Arvi tiba-tiba harus dirawat di ruang perawatan intensif di Rumah Sakit. Berawal dari kaki yang terasa super lemas, ternyata ia mengidap Sindrom Guillain-Barre.
Sepuluh tahun lalu sepupu saya (yang waktu itu sedang flu) tiba-tiba harus dirawat di ruang perawatan intensif di rumah sakit internasional di bilangan Bintaro. Sabtu pagi itu dia merasa kakinya superlemas dan jatuh saat mau ke kamar mandi. Dan dalam sekejap, hidupnya berubah. Arvi, ketika itu duduk di kelas 3 SMP, segera dilarikan ke UGD dan mendapat perawatan. Untungnya, secara tidak sengaja tante saya bertemu dengan seorang dokter yang ternyata baru menangani kasus Guillain-Barré Syndrome. Dokter itu segera memerintahkan agar Arvi segera dirawat di ruang intensif alias ICU.
Apa? Sakit apa sih itu? Rupanya kelumpuhan yang dialami Arvi bisa segera menjalar ke atas (selalu diawali dengan lumpuh otot terjauh dari jantung yaitu kaki) dan kalau terlambat, bisa-bisa Arvi bisa mengalami gagal napas karena otot paru-parunya lumpuh. Ventilator pun langsung dipasang saat itu juga.
Bisa ditebak kehidupan keluarga tante saya langsung berubah 180 derajat. Hari-hari mereka diisi dengan kunjungan ke ruang intensif. Perawatan di RS dilakukan selama 143 hari (tante saya menghitung hari demi hari); 140 hari di ICU dan 3 hari di kamar rawat biasa. Setiap hari Arvi harus diberikan beragam obat termasuk obat pendongkrak sistem kekebalan tubuh yang harganya tidak murah. Yang saya kagumi dari keluarga tante (termasuk Arvi) adalah semangat mereka saat melalui cobaan tersebut. Arvi tetap tersenyum dan berusaha ngelawak pakai bahasa isyarat (anaknya memang suka ngebanyol), kunjungan dari sahabatnya pun tak putus-putus … bayangkan saja ICU penuh dengan ababil. Hahaha.
Paling mengharukan adalah saat Arvi bertekad untuk tetap mengikuti Ujian Akhir Nasional. Dia belajar di dalam ICU, memakai bahasa isyarat … tante saya telaten memegang buku dan membalik halaman per halaman tiap kali Arvi menganggukkan kepala tanda dia sudah selesai membaca. Sepupu saya ini memang juara kelas di sekolahnya. Pada hari H, seorang pengawas datang khusus untuk mengawasinya mengisi lembar jawaban. Hasil UAN-nya? Saya lupa tepatnya tapi tante saya cerita dengan bangga kalau Arvi (harusnya) lulus dengan nilai gemilang. Lho kok “harusnya”? Karena sistem pendidikan, Arvi tetap harus mengalah untuk tinggal kelas mengejar ketertinggalannya. Kini, Arvi bisa beraktivitas seperti semula … bahkan, walaupun cara berjalannya tidak seperti sedia kala, dia bisa menyetir mobil.
Guillain-Barré Syndrome itu bukan penyakit main-main. Siapa saja bisa kena. Nah, berikut adalah sedikit info mengenai penyakit yang sebab pastinya tidak pernah diketahui itu:
APA SIH GUILLAIN-BARRÉ SYNDROME ITU?
Penyakit di mana sistem kekebalan tubuh menyerang sistem saraf. Dan ini menyebabkan peradangan saraf yang kemudian bisa menyebabkan otot menjadi lemah. Biasanya otot lemah tersebut dimulai dari tubuh bagian bawah dan menjalar ke atas.
PENYEBABNYA?
Pemicu pastinya tidak pernah diketahui. Sindroma ini bisa menyerang semua orang; pria-wanita, tua-muda. Tapi hasil penelitian memperlihatkan bahwa usia rata-rata orang bisa terkena GBS adalah antara usia 30-50 tahun. Biasanya GBS muncul setelah adanya infeksi minor, seperti infeksi paru-paru. GBS merusak bagian-bagian saraf dan kerusakan tersebut menyebabkan timbulnya rasa seperti kesemutan, otot lemas, dan dalam kasus Arvi, kelumpuhan.
GEJALANYA?
GBS bisa memburuk dengan cepat. Hanya butuh waktu beberapa jam saja untuk mencapai titik kerusakan maksimal. Otot lemas dan kelumpuhan bisa terjadi pada dua sisi tubuh. Dalam banyak kasus, kelumpuhan dimulai dari kaki dan menyebar ke tangan. Hal ini dikenal dengan sebutan ascending paralysis. Jika radang mempengaruhi saraf diafragma, pasien akan membutuhkan alat bantu napas.
Gejala umum GBS:
Gejala yang harus lebih diperhatikan:
PERAWATAN
Tak ada obat untuk GBS. Namun, banyak metode perawatan yang bisa dilakukan untuk membantu mengurangi gejala yang muncul, merawat komplikasi yang terjadi, dan mempercepat masa pemulihan. Salah satunya adalah memakai alat bantu napas dan metode membarikade antibodi dengan melakukan terapi immunoglobulin dosis tinggi. Lama perawatan juga bervariasi. Setelah perawatan medis selesai, pasien biasanya masih harus menjalani terapi untuk mengembalikan kemampuan motorik seperti berjalan, berlari, dan menulis.
foto pertama diambil dari www.cafepress.com
Baca juga:
Tips Agar Anak Dapat Cukup Vitamin D Walau Sering di Rumah Saja