Sorry, we couldn't find any article matching ''
8 Perubahan Mental Anak Setelah Melalui Pandemi yang Panjang
Anak-anak nggak lepas dari dampak berat akibat isolasi selama 1,5 tahun belakangan. Apa saja perubahan mental yang mungkin dialami anak selama pandemi?
Kalau boleh memilih, dalam masa perkembangannya, rasanya anak-anak nggak layak ikut terkena tamparan besar pandemi. Walau ada juga perubahan positif pada diri anak akibat dari situasi luar biasa ini, tapi tetap, “ruginya” lebih banyak.
Seorang teman cerita, anaknya yang berkebutuhan khusus jadi sulit untuk pergi terapi selama pandemi. Akibatnya, terjadi regresi dalam diri anak. Teman lain merasakan hal yang sama, sejak sekolah di rumah aja, kemampuan bahasa sang anak jadi menurun akibat nggak bersosialisasi dengan teman-temannya di luar.
Itu baru dari segi kognitif. Anak lain ada yang merasa jadi mudah cemas sejak anggota keluarganya divonis positif Covid-19. Di lain cerita, anak laki-laki kerabat saya menjadi lebih temperamental selama pandemi. Itu beberapa contoh betapa pandemi membawa dampak pada perubahan mental anak; dan sangat mungkin dampak ini berlangsung dalam jangka panjang. Everything (probably) will never be the same again.
Dikutip dari HuffPost, para pakar mengamati bahwa anak-anak telah mengalami tantangan kesehatan mental sepanjang pandemi. Menurut Jacqueline P. Wight, direktur layanan kesehatan mental di DotCom Therapy, pada beberapa anak-anak, tantangan ini bersifat sementara dan akan mereda saat pandemi berakhir. Namun pada beberapa anak lain, efek ini dapat bertahan lama.
Senada dengan itu, pekerja sosial klinis berlisensi Nidhi Tewari menjelaskan bahwa trauma dan implikasi jangka panjang dari pandemi mungkin nggak sepenuhnya dipahami anak-anak.
Wight, Tewari, dan pakar lainnya berbagi beberapa perubahan mental yang mungkin orang tua temui pada diri anak setelah mengarungi kompleksnya situasi pandemi yang panjang ini.
Memahami arti kehilangan
Berita banyaknya jumlah kematian akibat Covid-19 mau tidak mau memapar anak-anak juga. Sebagian anak-anak mungkin kehilangan kerabat dekat, anggota keluarga atau teman dan sahabatnya. Dalam waktu singkat, anak-anak harus memproses apa artinya kehilangan. Bisa saja ini menjadi pengalaman pertama mereka menghadapi kematian orang terkasih. Mereka jadi memahami apa itu dukacita, kesedihan yang mendalam dan segala bentuk perasaan yang menyertainya.
Selain kehilangan akibat kematian orang yang dicintai, anak-anak juga mungkin merasa sedih atas kehilangan pengalaman dan kesempatan. Hilang kesempatan untuk berkarya, bermain, bereksplorasi, mencoba hal-hal baru dan seterusnya. Orang tua harus membantu anak-anak mereka mengatasi kesedihan dan memahami bahwa itu semua adalah bagian dari pengalaman manusia. Pada akhirnya, pengalaman dan keadaan membuat anak-anak belajar untuk embrace sebuah kehilangan. Itu akan membentuk mereka menjadi lebih kuat.
Kerentanan terhadap gangguan kesehatan mental
Sebuah laporan dari Save the Children, Amerika Serikat, menemukan bahwa pandemi Covid-19 memiliki dampak “merusak” pada kesehatan emosional keluarga dan anak-anak Amerika. Saya yakin ini terjadi hampir di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.
Dampak negatifnya menurut Psikoterapis Noel McDermott, kerentanan terhadap gangguan berbasis kecemasan seperti gangguan makan dan tekanan mental lainnya pada anak-anak dan remaja jadi meningkat. Orang tua perlu merespons hal ini dengan memberi dukungan efektif dan keterampilan positif pada anak-anak agar mereka mampu mengelola tantangan dan belajar untuk jadi lebih tangguh.
Kecemasan sosial
1,5 tahun terisolasi, anak-anak mungkin harus berjuang dengan kecemasan sosial untuk kembali ke komunitasnya lagi ketika pandemi sudah berakhir nanti. Terutama anak-anak yang memiliki isu dalan hal keterampilan sosial. Sebelum pandemi saja, mereka butuh “warming up” untuk berbaur dengan teman-teman. Apalagi nggak bertemu dalam waktu yang lama? Mereka kembali menjadi canggung dan harus mengasah kembali keterampilan sosialnya untuk menyesuaikan diri.
Kecemasan kesehatan
Berbagai protokol kesehatan yang harus dipatuhi juga dapat berdampak jangka panjang pada beberapa anak. Mungkin ada peningkatan gangguan kecemasan akan tertular virus, terkena penyakit. Khawatir terpapar Covid-19 setelah melihat banyaknya orang yang meninggal atau sakit parah akibat virus tersebut. Kita perlu memberi pengertian kepada anak-anak untuk tetap waspada dan menjaga kesehatan, tanpa rasa waspada itu sendiri berkembang menjadi kecemasan berlebihan yang menggerogoti mental mereka.
Kesenjangan pendidikan semakin tajam
Bagi keluarga yang mampu memfasilitasi kebutuhan anak untuk sekolah atau les-les online, mungkin pendidikan anaknya masih bisa jalan dengan aman dan lancar. Sementara anak-anak dari keluarga pra sejahtera, yang tinggal di pelosok, sulit koneksi, nggak punya fasilitas penunjang, orang tuanya tidak memiliki kemampuan mengajari anak di rumah, dan segudang faktor lainnya, pada akhirnya ada saja yang tidak melanjutkan sekolah.
Belum lagi anak-anak yang berkebutuhan khusus atau sebelumnya mengenyam pendidikan luar biasa atau sekolah inklusi yang memerlukan shadow teacher selama belajar. Perkembangan kognitif dan akademis mereka bisa tertinggal. Pendeknya, kesenjangan pendidikan akibat pandemi terhadap pendidikan anak-anak bisa menjadi semakin parah.
Baca juga: Setahun Lebih Sekolah Daring, Bagaimana Kondisi Kesehatan Anak?
Merasakan perubahan positif
Terlepas dari berbagai guncangan mental yang dapat dialami anak, ada juga dampak positif dari pandemi. Salah satunya, anak jadi memiliki banyak waktu bersama keluarga. Pada beberapa anak ada juga yang mengalami perubahan mental seperti lebih sabar dan belajar menerima keadaan sulit. Belajar hidup lebih sederhana dan tidak konsumtif karena nggak perlu menghabiskan setiap weekend ke mal atau bepergian. Merayakan ulang tahun hanya dengan keluarga saja, tidak perlu bermewah-mewah. Merasakan bahwa video call saja sudah sebegitu serunya, hehehe.
Semakin berempati dan terhubung ke orang lain
Ternyata pandemi juga menumbuhkan rasa empati secara global. Trauma akibat Covid-19 dirasakan anak-anak hampir di berbagai belahan dunia. Jadi, anak-anak nggak sendiri. Mereka yang tumbuh di masa pandemi punya kesamaan pengalaman.
Mereka juga belajar berempati terhadap kawan-kawan yang merasa kehilangan. Terhubung dengan keluarga atau kerabat yang tinggal jauh juga semakin mudah melalui koneksi internet. Situasi ini juga memungkinkan anak-anak mengikuti kegiatan dari luar kota atau luar negeri karena hanya dibatasi oleh gawai.
Ketangguhan diri anak meningkat
Terlepas dari segala pahit dan ngerinya pandemi, kabar baiknya, manusia pada umumnya, termasuk anak-anak pada dasarnya adalah makhluk yang tangguh. Ketangguhan ini semakin terasah selama pandemi. Kita juga bisa melihat bagaimana anak-anak belajar untuk mengatasi banyak perubahan dan tantangan yang tidak terduga. Walau nggak semua pengalaman itu positif, tapi tetap mendorong pertumbuhan dan ketahanan yang besar pada diri anak.
Sebagai orang tua, kita perlu mengambil langkah-langkah untuk menjaga kesehatan mental dan kesejahteraan anak-anak, agar dapat mengurangi beberapa dampak perubahan mental anak jangka panjang dari pandemi ini. Namun sebelumnya, kita juga perlu menjaga kesehatan mental kita, agar bisa tetap waras mendampingi anak-anak. Supaya pada akhirnya kita bisa bilang: anakku semakin tangguh dan positif, thanks to pandemic! Yuk, bisa yuk, moms.
Foto: Freepik
Share Article
COMMENTS