Sorry, we couldn't find any article matching ''
Poligami: Anak dari Istri Kedua pun Berbagi Cerita
Setelah menulis kisah tentang anak-anak dari istri pertama yang ayahnya melakukan poligami, berikut cerita tentang anak dari istri kedua. Mari melihat dari berbagai sisi.
Istri kedua hampir selalu mendapat cap jelek dari lingkungan. Perebut suami orang, perempuan ganjen, dan berbagai julukan lainnya. Lain ibu, lain pula anaknya. Anak-anak ini tentu tidak pernah tahu akan lahir sebagai anak dari istri kesekian ayahnya. Bagaimana kisah mereka?
Mommies yang belum membaca artikel pertama tentang kisah anak-anak perempuan dari ayah poligami, bisa baca di sini ya! Ketika Anak-anak dari Ayah Poligami Berbagi Kisah.
Beberapa orang bersedia nama panggilannya ditampilkan namun beberapa memilih hanya menggunakan inisial.
FA, Pelajar kelas 3 SMA, 17 tahun
FA tahu ibunya adalah istri kedua karena sering dibawa ke rumah istri pertama untuk bermain bersama. Jadi tanpa diberi pemahaman, ia sudah mengerti sendiri. Menurut FA, istri pertama juga selalu memperlakukan ia dengan baik seperti anak sendiri.
Namun mereka hanya baik pada FA, bundanya sendiri malah sering mendapat perlakuan buruk. Bunda FA pun minta suaminya memilih antara dia atau istri pertama, namun sang ayah tak bisa memutuskan dan akhirnya tidak menceraikan keduanya.
“Sejak papa kerja di Belanda, kakak kakakku langsung bener-bener berubah drastis tanpa alasan ke aku sama bunda. Kakakku dua cowok dan satu cewek, nah yang paling parah perlakuannya itu yang cewek. Aku nggak tau mereka kenapa. Mereka juga suka ngarang cerita yang nggak-nggak tentang bundaku dan aku terus diaduin ke papa sama keluarga papa,” jelas FA.
Semakin lama perlakuan mereka semakin parah dan kata cerai pun sering terucap dari istri pertama. Tapi sampai sekarang, papa FA tak menceraikan istri pertamanya itu.
“Aku kayak nggak dianggep ada, disindir-sindir, kaya anak buangan banget deh. Tapi aku sok strong depan orang-orang apalagi depan papa, soalnya aku nggak mau papa sedih liat aku sedih gitu. Jadi aku kayak berlaku biasa aja, paling kalau lagi sama mereka udah nggak kuat aku ke kamar mandi, aku nangis aja,” tuturnya lagi.
Akhirnya bunda FA mengambil keputusan untuk bercerai. Menurutnya, papa sampai saat ini masih sayang pada bundanya dan berkali ingin rujuk. Namun sang bunda menolak jika papa tidak menceraikan dulu istri pertamanya.
Ada efek yang kamu rasakan karena dibesarkan keluarga yang berpoligami?
“Sebagai anak pasti akan menanggung pahit walaupun nggak tau apa-apa pasti aku yang disalahin sama mama tiriku. Kalau papa sama mama lagi berantem, mama bentak-bentak aku terus bilang ‘dulu tu ya bundamu itu blablabla bawa aja sana papamu suruh balikan sama bundamu biar kamu puas’ Padahal aku nggak tau apa apa, aku juga fine fine aja kok bunda sama papa cerai walaupun awalnya shock mana ada sih anak yang mau ortunya cerai.”
“Tapi aku kayak mikir aja sih, mungkin dulu bundaku pernah ngelakuin salah yang pastinya bikin mama tiriku sakit hati, nah sekarang mungkin aku yang harus tanggung akibatnya. Sebenernya sih aku sedih banget tapi ya itu tadi, aku bilang aku nggak mau nunjukin rasa sedih aku ke bunda atau papa,” tutupnya.
Stay strong ya, FA!
Sasa, 29 tahun, Asisten Dosen, Ibu dua anak
Suatu hari saat umur Sasa 4 tahun muncul remaja perempuan yang sering datang ke rumah dan memanggil papa dengan sebutan “papa” juga. Kakak ini juga makan di rumah, minta uang jajan, dan sering ngobrol dengan mama Sasa. Siapa dia?
Kakak ini baik sekali, sering mengajak main, membawakan mainan, mengajak ngobrol sampai saat duduk di kelas 5 SD, Sasa baru tahu kalau ibunya adalah istri kedua dan kakak ini adalah anak dari istri pertama.
Responnya? Senang! Karena setelah selama ini hanya punya adik, Sasa akhirnya punya kakak perempuan. Namun hanya Sasa dan kakak ini saja yang legowo. Ketiga adik Sasa tidak mau terima, begitu pula dengan abang-abang dari istri pertama. Mereka sudah hilang respek pada papa sampai sekarang.
“Entah kenapa, aku pas tahu malah nggak judgemental. Aneh banget aku. Jatuhnya aku jadi mikir, ‘Oh. Hidup orang dewasa itu complicated yaaaa’. Cuma yah, berat juga rasanya waktu denger bisik-bisik dari keluarga besar Papa soal Mama yang penggodalah, pelakorlah, setiap ada family event,” kenang Sasa.
Papa Sasa sebetulnya sudah berusaha menceraikan istri pertama namun sang istri terus menolak karena tak mau dibilang janda. Papa pun lebih sering di rumah Sasa dan hanya pulang ke rumah istri pertama satu bulan sekali.
Tapi menurut Sasa, papanya memang tak sanggup monogami. Ia menikah lagi dan menelantarkan kedua istri sebelumnya. Dua istri, delapan anak, tidak dibiayai sama sekali.
“Aku benci banget sama Papa pas dia nikah lagi sama sugar baby-nya waktu mamaku hamil si bungsu. Papa jarang pulang sama sekali bahkan kami nggak dibiayai. Dan Papa balik lagi ke rumah setelah tinggal 'ampas' doang, setelah duit, harta, aset atau apalah untuk masa depan kami ber-8 dihabiskan semua sama sugar baby-nya,” ujarnya.
Apa efek jangka panjang dari keluarga dengan mama sebagai istri kedua?
“Aku jadi 'less-judgemental' sama kasus perselingkuhan. Kadang suka bingung juga sama ibu-ibu yang nge-judge sesama wanita padahal, kan yang ganjen cowoknya. Aku juga jadi siap sedia sama kemungkinan terburuk di pernikahan aku. Aku nggak mau niru jejak Mama tiriku atau mama yang nggak mau cerai karena takut menjanda. Mungkin karena sejak kecil aku udah terbiasa sama 'surprise' dari Papa,” tutupnya.
Sunarti, 27 tahun, Staf accounting, belum menikah
Sunarti (atau akrab dipanggil Nartie) tak ingin merahasiakan namanya. Ia ingin menunjukkan pada semua orang yang selalu meremehkan dan menghina ibunya kalau ia sekarang jadi orang yang tidak menyerah mengejar impian.
Nartie kecil hanya tahu bapak pisah rumah dengan ibunya. Ia selalu diminta ke rumah bapak tiap minggu untuk minta uang belanja. Saat itu ia juga tidak terlalu peduli karena semua kebutuhannya tercukupi. Sekolah lancar, barang-barang yang temannya miliki juga bisa ia miliki. Nartie justru marah dan kecewa saat ia ingin melanjutkan kuliah namun dilarang oleh istri pertama bapak. Maklum, anak-anak dari istri pertama bahkan tidak ada yang lulus SMA.
“Aku belum bisa memaafkan bapak, dia terlalu sibuk mengurusi anak dan cucunya yang jadi sampah masyarakat daripada aku anak kandungnya. Oke, meski anak dari istri kedua tapi aku nggak pernah bikin malu dia. Marah banget, kecewa banget, benci banget, aku salah apa? Temanku yang di bawah aku prestasinya didukung orangtuanya bahkan bisa masuk UNJ padahal nilaiku jauh lebih bagus dari dia. Aku benci banget sama Tuhan saat itu juga,” paparnya.
Namun Nartie tak tinggal diam, ia kemudian bekerja dengan niat akan kuliah dengan biaya sendiri. Satu tahun bekerja, bosnya melihat potensi Nartie dan menyatakan akan membiayai administrasi dan semesteran kuliah. Buku, laptop, dan sehari-hari ia harus berusaha sendiri.
“Saat ini aku mungkin udah nggak terlalu membenci bapak, aku hanya menjaga jarak, karena sejak dia menolak aku 8 tahun lalu, aku sudah menganggap beliau dan keluarganya mati. Aku cuma fokus membahagiakan ibuku aja, ibuku saat ini di kampung jadi dia nggak perlu lihat sakitnya aku, sedihnya aku dan lelahnya aku di Jakarta, dia cuma perlu tahu aku baik-baik aja dan aku bisa kirim uang bulanan ke kampung,” jelas Nartie.
Apa efek kejadian itu di hidup Nartie?
“Aku tumbuh jadi anak yang keras kepala, aku nggak mau dikalahkan oleh laki-laki. Aku bertekad bisa survive meski tanpa laki-laki. Orang bilang seleraku terlalu tinggi padahal aku bersikap selektif supaya anak aku kelak nggak mengalami hal yang sama, mengalami tumbuh jadi anak yang kehilangan orangtua dan diremehkan oleh tetangga kanan-kiri. Aku mau kelak anak aku bisa jadi apapun yang dia mau, tumbuh dalam kehangatan keluarga dengan orangtua yang utuh,” tutupnya.
SH, 29 tahun, Ibu satu anak
SH mengetahui ibunya adalah istri kedua saat duduk di bangku SD, namun tak lama istri pertama bapaknya meninggal. Keluarga yang diharapkan bisa jadi utuh ternyata tidak selancar bayangan, ayahnya menikah lagi.
“Tak percaya tapi ya sudah terjadi, saya lahir juga dari istri kedua. Sebenarnya juga kalau bisa minta, saya nggak mau lahir dari bapak pelaku poligami dan ibu sebagai istri kedua. Seperti menelan pil pahit, walau tahu itu pahit ya harus tetap diterima. Untuk pernikahan bapak yang kedua ini juga masih dipertahankan oleh bapak. Jadi, tidak cerai,” jelas SH.
Menurut SH, bapaknya memang seperti dimotivasi nafsu yang selalu merasa kurang jika tidak punya dua wanita. Apakah jadi membenci bapak?
“Benci tidak juga, kesal dan sebal itu iya. Apalagi, pas tahu sudah punya istri satu, masih juga nambah lagi yang baru. Saya selalu coba untuk memaafkannya. Saya sudah berdamai dengan kondisi demikian dengan waktu yang cukup lama. Saya maafkan karena tahu bapak pun pusing sendiri dengan istri-istrinya. Saya kasihan padanya sudah tua, ada sakit juga. Saya maafkan bapak dan doakan bapak sebagai bentuk bakti saya pada orang tua. Saya nggak pernah mengerti alasan sesungguhnya tapi yang pasti bukan karena ibadah sebagaimana idealnya Rasul contohkan,” paparnya.
Apakah ada trauma atau efek karena bapak yang menikah lagi?
“Trauma psikologis, saya seakan tidak bisa menerima bahwa ada dua istri di antara bapak saya. Saya ingat, dulu bingung saat diminta membuat family tree di sekolah sebab saya malu jika teman-teman tahu bapak saya istrinya dua. Sayangnya, bapak pun tidak mampu memberikan contoh dirinya sebagai suami pelaku poligami yang (mungkin) baik. Jujur, setelah menikah pun saya tidak mau dipoligami oleh suami. Jika suatu waktu suami ingin poligami saya lebih memilih cerai daripada saya pertahankan rumah tangga yang tidak ada keridhoan saya terhadap suami. Malah jadi tidak bersyukur nantinya,” tutupnya.
Irna, 30 tahun, Ibu 2 anak
Sejak kecil Irna sudah merasa punya banyak mama karena mama kandungnya adalah istri ketiga dan akur dengan kedua istri pertama. Masalah datang ketika papa Irna memutuskan untuk punya istri yang keempat. Istri keempat ini ingin menguasai semua harta papa Irna. Ia meneror, menelepon, dan hampir mau melabrak mama Irna. Sampai suatu hari sepulang skolah Irna melihat rumah berantakan dengan papa yang membawa semua barang dan ingin bercerai.
“Bagai disambar petir rasanya. Karena kita semua bergantung hidup dari papa dan sekarang papa pergi begitu saja. Di saat saya butuh sosok papa, butuh biaya untuk sekolah. Pernah saya benci papa di saat saya susah bahkan pernah makan nasi cuma sama kecap. Apa papa tau penderitaan saya ? Di saat saya lapar ? Di saat anak-anak lain dijemput sepulang sekolah lalu saya cuma seorang diri? Papa di mana? Tapi saya tetap sayang papa bagaimana pun dia tetap papa saya. Orang bilang dia bajingan buat saya dia tetap pahlawan,” ujar Irna.
Apa efek kejadian itu bagi Irna?
“Saya kurang kasih sayang papa, jadi saya punya sifat keras kadang terlalu mandiri. Saya seakan tidak butuh laki-laki toh saya bisa hidup susah sampai jadi sarjana tanpa papa. Padahal papa loh orang tua saya. Saya jadi keras kepala dan temperamen. Saya benci pelakor dan lebih suka kepada laki-laki yang lebih tua dari saya karena saya mencari figur papa,” pungkasnya.
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS