aktif atau tidak cukup aktif. Hasilnya, menyebabkan penyakit autoimun dan kronis lainnya,” ungkap dr. DeSilva.

BACA JUGA: Parental Compassion Fatigue, Ketika Orang Tua Merasa Burnout dengan Perannya

Trauma juga memengaruhi mikroglia, sistem kekebalan di otak. Ketika mikroglia terganggu, itu dapat menyebabkan depresi, kecemasan, demensia, dan perubahan genetik yang bisa diturunkan ke generasi selanjutnya.

Cara mengatasi

peWaspada Tanda-tanda Kekerasan Emosional dalam Pernikahan - Mommies Daily

Tidak ada cara yang mudah untuk mengatasinya. Namun, generational trauma bisa ditangani jika ada intervensi holistik yang intens dilakukan. Biasanya melibatkan terapi individu, meskipun terkadang terapi kelompok atau keluarga juga bisa menjadi pilihan.

“Memahami bahwa kita tidak sendirian dan mengetahui bahwa ada faktor-faktor di luar kendali yang membuat kita seperti ini, dapat membantu memproses trauma tersebut,” tutur dr. English.

“Ketika kita memproses sesuatu dan memahaminya, kita bisa menemukan mekanisme koping, menyembuhkan diri dan merebut kembali bagian hidup kita,” imbuhnya.

Sementara itu, dr. DeSilva mengungkapkan bahwa sumber daya dan dukungan orang lain juga bisa membantu menghentikan generational trauma ini. “Mendapat dukungan kelompok, memiliki akses kesehatan dan finansial yang baik, mendapat nutrisi cukup, koneksi spiritual, dan terapi individu, semuanya perlu ada untuk memutus rantai trauma,” pungkasnya.

PAGES:

Share Article

author

gitalarasw

-


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan